Lewati ke konten

Rivalitas, Peci, dan Persaudaraan yang Tak Pernah Padam: Menjelang Laga Persebaya vs Persija

| 4 menit baca |Rekreatif | 2 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Ulung Hananto Editor: Supriyadi

SURABAYA – Kalau sepak bola Indonesia punya versi telenovela, maka episode minggu ini jelas berjudul: “Persebaya vs Persija, Cinta, Dendam, dan Suara Suporter yang Tak Pernah Padam.”

Sebab setiap kali dua tim ini ketemu, bukan cuma bola yang digulirkan—tapi juga sejarah, ego, dan trauma masa lalu yang masih hangat kayak tempe goreng baru diangkat.

Pertandingan antara Persebaya Surabaya dan Persija Jakarta ini selalu lebih dari sekadar laga. Ia seperti reuni keluarga besar yang saling sayang tapi gengsi buat bilang “maaf.”
Satu sisi bangga, satu sisi kesel.

Satu teriak “Bonek!”, yang lain menjawab dengan “Jakmania!”—dua kata yang kalau diucapkan bareng bisa bikin getar stadion lebih kencang dari sound system hajatan di kampung waktu 17-an.

#Dua Kota, Dua Gaya, Satu Gengsi

Surabaya dan Jakarta ini ibarat dua magnet—sama-sama besar, sama-sama punya gengsi, tapi kalau disatukan, malah saling tolak. Surabaya itu keras tapi jujur. Jakarta? Licin tapi lihai.
Yang satu hidup dengan semangat arek, yang satu bernafas dengan aroma kemayoran.

Dua-duanya sama-sama cinta bola, tapi dengan gaya masing-masing. Bonek datang ke stadion kayak berangkat perang, kaos hijau, spanduk, dan suara serak hasil latihan teriak.
Jakmania datang dengan konvoi, seragam oranye, dan energi yang bisa bikin stadion berguncang meski belum kick-off.

Di media sosial, tensi udah naik dari jauh-jauh hari. Timeline X (alias Twitter) penuh dengan ramalan skor, video nostalgia, dan analisis taktik yang kadang lebih emosional daripada objektif.

Setiap mention nama dua tim ini, siap-siap aja: kolom komentar langsung berubah jadi debat nasional mini—dengan argumen mulai dari statistik sampai sejarah kakek moyang klub.

#Suporter: Antara Teriak dan Toleran

Bonek dan Jakmania adalah dua kelompok suporter yang—kalau dipikir-pikir—seperti dua sisi mata uang, keras di luar, lembut di dalam.

Di luar, mereka teriak, nyanyi, lompat-lompat, bahkan kadang bikin tribun seperti gelombang laut hijau dan oranye yang saling kejar-kejaran. Tapi di balik semua itu, ada rasa saling hormat yang jarang disorot kamera televisi.

Ada semacam kode etik tak tertulis di antara mereka. Begitu peluit akhir berbunyi, semua emosi harus berhenti di situ. Bola boleh panas, tapi hati tetap adem. Mereka paham, sepak bola ini cuma alat ekspresi—bukan alasan untuk saling menyakiti.

Dan hebatnya, generasi suporter baru mulai paham betul hal ini. Mereka ingin rivalitas tetap hidup, tapi tanpa kekerasan. Karena ya masa cuma gara-gara bola, kita lupa caranya jadi manusia?

#Persebaya dan Persija: Dua Gaya Bertarung, Satu Nafas Kebanggaan

Di kubu Persebaya, suasana menjelang laga ini seperti biasanya, panas tapi fokus.
Tim Bajol Ijo datang dengan motivasi tinggi. Stadion Gelora Bung Tomo bukan cuma lapangan bola — tapi tempat ibadah kedua.

Di situ para Bonek bersujud, berdoa, dan tentu saja, teriak bareng dari menit pertama sampai injury time.

Pelatih Persebaya tahu betul, lawan Persija itu bukan cuma soal strategi, tapi soal mentalitas arek. Main harus berani, tapi nggak boleh sembrono. Karena satu salah umpan bisa langsung viral di Twitter dan dijadikan bahan meme nasional.

Sementara Persija, datang ke Surabaya bukan buat wisata kuliner rawon. Mereka tahu atmosfer GBT bisa bikin kiper salah kirim bola gara-gara kupingnya berdenging.

Tapi ini Persija—tim yang lahir dan besar di kota yang macetnya aja udah setara ujian kesabaran hidup.

Dengan pemain-pemain berpengalaman, mereka datang buat satu misi: curi poin, curi gengsi, dan kalau bisa, curi hati penonton netral.

#Lebih dari Sekadar Skor: Sebuah Ritual Sosial

Derby ini bukan cuma soal tiga poin, tapi soal identitas kolektif. Ia semacam pengingat bahwa sepak bola Indonesia punya denyut, punya cerita, punya romantisme yang nggak kalah dari El Clásico atau Manchester Derby.

Bedanya, kalau di Eropa yang dipertaruhkan cuma trofi, di sini yang dipertaruhkan harga diri kota—dan kadang, hubungan antarkawan sekantor yang kebetulan beda warna dukungan.

Dan di tengah semua teriakan itu, ada sesuatu yang indah. Rivalitas ini justru memperkuat rasa persaudaraan. Karena kalau dipikir lagi, suporter dua kubu ini sebenarnya sama-sama cinta bola, sama-sama cinta klub, dan sama-sama ingin membanggakan kotanya.

#Akhirnya, Tentang Cinta dan Teriakan yang Jujur

Besok, ketika stadion bergemuruh dan suara chant menggema, semoga satu hal tetap diingat. Sepak bola ini cuma permainan—yang membuat kita berbeda tapi juga menyatukan.
Kalau Bonek dan Jakmania bisa saling jaga sikap, maka rivalitas ini bukan kutukan, tapi warisan.

Warisan tentang dua kota besar yang saling adu gengsi, tapi masih tahu caranya menghormati. Jadi, biarlah nanti bola ditendang, tensi naik, dan suara tribun pecah—asal satu hal jangan dilupakan, “Kita semua cuma ingin menyaksikan sepak bola yang dimainkan dengan cinta, semangat, dan sedikit—hanya sedikit—drama telenovela.***

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *