Lewati ke konten

Hujan Plastik di Jakarta: Saat Langit Ikut Nyampah, Dari TPA ke Awan, Lalu ke Kepala Kita

| 3 menit baca |Ekologis | 6 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Supriyadi Editor: Supriyadi

JAKARTA kini resmi punya musim baru, musim hujan plastik. Bukan plastik kresek jatuh dari langit, tapi partikel mikroskopis hasil olahan malas kita sendiri.

Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, bilang biangnya sudah jelas, TPA yang dibiarkan terbuka, jadi tempat nimbun dosa lingkungan. “Begitu panas, hujan, terurai jadi mikron. Mikron itulah yang disebut mikroplastik,” ujarnya, seperti dikutip detik.com. Selasa (21/10/2025).

Artinya, sebelum nyampai ke paru-paru, partikel ini sempat naik dulu ke awan, ikut kondensasi, lalu jatuh lagi ke kepala kita. Agak romantis, kalau saja nggak sedang pelan-pelan membunuh paru-paru.

“Pada saat angin kencang, kebawa ke atas, turun hujan, terkondensasi dan seterusnya. Yang di air nggak kalah bahayanya karena sampah plastiknya nggak segera ditangani,” tambahnya.

#Plastik Naik Haji ke Langit

Prosesnya, kata Hanif, sederhana tapi absurd. Plastik yang kepanasan di TPA diurai matahari, pecah jadi partikel kecil, lalu terbang bareng debu menuju awan. Di atas sana, mereka ikut kondensasi dan akhirnya turun lagi dalam bentuk “hujan rasa TPA.”

Begitu angin kencang datang, bukan cuma jemuran yang beterbangan, tapi juga sampah masa lalu yang belum sempat tobat.

Bayangkan, air hujan yang menyegarkan itu bisa mengandung serpihan botol minum atau kantong mi instan tahun 2010. Nostalgia, tapi beracun.

“Pada saat angin kencang kebawa, kemudian naik ke atas, turun hujan, terkondensasi dan seterusnya. Yang di air nggak kalah bahayanya karena sampah plastiknya nggak segera ditangani,” ujar Hanif menegaskan.

#Solusinya: Sampah Jadi Listrik, Bukan Jadi Awan

Pemerintah kini mendorong program Pengolahan Sampah jadi Energi Listrik (PSEL) alias PLTSa. Logikanya sederhana, daripada plastiknya terbang ke langit, mending dibakar jadi listrik yang bisa nyalain rumah.

Kalau program ini benar-benar jalan, mungkin nanti kita bisa bangga bilang, “Listrik rumah gue dari bungkus kopi, bro.”

Hanif bilang, rencana jangka panjangnya sudah disusun. “Bekasi sudah jadi target waste to energy. Tangerang juga, Bogor juga, dan Jakarta tentu target besar. Tapi sampai hari ini tanahnya belum siap. Kami minta ini segera diperhatikan karena kondisi pencemaran di Jakarta sudah cukup serius,” katanya.

Masalahnya, dari rencana ke realisasi biasanya masih jauh… kayak cita-cita polusi jadi inspirasi.

#BRIN Sudah Bilang, Tapi Kita Masih Ngelak

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebenarnya sudah lama wanti-wanti soal mikroplastik di air hujan. Dan ya, sekarang peringatannya terbukti, bukan teori konspirasi, tapi hasil riset resmi.

Bahkan, Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON) bareng Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) sudah turun ke lapangan. Dari Mei sampai Juli 2025, mereka meneliti 18 kota di Indonesia.

Hasilnya bikin merinding, 37 partikel mikroplastik tertangkap hanya dalam dua jam di area kecil berukuran 90 cm persegi. Jakarta Selatan nyusul dengan 30 partikel, Bandung 16, sementara Semarang dan Kupang masing-masing 13.

Kepala DLH DKI, Asep Kuswanto, bilang temuan ini harusnya jadi “wake-up call.” Kalau diterjemahkan bebas: “Woy, plastik kita udah sampai langit, lho!”

Masalahnya, sadar doang nggak cukup. Karena besok paginya, kita tetap beli kopi pakai sedotan plastik, sambil baca berita tentang mikroplastik… di ponsel yang casing-nya juga plastik.

#Dari Langit Turun Plastik, dari Kita Naik Dosa Ekologis

Lucunya, manusia selalu merasa jadi korban. Padahal, yang bikin langit kotor ya kita sendiri.

Kita buang plastik sembarangan, lalu hujan turun bawa baliknya ke muka kita. Karma cepat, tanpa jeda iklan.

Jakarta bukan cuma butuh payung sekarang, tapi juga butuh kesadaran: yang bikin langit kotor bukan Tuhan, tapi kebiasaan.***

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *