Lewati ke konten

Nature Trip Santri TPQ Istikmal: Tadabbur Alam, Tadabbur Diri, dan Cara Paling Adem Menangkal Panas Surabaya

| 4 menit baca |Ide | 34 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Ulung Hananto Editor: Supriyadi

SURABAYA — Di kota yang hawanya bisa bikin es krim galau antara meleleh atau menyerah, datanglah kabar adem dari sekelompok bocah bersarung yang membawa kesejukan—baik untuk alam, jiwa, maupun timeline media sosial. Bukan dari konser K-pop, bukan juga dari diskon iPhone 17 Pro Max yang entah kapan sampai Indonesia, tapi dari 130 santri TPQ Istikmal Surabaya yang baru saja menggelar acara bernama Santri Nature Trip.

Acara ini digelar pada Ahad, 12 Oktober 2025, di Klurak Eco Park, Mojokerto. Tempatnya adem, hijau, dan jauh dari klakson ojol yang suka muncul dari dimensi tak terduga. Bukan cuma piknik biasa, kegiatan ini dibungkus dengan embel-embel keren: Tadabbur Alam—merenungi ciptaan Tuhan lewat jalan-jalan di alam bebas.

“Biar mereka belajar bahwa alam bukan cuma latar buat selfie, tapi juga media buat mengenal Sang Pencipta,” ujar Ustad Samsul Arif, sang penggagas kegiatan ini.

Ya, ini bukan healing ala-ala, tapi healing yang spiritual. Kalau biasanya orang healing ke gunung sambil nyari sinyal, anak-anak ini justru nyari makna.

#Tadabbur Alam: Dari Gunung ke Hati, dari Daun ke Doa

Menurut Ustad Arif, kegiatan ini adalah bentuk nyata dari tiga hubungan keren yang sering dikhotbahkan tapi jarang dipraktikkan: Hablum Minallah (hubungan dengan Tuhan), Hablum Minannas (hubungan dengan manusia), dan Hablum Minal Alam (hubungan dengan alam).

Jadi, selain merenungi ciptaan Tuhan lewat pepohonan dan suara burung, para santri juga diajak untuk connect dengan sesama dan alam sekitar. Bukan cuma nyanyi bareng “Naik-naik ke Puncak Gunung”, tapi juga belajar gimana caranya bersyukur atas udara segar—yang di Surabaya, keberadaannya bisa lebih langka dari tempat parkir gratis.

Dan tentu saja, tadabbur bukan berarti bengong melihat langit sambil berharap muncul inspirasi hidup. Ia adalah proses refleksi. Melihat daun gugur, tapi malah ingat bahwa waktu juga berjalan. Mendengar gemericik air, tapi tiba-tiba sadar bahwa hati yang keras pun bisa luluh kalau terus dialiri kasih.

#Main Bareng Kampoeng Dolanan: Saat Gotong Royong Lebih Seru dari Game Online

Bagian paling seru datang saat Kampoeng Dolanan Surabaya ikut nimbrung. Mereka bukan sekadar ngajarin mainan tradisional, tapi ngajak santri buat kerja sama dan belajar bareng lewat permainan.

Mulai dari tarik tambang, bakiak, sampai permainan kolaboratif yang bikin anak-anak lupa debat “siapa duluan main ayunan”. Di sinilah Hablum Minannas dipraktikkan. Bukan lewat ceramah panjang, tapi lewat tawa, peluh, dan sedikit rebutan sandal.

“Seruuu tadabur alamnya, dan Kampung Dolanannya juga asik. Semoga nanti lebih sering!” teriak salah satu santri dengan napas ngos-ngosan tapi bahagia.

Bisa dibilang, kegiatan ini adalah bentuk soft protest terhadap sistem pendidikan yang kadang terlalu fokus pada hafalan, tapi lupa pada pengalaman. Di sini, hafalan ayat tentang alam bisa langsung dikontekskan dengan daun yang jatuh di depan mata.

#Dari Orang Tua untuk TPQ: Doa, Dukungan, dan Indomie Rebus

Kalau santri senang, orang tua lebih senang lagi. Salah satu walisantri bilang dengan penuh haru, “Semoga kegiatan tadabbur alam ini bisa jadi agenda rutin. Anak-anak jadi lebih bersyukur dan bahagia.”

Komentar ini membuktikan bahwa kebahagiaan anak nggak melulu diukur dari nilai rapor, tapi dari seberapa banyak mereka bisa tertawa di tengah pepohonan dan mengucap Alhamdulillah sambil duduk di rumput.

Dan seperti biasa, setiap kegiatan santri pasti berakhir dengan ritual universal: Indomie rebus bareng. Karena tak ada yang lebih sakral dari mie instan hangat setelah seharian berkegiatan di alam terbuka.

#Pendidikan yang Membumi dan Menyentuh Langit

Santri Nature Trip TPQ Istikmal ini membuktikan satu hal penting: belajar agama tak harus di ruang sempit dengan papan tulis dan kipas angin ngadat. Justru di alam, anak-anak belajar tentang ayat-ayat tanpa tinta—yang tertulis di daun, angin, dan cahaya matahari sore.

Jadi, kalau suatu hari nanti Anda merasa gerah, bukan cuma karena suhu Surabaya yang 35 derajat tapi juga karena hidup terasa padat, mungkin saatnya ikut cara para santri ini: minggir sejenak, pandangi langit, hirup udara, lalu bisikkan,

“Masya Allah, ademnya sampai ke ubun-ubun.”

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *