“Berjuang untuk sungai dan wilayah kami berarti berjuang untuk hidup kami sendiri.”
— Mari Luz Canaquiri
PADA APRIL 2025, dunia menyorot sosok Mari Luz Canaquiri, pemimpin adat Kukama dari wilayah Amazon, Peru. Ia baru saja menerima Goldman Environmental Prize, penghargaan paling bergengsi di dunia bagi pembela lingkungan akar rumput.
Capaian itu bukan sekadar kemenangan personal. Ia adalah simbol kemenangan bagi perempuan adat, hak-hak alam, dan gerakan global yang memperjuangkan keadilan ekologis melawan ekstraktivisme.
Bersama komunitasnya, Mari Luz membentuk Federación Huaynakana Kamatahuara Kana, sebuah organisasi perempuan adat yang menolak diam di tengah kehancuran. Mereka mengorganisasi warga, menggelar aksi, dan menggugat negara serta perusahaan minyak yang dianggap bertanggung jawab atas pencemaran Sungai Marañón.
“Sebagai perempuan dan sebagai ibu, kami berjuang membela sungai dan wilayah kami, demi anak-anak dan generasi mendatang,” kata Mari Luz.
Dan benar saja, perjuangan mereka tak cuma soal air, tapi soal kelangsungan hidup, spiritualitas, dan martabat.
#Sungai Marañón: Nadi Kehidupan yang Dilukai
Bagi masyarakat Kukama, Sungai Marañón bukan sekadar sumber air. Ia adalah entitas hidup dan suci, tempat asal kehidupan, tempat bersemayam roh, dan sumber pangan bagi komunitas adat di tepian Amazon.
Namun, selama lebih dari lima dekade, sungai ini menjadi korban kerakusan industri.
Menurut laporan Earth Law Center (2024), lebih dari 10.000 barel minyak tumpah ke Sungai Marañón hanya dalam tahun 2022.
Selain itu, sungai juga tercemar merkuri akibat penambangan emas ilegal dan proyek energi fosil. Kondisi ini memicu bencana ganda, krisis ekologis sekaligus krisis spiritual.
Air yang dulu menjadi sumber kehidupan kini menjadi racun. Ikan-ikan yang dulu menjadi pangan kini menjadi ancaman bagi kesehatan.
“Sungai kami adalah sesuatu yang suci: di sanalah kami memperoleh segalanya,” ujar Mari Luz dengan nada getir.

#Ketika Sungai Diakui Punya Hak
Setelah bertahun-tahun perjuangan, pada 2024, sejarah baru tercipta. Pengadilan Tinggi Loreto di Peru memutuskan bahwa Sungai Marañón diakui sebagai subjek hukum yang memiliki hak untuk hidup, tidak tercemar, dan dipulihkan.
Ini pertama kalinya dalam sejarah Peru sebuah sungai memperoleh pengakuan hukum sebagai makhluk hidup.
Keputusan itu merupakan hasil kolaborasi antara perempuan Kukama dan jaringan global seperti Earth Law Center, International Rivers, Global Alliance for the Rights of Nature (GARN), serta Institute of Legal Defense (IDL) di Peru.
Langkah ini menandai pergeseran besar dalam hukum lingkungan, dari pendekatan antroposentris (manusia sebagai pusat segalanya) menuju ekosentris (alam sebagai subjek kehidupan).
Menurut penelitian GARN, kepemimpinan perempuan adat berperan besar dalam efektivitas perlindungan ekosistem air di Amerika Latin. Mereka mengandalkan relasi spiritual, etika perawatan, dan tanggung jawab lintas generasi—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan angka, tapi nyata dalam tindakan.
#Hak Alam yang Menular: Dari Andes ke Dunia
Konsep Rights of Nature atau Hak Alam kini menjadi arus besar dalam gerakan lingkungan global. Negara seperti Ekuador (2008) dan Bolivia (2010) bahkan sudah memasukkan hak-hak alam dalam konstitusinya.
Di Selandia Baru, Sungai Whanganui diakui sebagai entitas hukum pada 2017—sebuah langkah revolusioner yang kemudian diikuti oleh Kolombia, India, dan kini Peru lewat pengakuan terhadap Marañón.
Menurut laporan Earth Law Center (2023), lebih dari 30 yurisdiksi di seluruh dunia kini telah memberikan hak hukum kepada sungai, hutan, atau ekosistem tertentu.
Kemenangan Marañón menjadi bukti bahwa gerakan ini makin kuat, dan bahwa keadilan ekologis bukan lagi konsep utopis, tapi praktik hukum nyata.

#Pelajaran bagi Indonesia: Saatnya Sungai Diberi Hak
Indonesia punya lebih dari 5.000 sungai, tapi sebagian besar sedang kritis. Beberapa di antaranya kini lebih dikenal karena baunya ketimbang airnya.
- Sungai Brantas di Jawa Timur tercemar oleh limbah industri, limbah rumah tangga, dan mikroplastik hingga lebih dari 120 partikel per 100 liter air (laporan ECOTON, 2024).
- Sungai Citarum di Jawa Barat sempat dinobatkan sebagai salah satu sungai terkotor di dunia.
- Sungai Mahakam di Kalimantan Timur kini terancam oleh ekspansi tambang batubara dan proyek energi.
Indonesia sebenarnya sudah punya kerangka hukum lewat PP No. 22 Tahun 2021 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengatur baku mutu air dan penegakan hukum lingkungan.
Namun, regulasi itu belum menempatkan sungai sebagai subjek hukum, sebagai makhluk yang punya hak hidup dan hak untuk pulih.
“Kalau sungai dianggap punya hak, maka pencemaran bukan lagi sekadar pelanggaran administratif, tapi pelanggaran terhadap hak hidup sungai. Itu paradigma baru yang lebih adil bagi alam,” tegas Daru Setyorini, pendiri ECOTON.
Kisah Mari Luz dan Sungai Marañón memberi inspirasi bahwa keberanian perempuan adat bisa mengubah hukum negara.
Mungkin sudah saatnya kita bertanya, kalau Sungai Marañón bisa punya hak, kenapa Brantas, Citarum, atau Mahakam belum?
#Dari Sungai, Kita Dilahirkan
Perjuangan Mari Luz Canaquiri bukan sekadar melindungi air, tapi melindungi kehidupan.
Kemenangannya adalah kemenangan bagi bumi, bagi ibu-ibu yang menimba air, dan bagi anak-anak yang bermain di tepian sungai.
“Kita harus bertindak dengan keberanian, secara kolektif, dan demi mempertahankan kehidupan itu sendiri,” cetus Daru.
Dan di balik suara itu, sungai-sungai di Indonesia seakan berbisik pelan, “Kami juga ingin hidup.”***