Lewati ke konten

Dari Maba Sangaji: Negeri Menyuruh Rakyat Patuh Hukum, Tapi Membiarkan Petugasnya Menginjak Keadilan

| 4 menit baca |Ekologis | 10 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Tim Redaksi Editor: Supriyadi

KALAU negeri ini punya “Piala Ironi Tahunan”, mungkin tahun ini pemenangnya lagi-lagi datang dari Maluku Utara. Dari balik jeruji Rutan Soasio, Tidore Kepulauan, kabar panas itu meletup, sebelas warga adat Maba Sangaji yang baru saja divonis penjara, malah dipukuli petugas rutan.

Bukan karena mereka kabur. Bukan juga karena bikin kerusuhan. Katanya, mereka cuma tanya, “Kapan kami bebas?”

Pertanyaan sederhana—tapi rupanya di negeri ini, bertanya pun bisa dianggap melawan.

#Dipukul Karena Bertanya

Senin, 20 Oktober 2025, sekitar pukul 12.38 WIT. Sahil Abubakar, akrab disapa Ilo, menelpon salah satu tim advokasi, Wetub Toatubun dari Tim Advokasi Anti Kriminalisasi (TAKI).
Ia bilang baru saja bertanya kepada petugas soal jadwal pembebasan dirinya dan sepuluh rekannya.

Petugas menjawab singkat, “Tunggu konfirmasi dari kejaksaan.” Beberapa menit kemudian, Ilo dipanggil. Tak lama berselang, kabar berikutnya datang dengan suara tergesa, “Kami dipukul. Jamal berdarah.”

Jamaluddin Badi, rekan Ilo, disebut mengalami luka di wajah, bibir pecah, mata bengkak, dan pipi lebam. Tujuh menit kemudian, pukul 12.52 WIT, Ilo menelpon lagi, suaranya panik. “Di rutan sudah kacau. Kami dipukul!”

Dalam hitungan menit, sebuah ruang tahanan berubah jadi arena kekerasan.

#Negara yang Senang Menyalahkan Korban

Tim advokasi langsung bergerak. Mereka mendesak Komnas HAM, Ombudsman, dan Kejaksaan untuk segera turun tangan. Tapi sejauh ini, belum ada satu pun keterangan resmi dari pihak Rutan Soasio.

Sementara itu, Komang Noprizal Saputra dari Kejaksaan Negeri Halmahera Timur yang menangani perkara Maba Sangaji, mengaku belum tahu menahu soal pemukulan. “Saya belum dapat informasi apa-apa,” ujarnya kalem.

Menurut Komang, urusan jaksa hanya sampai pada eksekusi putusan dan pengiriman administrasi ke rutan. “Soal jadwal pembebasan, itu sudah urusan rutan,” katanya.

Begitulah, dalam sistem hukum yang panjang dan berliku ini, keadilan sering kali berhenti di meja administrasi.

#Dari Tanah Adat ke Jeruji Besi

Sebelas warga adat Maba Sangaji ini sebenarnya bukan penjahat. Mereka petani, penjaga hutan, dan pewaris tanah adat. Tapi mereka divonis bersalah karena dianggap menghalangi aktivitas tambang nikel PT Position.

Vonis lima bulan delapan hari penjara itu jadi preseden pahit. Pasal 162 UU Minerba yang digunakan jaksa disebut banyak pihak sebagai alat untuk membungkam warga yang menolak tambang.

Dari tanah adat yang mereka lindungi, kini mereka harus tidur di balik jeruji. Dan dari balik jeruji itu pula, kabar datang: mereka dipukul saat menunggu kebebasan.

#Negeri yang Memeluk, Lalu Menyakiti

Negeri ini memang jago berakting. Di depan kamera, ia tampak memeluk rakyatnya dengan kasih sayang, tapi di belakang layar, pelukannya berubah jadi cekikan.

Yulia Pihang dari TAKI menyampaikan bahwa pihaknya langsung membawa korban ke Polresta Tidore Kepulauan untuk visum dan pelaporan resmi. “Kami ingin memastikan kasus ini tidak berhenti di permintaan maaf dan kopi darat,” katanya.

Menurut Yulia, kekerasan oleh petugas rutan bukan cuma pelanggaran prosedur, tapi juga pelanggaran hak asasi manusia.

Ia menyebut perbuatan itu bertentangan dengan UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, Pasal 170 dan 351 KUHP, dan prinsip-prinsip internasional yang sudah diratifikasi Indonesia.

“Rutan seharusnya tempat pembinaan, bukan tempat penyiksaan,” tegasnya. “Kami menuntut agar pelaku diberhentikan dari jabatannya dan diproses sesuai hukum.”

#CCTV Tidak Bisa Bohong

Ironinya, meski rekaman CCTV memperlihatkan kekerasan itu, Kepala Rutan Soasio David Lekatompessy tetap membantah. Versinya, petugas hanya “melerai keributan antar tahanan.”

Kita tahu, kalimat “hanya melerai” di negeri ini sering jadi mantra ajaib untuk menyulap kekerasan jadi “ketidaksengajaan”. Seolah lebam di wajah Jamal muncul sendiri karena “terpeleset damai.”

David berjanji tak akan menoleransi pelanggaran bila terbukti. “Kalau bersalah, akan diberikan hukuman administrasi,” katanya. Entah kenapa kalimat itu terdengar seperti janji basi yang diulang setiap kali kamera wartawan datang.

#Luka yang Tak Sekadar di Wajah

Kini mereka dipukul oleh aparat yang katanya menegakkan hukum. Negeri yang seperti ini bukan kekurangan undang-undang, ia cuma kekurangan rasa malu dan berjiwa buta.

Senin sore, suasana di depan Rutan Soasio mendadak panas. Puluhan orang datang berunjuk rasa, menuntut keadilan atas dugaan pemukulan terhadap warga adat Maba Sangaji.

Spanduk, teriakan, dan kemarahan berbaur di udara. “Kami tuntut agar oknum petugas yang melakukan kekerasan ditindak tegas secara hukum!” seru Ariyanto Gani, salah satu peserta aksi, kepada Kadera.

Massa juga mendesak agar Kepala Rutan dicopot karena dianggap gagal mengawasi bawahannya.

“Kami sudah sempat hering dengan Kepala Rutan. Kami minta si oknum dipecat, tapi pihak rutan justru membela pelaku dan bilang itu bukan pengeroyokan,” ujar Ariyanto.

Padahal, dari rekaman CCTV, jelas terlihat petugas melakukan kekerasan terhadap Jamaluddin Badi. Kesaksian itu diperkuat oleh Jamal sendiri dan rekannya, Sahil Abubakar (Ilo).

Menurut Ilo, semua bermula dari pertanyaan sederhana, “Kapan kami dibebaskan?”

Bukannya dijawab dengan prosedur, mereka malah dijawab dengan makian. “Petugas langsung marah dan maki-maki. Salah satunya bilang, ‘Cuk*a ngana ini!’” tutur Sahil menirukan makian petugas.

Keributan pun pecah. Suara teriakan terdengar sampai luar blok tahanan. Ironisnya, semua terjadi hanya beberapa hari sebelum mereka dijadwalkan bebas.

Warga yang dulu dituduh melawan hukum, kini justru jadi korban kekerasan dari mereka yang mengaku menegakkannya.

Negeri ini memang pandai memeluk rakyatnya, tapi entah kenapa, pelukannya selalu terasa seperti tamparan bahkan penindasan.***

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *