GRESIK – Di usia ketika anak lain masih sibuk ngafalin rumus bangun ruang dan lagu-lagu TikTok, Aeshnina Azzahra Aqilani alias Nina sudah sibuk memikirkan satu hal yang jauh lebih besar, “Bagaimana cara menyelamatkan bumi dari tumpukan sampah plastik.”
Perjalanan Nina dimulai sejak ia masih duduk di bangku SD. Waktu itu, ia menulis surat kepada Bupati Gresik soal kondisi lingkungan di sekitar sekolahnya. Suratnya sederhana, tapi pesannya dalam: “Kenapa sungainya kotor, dan kenapa nggak ada yang peduli?”
Tak berhenti di situ, Nina kemudian menyurati para pemimpin negara Barat—dari Donald Trump sampai Justin Trudeau—yang nekat mengekspor sampah plastik ke Indonesia dengan kedok “limbah kertas”. Anak kelas tiga SMP menulis surat protes ke presiden asing? Kalau itu bukan keberanian, entah apa.
#Dari Sungai Bau Plastik ke Panggung Dunia
Aksinya menarik perhatian banyak pihak. Ia kemudian bergabung dalam penelitian plastik bersama Ecological Observation and Wetland Conservations (Ecoton), sebuah Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah. Dari situ, Nina tahu bahwa masalah sampah bukan cuma soal bau tak sedap, tapi juga soal ketidakadilan global.
Pada 2021, Nina diundang untuk berbicara di COP26 di Glasgow—konferensi perubahan iklim terbesar di dunia. Bayangin, di ruangan penuh pejabat, ilmuwan, dan diplomat, berdiri gadis 14 tahun asal Gresik yang dengan lantang bilang“Kalau orang dewasa gagal menjaga bumi, kami, anak-anak, yang akan menanggung akibatnya.”
Selain itu, dia juga tampil sebagai pembicara termuda di Plastic Health Summit 2021, forum internasional yang membahas dampak plastik terhadap kesehatan manusia.

#River Warriors, Pasukan Kecil Penyelamat Sungai
Nina nggak cuma pandai ngomong. Lewat inisiatifnya yang bernama River Warriors, ia memimpin aksi bersih-bersih sungai, demonstrasi lingkungan, dan edukasi ke anak-anak sekolah. Bahkan, ia mendirikan museum plastik — tempat anak-anak belajar dari botol, sedotan, dan bungkus makanan yang dulunya cuma dianggap remeh.
Sementara sebagian orang baru mulai memilah sampah antara organik dan anorganik, Nina sudah ngajarin generasi berikutnya buat nggak nyampah sama sekali.
Ketika usianya menginjak 17 tahun, Nina, siswi SMA Muhammadiyah 10 Gresik, suaranya masih terus menggema. Ia dikenal sebagai salah satu aktivis muda paling vokal dalam memperjuangkan isu lingkungan — bukan cuma di Indonesia, tapi juga di panggung dunia.
Nina bergabung bersama ratusan aktivis lingkungan dari berbagai negara dalam aksi menolak kebijakan impor sampah plastik. Aksi itu digelar di depan Centre Shaw Ottawa, Kanada, tepat sebelum konferensi lingkungan PBB United Nations Environment Programme (UNEP) — dalam forum Intergovernmental Negotiating Committee (INC-4).
Di sana, Nina berdiri sejajar dengan para aktivis dewasa dari seluruh dunia, membawa pesan sederhana tapi menohok, “Kami, anak muda, menolak hidup di dunia yang diwarisi sampah.”
#Dari Gresik ke Eropa, Suara Kecil yang Menggema Besar
Suara Nina ternyata mengalir jauh. Kini, ia tengah menempuh studi Hubungan Internasional (HI), semester satu di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Dari bangku kuliah, semangatnya untuk menjaga lingkungan tak surut sedikit pun.
Ia bahkan disebut ikut menginspirasi lahirnya European Green Deal, kebijakan besar Uni Eropa untuk mengurangi limbah dan polusi plastik. Dari Gresik ke Eropa — bukan ekspor udang, tapi ekspor kesadaran dan keberanian anak muda.
Kini, perjuangan Nina membawanya menjadi nominasi International Children’s Peace Prize 2025, penghargaan bergengsi bagi anak-anak yang membawa perubahan nyata untuk dunia. Tahun ini, ajang tersebut bakal digelar di Stockholm, Swedia, dengan Global Child Forum sebagai co-host.
Kalau kamu tanya Nina soal mimpinya, jawabannya nggak rumit, “Aku cuma pengin sungai bisa bersih lagi, dan orang dewasa nggak nyampah seenaknya.”
Kalimat sederhana, tapi bikin banyak orang dewasa mungkin pengin pura-pura nggak dengar. Karena dari seorang remaja asal Gresik, dunia diingatkan lagi bahwa bumi ini bukan warisan untuk dihabiskan — melainkan titipan yang harus dijaga.***