LAMONGAN – Ketidakpastian kembali jadi teman akrab Persela Lamongan di awal musim Championship 2025/2026. Setelah resmi berpisah dengan Aji Santoso, klub berjuluk Laskar Joko Tingkir ini seperti kehilangan arah. Bukan karena tak ada kandidat pelatih, tapi karena semua masih sebatas “paparan PowerPoint dan janji visi-misi yang manis di telinga”.
CEO Persela, Fariz Julinar Maurisal, mengaku sudah bertemu beberapa calon pelatih. “Sudah ada beberapa pelatih yang paparan kepada saya, tetapi masih kita lihat beberapa hari ini,” ujarnya, Selasa (14/10/2025).
Kalimat yang terdengar seperti kode keras kalau manajemen masih bingung mau pilih siapa: pelatih yang idealis, realistis, atau sekadar yang masih lowong di LinkedIn.
#Dari Aji Santoso ke “Lowongan Pelatih”: Visi Klub Masih Abu-Abu
Sejak ditinggal Aji Santoso – resmi berpamitan kepada seluruh pemain Persela Lamongan di Mess Persela, Kamis (9/10/2025)—yang sekarang sudah menakhodai PSPS Pekanbaru—Persela seolah kehilangan kompas. Hasil di lima laga awal pun bikin dahi pendukung berkerut, 7 poin dari lima pertandingan, tertahan di posisi ke-6 klasemen sementara Grup 2.
Jauh dari ekspektasi tim yang digadang-gadang bisa kembali ke Liga 1.
Masalahnya bukan cuma di bangku pelatih kosong, tapi juga di perencanaan yang setengah matang. Publik Lamongan mulai khawatir, jangan-jangan manajemen lebih sibuk mencari “pelatih cocok-cocokan” ketimbang menyusun strategi jangka panjang.
Sementara itu, beberapa nama yang sempat dikaitkan dengan Persela malah sudah “taken”—salah satunya Regi Aditya, yang memilih jadi asisten pelatih Persipura Jayapura ketimbang jadi juru taktik utama di Surajaya. Sakitnya tuh di situ.
#Momentum yang Mulai Hilang dan Doa Panjang Suporter di Surajaya
Persela kini seperti kapal tanpa nahkoda di tengah arus kompetisi yang kian deras. Tanpa pelatih tetap, latihan dan strategi cenderung tambal sulam.
Fariz menegaskan, pihaknya tak mau gegabah. “Pelatih harus punya komitmen dan visi yang sama dengan tim,” katanya.
Pernyataan yang bagus di atas kertas—tapi di lapangan, setiap hari tanpa keputusan berarti kehilangan momentum.
Bagi publik Lamongan, yang sabarnya sudah diuji bertahun-tahun, situasi ini rasanya seperti menonton sinetron dengan episode tak berujung: selalu menggantung.
Harapan untuk kembali ke kasta tertinggi sepak bola nasional bisa saja tinggal kenangan kalau manajemen tak segera bergerak.
Sampai saat itu tiba, mungkin yang bisa dilakukan suporter Persela hanyalah satu, berdoa keras sambil tetap datang ke stadion, karena kalau bukan mereka yang setia, siapa lagi?***