KALAU negeri ini punya drama dengan babak-babak absurd, mungkin episode kali ini bisa diberi judul, “Orang Baik yang Dimasukkan ke Penjara karena Cinta Alam Terlalu Dalam.”
Ya, delapan dari sebelas warga adat Maba Sangaji, Halmahera Timur, akhirnya bisa menghirup udara bebas pada Jumat, 24 Oktober 2025. Setelah lima bulan delapan hari mendekam di balik jeruji besi Rutan Kelas IIB Soasio, Tidore Kepulauan, mereka keluar dengan kepala tegak, meski keadilan masih terasa miring.
Bagi mereka, perjuangan belum titik, masih koma. Karena di luar tembok penjara, tanah yang mereka bela masih dikepung alat berat. Sungai yang mereka jaga masih dicemari sisa tambang. Dan nama baik mereka, yang sempat dicap “penghalang investasi”, masih harus mereka bersihkan pelan-pelan dengan kebenaran.
Mereka tahu, keadilan di negeri ini kadang datang lambat, kadang bahkan tersesat di jalan. Tapi mereka juga tahu, tak ada penjara yang cukup kuat untuk memenjarakan keyakinan bahwa hutan dan tanah adat harus tetap hidup.
#“Pasal 162”: Ketika Undang-undang Jadi Alat untuk Membungkam Warga
Nama-nama mereka, Sahrudin Awat, Jamaludin Badi, Salasa Muhammad, Umar Manado, Julkadri Husen, Yasir Hi. Samad, Hamim Jamal, dan Sahil Abubakar. Tercatat sebagai pejuang lingkungan yang “dipidana” karena satu dosa besar, menghalangi aktivitas tambang di tanah leluhur mereka sendiri.
Mereka dijerat Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), pasal yang katanya melindungi investasi, tapi di lapangan sering terasa seperti borgol bagi masyarakat adat.
Hakim Pengadilan Negeri Soasio pun memvonis mereka bersalah pada Kamis, 16 Oktober 2025. Vonis yang lebih mirip “hukuman karena mencintai alam terlalu jujur”.
#Delapan Bebas, Tiga Masih Tertahan: “Kami Hanya Jalankan Putusan”
Pagi itu, Kepala Rutan Kelas IIB Soasio, David Lekatompessy, mengonfirmasi pembebasan delapan orang Maba Sangaji. “Sisa tiga tahanan. Mereka ini sesuai dengan putusan tambahan akan menjalani kurungan selama dua bulan ke depan,” katanya singkat, seperti orang yang sudah terlalu sering mengulang kalimat “kami hanya menjalankan putusan pengadilan”.
Tiga nama yang masih di dalam sel adalah Indrasani Ilham, Alauddin Salamudin, dan Nahrawi Salamuddin.
Mereka bukan pelaku kejahatan luar biasa, bukan koruptor, bukan penebang liar. Tapi mereka harus menambah dua bulan lagi di dalam, karena begitu bunyi surat sakti bernama putusan pengadilan.
#Dari Balik Jeruji ke Pelukan Hutan: Perjuangan Belum Usai
Bebas dari rutan bukan berarti bebas dari persoalan. Di kampung mereka, tanah adat Maba Sangaji masih berada di bawah bayang-bayang izin tambang PT Position, izin yang terbit pada 2017 tanpa seizin para pemilik sah tanah adat itu.
Kini, setelah kembali ke rumah, delapan warga ini tak hanya membawa luka dan lelah, tapi juga tekad: melanjutkan perjuangan menjaga tanah dan hutan mereka dari kerakusan tambang.
Karena bagi mereka, hutan bukan sekadar “aset sumber daya alam”, melainkan rumah, ibu, dan sejarah yang tak bisa dijual.***