APAKAH SUNGAI berhak memiliki hak? Sekilas terdengar absurd. Tapi di tengah krisis air bersih dan kekeringan yang makin parah, pertanyaan ini jadi lebih penting daripada debat “siapa yang lebih dulu, telur atau ayam?”.
Selama berabad-abad, manusia menempatkan dirinya sebagai pusat dari segala ciptaan. Air, tanah, udara — semua dianggap bahan bakar peradaban. Pandangan ini disebut antroposentrisme, yaitu keyakinan bahwa manusia adalah makhluk paling penting di dunia.
Akibatnya? Sungai jadi korban. Ia dijadikan jalur logistik, tempat buang limbah, dan kadang jadi latar Instagram biar kelihatan “natural”. Padahal, seperti kata Rob White dari Universitas Tasmania, pendekatan antroposentris inilah biang kerusakan ekologis terbesar lima dekade terakhir. Kita sibuk menambah pertumbuhan ekonomi, tapi pelan-pelan menghancurkan pondasi kehidupan: air bersih, tanah subur, dan udara layak hirup.
#Sungai-Sungai Dunia yang Sudah Punya “KTP”
Sementara manusia sibuk selfie di jembatan, di beberapa negara sungai justru sudah diakui punya hak hukum. Di Kanada, masyarakat adat Innu memperjuangkan Sungai Magpie (Muteshekau-shipu) agar diakui sebagai entitas hukum yang punya hak untuk hidup dan bebas dari pencemaran (CBC News).
Di Selandia Baru, perjuangan masyarakat Māori akhirnya membuat pemerintah mengakui Sungai Whanganui sebagai entitas hukum pada tahun 2017 — hasil perjuangan lebih dari satu abad.
Kasus lain datang dari Kolombia, di mana Mahkamah Konstitusi mengakui hak-hak Sungai Atrato, menyatakan bahwa mencemari sungai adalah pelanggaran terhadap hak masyarakat adat dan hak sungai itu sendiri (Mongabay).
Dunia mulai belajar: sungai bukan cuma “air yang lewat”, tapi bagian dari sistem kehidupan yang punya nilai intrinsik. Dengan kata lain, sungai juga warga semesta yang pantas dihormati.
#Ketika Brantas Bicara Lewat Warganya
Kesadaran yang sama kini tumbuh di Jawa Timur. ECOTON bersama Aliansi Komunitas Peduli Bantaran Sungai (AKAMSI) merumuskan Deklarasi Hak-Hak Sungai Brantas. Mereka menyatakan: Sungai Brantas adalah makhluk hidup dan subjek hukum ekologis.
Dalam deklarasi itu, Brantas menuntut tiga hal penting:
- Hak untuk mengalir tanpa polusi,
- hak untuk dipulihkan ketika rusak,
- dan hak untuk diwakili oleh penjaganya — masyarakat, petani, buruh, akademisi, hingga tokoh agama.
Langkah ini bukan basa-basi moral, tapi kritik terhadap cara kita memaknai “kemajuan”. Kita bangga dengan bendungan baru, kawasan industri, dan perumahan tumbuh di pinggir sungai. Tapi lupa menghitung berapa banyak kehidupan yang hilang di baliknya.
Sungai yang mati adalah tanda peradaban yang sedang kehilangan arah. Karena itu, Deklarasi Brantas ingin mengubah cara pandang: dari menaklukkan alam menjadi merawatnya. Dari membangun melawan alam menjadi berdialog dengannya.
#Sungai dan Manusia, Satu Nafas yang Sama
Tentu saja, ekosentrisme tak bisa berdiri sendiri. Seperti kata Elizabeth Macpherson dari Universitas Canterbury, pengakuan hak sungai harus berjalan beriringan dengan keadilan sosial dan dekolonisasi. Sebab kerusakan lingkungan sering kali lahir dari ketimpangan kekuasaan: siapa yang menguasai lahan, siapa yang mengambil keputusan, dan siapa yang menanggung akibatnya.
Memperjuangkan hak Sungai Brantas berarti juga memperjuangkan hak rakyat kecil di sekitarnya — mereka yang selama ini kehilangan suara.
Sungai memang tidak bisa bicara. Tapi ia berteriak lewat bau busuk, tumpukan sampah, banjir, dan air yang hitam. Itu cara Brantas berkata, “Hei manusia, cukup deh ngerasa paling penting.”
Maka, memberi hak pada sungai bukanlah ide aneh. Itu langkah berani untuk mengembalikan keseimbangan. Karena sejatinya, Brantas tidak butuh belas kasihan. Ia hanya butuh pengakuan — bahwa ia hidup, dan berhak untuk terus mengalir seperti darah di tubuh kita sendiri.***

*) Artikel mengalami perubahan pada bentuk penulisan, pelafalan atau penyebutan dari yang dikirim penulis, tetapi makna dasarnya tidak mengalami perubahan, disesuaikan platform TitikTerang.
**) Mohammad Alaika Rahmatullah, Manajer Divisi Edukasi Ecoton,penulis lepas di TitikTerang