Lewati ke konten

ECOTON Desak Pemprov Jatim dan Pemkot Surabaya Tegas Tindak Industri Pembuang Limbah ke Kali Mas

| 4 menit baca |Ekologis | 8 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Supriyadi
Terverifikasi Bukti

BAU AMIS bukan cuma datang dari drama politik menjelang pilkada. Di Surabaya, aroma itu datang langsung dari Kali Mas, Surabaya. Sungai yang dulu jadi sumber kehidupan kini lebih mirip panci raksasa tempat rebusan limbah industri.

Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (ECOTON) pun tak tahan lagi. Senin (3/11/2025), mereka turun ke bantaran Kali Mas, menuntut Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam hal ini Gubernur Khofifah Indarparawansa bertindak tegas, bukan cuma selfie dan seremoni kalau menanggapi persolana sungai.

#Musim Hujan, Musim Curang

Menurut pantauan ECOTON, setiap kali hujan turun, bukan cuma debit air yang naik, tapi juga kadar pencemaran. Banyak industri di sepanjang Sungai Surabaya—dari Sidoarjo, Gresik, sampai Surabaya—memanfaatkan momen ini untuk “cuci tangan” massal. Mereka melepas limbah cair ke sungai dengan alasan, “kan airnya tinggi, nanti juga larut.”

Sayangnya, logika itu cuma berlaku buat dosa di dongeng anak TK, bukan buat kimia berbahaya.

Prigi Arisandi, Juru Kampanye ECOTON, menyebut praktik ini sudah jadi tradisi buruk tahunan.

“Setiap musim hujan, pola pencemaran air sungai selalu berulang. Industri memanfaatkan derasnya arus untuk melepas limbah tanpa pengolahan,” kata Prigi.

Ia menegaskan, Mahkamah Agung (MA) sudah mewajibkan Pemprov Jatim untuk menegakkan hukum lingkungan dan menindak pencemar Kali Surabaya. Tapi, entah kenapa, keputusan itu lebih sering tenggelam daripada dijalankan.

#Ketika Sungai Diperlakukan Seperti Tong Sampah Cair

Warga sekitar Kali Mas sudah lama mencium yang tidak beres, secara harfiah. Bau amis dan warna keruh sungai bukan cuma gangguan estetika, tapi peringatan keras dari alam. Itu tanda meningkatnya kandungan bahan organik dan kimia berbahaya.

“Kalau terus dibiarkan, ekosistem sungai akan rusak total, ikan mati, dan manusia pun ikut diracuni pelan-pelan,” lanjut Prigi.

Sayangnya, bagi sebagian pejabat, air keruh itu mungkin dianggap “warna alami khas industri modern.”

ECOTON desak Gubernur Jatim dan Wali Kota Surabaya tegas menindak pencemar Kali Mas dan Kali Brantas. Putusan pengadilan menilai keduanya lalai hingga ikan mati massal setiap tahun, dan mewajibkan program pemulihan kualitas air masuk APBN. Sungai bukan cuma aliran air, tapi hak hidup warga dan ekosistem. | Foto: Pry

#Sungai Juga Punya Hak Hidup, Bos!

Dalam aksi itu, Manajer Divisi Edukasi ECOTON, Moh. Alaika Rahmatullah, ikut menegaskan bahwa sungai bukan sekadar aliran air, tapi juga makhluk ekologis yang punya hak untuk hidup.

“Kalau pemerintah membiarkan sungai kotor dan bau, itu artinya mereka juga ikut mencemari,” kata Alaika, atau akrab disapa Alek.

Menurutnya, sungai seharusnya jadi ruang belajar, tempat anak-anak bisa mengenal alam dan ekosistem. Tapi sekarang, jangankan belajar, lewat di tepinya saja sudah bikin mual.

#Gubernur Lalai, Melawan Hukum

Gubernur mestinya sadar bahwa sungai bukan cuma urusan debit air, tapi juga urusan moral dan hukum. MA sudah bicara, lewat Nomor 821 PK/PDT/2025, Pengadilan Negeri Surabaya pun sudah mengetuk palu lewat putusan Nomor 8/Pdt.G/2019/PN.Sby yang diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur Nomor 117/PDT/2023/PT.SBY.

Dalam amar putusan itu, pemerintah diperintahkan untuk menegakkan hukum lingkungan dan menghentikan pencemaran Kali Surabaya dan Brantas, bukan sekadar membuat spanduk bertuliskan “Ayo Cintai Sungai Kita”.

Kesepuluh putusan pengadilan tersebut juga memerintahkan para tergugat, termasuk pemerintah pusat dan daerah, meminta maaf kepada masyarakat di 15 kota/kabupaten yang dilalui Kali Brantas.

Tapi sampai sekarang, permintaan maaf itu belum pernah terdengar. Yang ada justru aroma amis dari sungai yang makin pekat setiap kali hujan turun.

Alek menegaskan, “Hakim sudah menilai bahwa Gubernur dan Menteri PUPR lalai dalam pengelolaan dan pengawasan, yang menyebabkan kematian ikan secara massal hampir setiap tahun.”

Ia menambahkan, pengadilan juga memerintahkan agar program pemulihan kualitas air Sungai Brantas dimasukkan dalam APBN. Tapi, seperti banyak hal baik lainnya di negeri ini, keputusan itu tampaknya ikut hanyut bersama limbah.

Kalau Gubernur masih pura-pura lupa, jangan sampai Wali Kota Surabaya ikut-ikutan lalai. Munculnya ikan mabuk di Rolak Jagir, beberapa hari lalu. Tanda sungai tak sehat.

“Dan yang harus menjadi introspek dan tahu diri kita, ketika sungai mati, bukan cuma ikan yang kehilangan rumah, tapi kota juga kehilangan nuraninya,“ ucap Alek.

#Tiga Tuntutan dari Sungai yang Lelah

Dalam aksi di bantaran Kali Mas, ECOTON membawa tiga tuntutan sederhana tapi fundamental:

  1. Gubernur Jawa Timur harus segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung tentang pemulihan kualitas air Sungai Surabaya.
  2. Dinas Lingkungan Hidup Provinsi dan Kota Surabaya mesti memperketat pengawasan terhadap industri di sepanjang DAS Brantas dan Kali Mas.
  3. Publikasi data kualitas air secara transparan, dan melibatkan masyarakat dalam pemantauan pencemaran.

Karena kalau tidak, sungai akan terus menjadi saksi bisu kebijakan setengah hati. Dan ketika ikan-ikan mati, mungkin nanti cuma ECOTON yang tersisa, sebagai pengingat bahwa di Jawa Timur, sungai tidak mengalir menuju laut, tapi menuju laporan tahunan yang tak pernah dibaca.***

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *