DI TENGAH gedung megah FKI Tower di jantung kota Seoul, Korea Selatan, seorang gadis dari Gresik berdiri di podium. Bukan bawa proposal skripsi, bukan mau ikut audisi K-Pop, melainkan membawa sesuatu yang jauh lebih penting, pesan tentang keadilan iklim.
Namanya Aeshnina Azzahra Aqilani, atau akrab disapa Nina. Ketua komunitas River Warrior Indonesia, dan satu dari sedikit anak muda yang suaranya didengar dalam percakapan global tentang masa depan bumi.
#Dari Sungai Menuju Seoul
Nina menjadi keynote speaker dalam forum internasional The 9th Korea Social Value and ESG: Reviving The Economy, yang digelar di FKI Tower, Yeouido, Seoul. Acara ini merupakan bagian dari peringatan ulang tahun ke-94 majalah premium Shindonga milik Dong-A Ilbo—salah satu media tertua dan paling berpengaruh di Korea Selatan.
Dalam forum yang dihadiri sekitar 200 peserta, terdiri atas perwakilan perusahaan besar, pakar, dan pembuat kebijakan, Nina menyampaikan satu hal sederhana namun menggugah: bahwa generasi muda tidak hanya korban krisis iklim, tetapi juga pelaku perubahan.
“Melalui forum ini, saya ingin menunjukkan bahwa aksi generasi muda melawan polusi plastik sangat mungkin dilakukan bersama, karena kita adalah generasi yang akan merasakan dampaknya kalau hari ini kita tidak bertindak,” ujar Nina, Selasa (4/11/2025).

#Dari Sungai yang Dulu Jernih
Dalam presentasinya, Nina bercerita tentang masa kecilnya di Gresik, saat sungai masih jernih dan jadi tempat bermain. Kini, sungai itu berubah menjadi arus pekat limbah plastik.
“Sejak kecil saya senang bermain di sungai yang dulu jernih dan bersih. Tapi sekarang, sungai itu menurun kualitasnya akibat pencemaran sampah plastik,” ujar mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Airlangga Surabaya tersebut.
Dari pengalaman itulah Nina memulai perjalanannya sebagai aktivis lingkungan. Ia mendirikan River Warrior Indonesia, komunitas yang mengkampanyekan kebersihan sungai dan pengurangan plastik sekali pakai. Namun, perjuangannya tidak berhenti di situ.
“Melawan polusi plastik berarti memperjuangkan keadilan iklim, karena yang paling terdampak adalah anak-anak, masyarakat miskin, dan negara berkembang,” tegasnya.

#Plastik, Fosil, dan Ironi Dunia
Menurut Nina, akar dari berbagai krisis lingkungan adalah ketergantungan manusia pada bahan bakar fosil. Plastik, katanya, hanyalah “anak kandung” dari sistem ekonomi global yang tidak berkelanjutan.
“Jika kita terus memproduksi plastik secara berlebihan, maka pencemaran lingkungan dan krisis iklim akan semakin parah dampaknya bagi generasi mendatang,” jelasnya.
Nina pun menyodorkan tiga langkah konkret:
- Mengurangi produksi plastik sekali pakai.
- Membersihkan pencemaran yang sudah ada.
- Mendesain ulang sistem produksi melalui Extended Producer Responsibility (EPR) agar produsen ikut bertanggung jawab hingga tahap limbah.
Tiga langkah itu mungkin terdengar teknis, tapi di tangan Nina, ia jadi panggilan moral.
#Dari Gresik untuk Dunia
Perjuangan Nina bukan dimulai di Seoul. Sejak 2021, ia telah diakui sebagai Young Ambassador EndPlasticSoup, sebuah gerakan global untuk melawan pencemaran plastik.
“It’s truly unfair that developing countries like us have to deal with waste from developed countries,” ucap Nina dalam wawancara dengan Break Free From Plastic, ketika masih berusia 14 tahun.
Kehadirannya di Korea Selatan mempertegas bahwa suara anak muda dari Asia Tenggara punya tempat dalam percakapan dunia.
“Kita bisa mulai dari empat langkah sederhana, belajar, bertindak, berpartisipasi, dan berkolaborasi,” ujarnya. “Perubahan tidak harus besar, yang penting konsisten dan dilakukan bersama.”
Melalui partisipasinya di forum tersebut, Nina menegaskan: suara generasi muda bukan sekadar gema, tapi arah masa depan.***