ADA MOMEN ketika diplomasi tidak butuh terjemahan, cukup satu pantun dan bahasa ibu. Di Samarkand, Uzbekistan, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti bikin sejarah. Pidato resmi di Sidang Umum UNESCO pakai Bahasa Indonesia. Iya, Bahasa Indonesia.
Di forum yang biasanya riuh oleh aksen Inggris, Prancis, dan Arab, tiba-tiba terdengar pantun yang bikin dunia senyum.
Ini bukan sekadar “Indonesia tampil keren di panggung internasional”. Ini soal bahasa, identitas, dan sedikit bumbu kebanggaan nasional, yang kali ini disajikan dengan rima dan diplomasi.
#Ketika Pantun Jadi Senjata Diplomasi
Pidato Abdul Mu’ti dimulai bukan dengan basa-basi, tapi dengan pantun. “Bunga selasih mekar di taman, Petik setangkai buat ramuan. Terima kasih saya ucapkan, Atas kesempatan menyampaikan pernyataan.”
Para delegasi yang mungkin sudah terbiasa dengan jargon “distinguished delegates” dan “excellencies” tiba-tiba dibuat terdiam. Pantun itu, sederhana tapi menggetarkan, semacam salam khas Nusantara yang tiba-tiba muncul di tengah forum internasional. Seolah Mu’ti mau bilang, ini Indonesia, dan kami datang dengan bahasa sendiri.
#Bahasa Indonesia: Dari Ruang Kelas ke Ruang Sidang Dunia
Pidato ini bukan sekadar gaya-gayaan nasionalis. Mulai Sidang Umum ke-43 ini, Bahasa Indonesia resmi jadi bahasa kerja UNESCO, bahasa resmi ke-10 di organisasi itu setelah perjuangan diplomasi panjang sejak 2023.
“Indonesia adalah bangsa yang diberkati dengan lebih dari 17.000 pulau, sekitar 700 bahasa daerah, dan 1.300 etnik. Bahasa Indonesia adalah perekat, jembatan kesatuan yang memungkinkan keragaman ini untuk hidup berdampingan dalam harmoni,” ujar Mu’ti.
Dan benar saja, di panggung itu, bahasa yang dulu lahir dari semangat pemuda di 1928 kini menegaskan diri: bukan cuma perekat bangsa, tapi juga jembatan pengetahuan dunia.
#Pendidikan Bukan Sekadar Kurikulum
Dalam bagian selanjutnya, Mu’ti tak hanya bicara bahasa, tapi juga isi kepala bangsa. Ia menyebut pendidikan sebagai “hak dasar setiap anak yang tidak boleh ada satu pun tertinggal.”
Data pun disajikan tanpa gaya birokratis: angka partisipasi sekolah 99,19% untuk anak usia 7–12 tahun, dan 96,17% untuk usia 13–15 tahun. Ada pula program makan bergizi gratis, peningkatan kesejahteraan guru, hingga digitalisasi pendidikan di bawah Presiden Prabowo Subianto.
“Nilai-nilai mendasar inilah yang membawa Indonesia pada penegasan bahwa pendidikan adalah hak dasar setiap anak dan tidak boleh ada satu pun yang tertinggal,” tegasnya.
Kalimat itu, kalau dibaca pelan, terdengar seperti pesan moral: jangan cuma bangga bisa baca, tapi pastikan semua bisa belajar.
#Dari Gaza ke Samarkand: Pidato yang Menyentuh Nurani
Menjelang akhir, nada Mu’ti berubah. Dari nada diplomasi jadi empati. Ia menyebut UNESCO sebagai “kompas etika peradaban dunia” dan menyerukan perlindungan bagi warga di zona konflik, terutama di Gaza.
“Indonesia memandang perlu adanya perlindungan dan dukungan tanpa syarat bagi hak-hak fundamental di zona konflik, khususnya Gaza, di mana hampir seluruh elemen peradaban dihancurkan dengan sengaja dan terancam hilang,” ujarnya lantang.
Pidato itu ditutup dengan kalimat yang seolah jadi doa untuk dunia, “Mari kita pastikan bahwa pendidikan menerangi, sains memberdayakan, kebudayaan menyatukan, dan informasi memerdekakan umat manusia.”
Di ruangan itu, Bahasa Indonesia bukan lagi sekadar alat komunikasi—ia jadi suara nurani.***