Lewati ke konten

Jakarta Hujan Plastik: Waktunya Perkuat 3R, Tapi Bukankah Recycle Itu Mitos?

| 5 menit baca |Ekologis | 3 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Supriyadi Editor: Marga Bagus
Terverifikasi Bukti

JAKARTA akhir-akhir ini bukan cuma banjir air, tapi juga banjir plastik. Ya, kamu nggak salah baca. Air hujan di ibu kota tercinta ternyata mengandung mikroplastik — partikel mungil hasil “pelapukan” plastik yang beterbangan di udara sebelum akhirnya jatuh bersama hujan. Kabar ini bikin publik tercengang. Seolah-olah langit pun ikut ngomel karena ulah manusia yang nggak bisa berhenti buang sampah sembarangan.

Fenomena ini bikin Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) angkat suara. Mereka mendesak pemerintah supaya mulai serius memantau mikroplastik di atmosfer, bukan cuma di laut atau sungai. Karena kalau udara saja sudah terkontaminasi plastik, ya bagaimana nasib paru-paru warga yang tiap hari hirup debu, asap, plus serpihan tas kresek dan serat kaos? Jakarta yang sudah panas, macet, dan berisik kini punya musuh baru, hujan yang nggak lagi menyejukkan, tapi malah “nyemprot” partikel beracun.

#Plastik dari Langit, Bukan Metafora

Muhammad Reza Cordova, peneliti BRIN sekaligus “detektif mikroplastik” di Pusat Riset Oseanografi, menjelaskan bahwa partikel plastik bisa naik ke udara lewat debu jalanan, asap pembakaran, dan aktivitas industri. Setelah itu, mereka ikut menari-nari bersama angin, naik ke awan, dan turun lagi ke bumi bareng air hujan. Ilmuwan menyebutnya atmospheric microplastic deposition. Tapi buat warga Jakarta, ini bisa dibilang “karma plastik yang jatuh dari langit.”

Menurut Reza, sampah plastik yang dibakar sembarangan dan penggunaan plastik sekali pakai adalah sumber utama masalah ini. Karena itu, satu-satunya cara mengendalikan mikroplastik di udara adalah memperkuat sistem 3R (reduce, reuse, recycle) dan menghentikan kebiasaan membakar sampah. “Langkah Jakarta adalah cerminan warganya,” katanya. Kalau warganya masih rajin bakar sampah, ya jangan salahkan hujan kalau ikut kirim partikel plastik ke kepala kita.

Mikroplastik kini bukan cuma di laut—tapi juga di udara yang kita hirup. Lebih menyeramkan lagi, partikel halusnya sudah ditemukan menumpuk di otak manusia. | Foto: Ecoton

#Riset yang Bikin Ngeri

Sejak 2022, BRIN sudah meneliti air hujan di kawasan pesisir Jakarta. Hasilnya? Rata-rata ada 15 partikel mikroplastik per meter persegi di setiap sampel hujan. Bayangkan, tiap kali hujan deras, bisa jadi miliaran partikel kecil ikut turun ke jalanan, atap rumah, bahkan ke paru-paru kita.

Bentuknya beragam, mulai dari serat sintetis hasil cucian baju, fragmen kecil plastik kemasan, sampai debu ban kendaraan. Reza bilang, air hujan sendiri sebenarnya netral. Tapi saat bercampur dengan partikel mikroplastik, jadilah kombinasi beracun yang mengandung bahan kimia seperti BPA dan logam berat.

Partikel ini bukan cuma bisa terhirup, tapi juga menempel di tanah, masuk ke sumber air, dan akhirnya balik lagi ke tubuh manusia lewat makanan. Siklus plastik itu benar-benar berputar, seperti karma yang nggak selesai-selesai.

#Plastik Itu Mitos, Reduce Itu Raja

Namun bagi Aeshnina Azzahra Aqilani, aktivis muda dari komunitas River Warrior Indonesia, konsep 3R itu perlu ditinjau ulang. Ia dengan lantang menyebut, recycle itu mitos. “Kita didoktrin kayak main game, padahal yang penting itu reduce dan reuse,” katanya. “Bahkan di negara maju saja nggak bisa recycle. “

Ia mencontohkan sedotan stainless dan tumbler yang bisa dipakai ribuan kali, jauh lebih efektif daripada sibuk memilah botol plastik yang akhirnya tetap jadi sampah. Di matanya, kampanye daur ulang besar-besaran seringkali jadi tameng industri untuk terus produksi plastik.

“Recycle itu seperti plester di piring retak… kelihatan beres, tapi retaknya tetap ada,” ujarnya sambil tersenyum. Logikanya sederhana, kurangi produksi plastik dulu, baru pikir cara membersihkan sampah yang sudah ada.

Aeshnina Azzahra Aqilani mengetahui bahwa salah satu sumber pencemaran plastik di sungai berasal dari pabrik kertas. Pabrik-pabrik kertas yang membuang limbah ke sungai tersebut diketahui mengimpor kertas bekas dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, Belanda, Jerman, Inggris, Jepang, dan negara maju lainnya. | Foto: Ecoton

#Perlu Literasi, Kolaborasi, Aksi

Bagi Nina, solusi plastik bukan cuma soal kebijakan, tapi juga gerakan sosial. Ia menyebut tiga langkah utama, literasi, kolaborasi, dan aksi nyata. Literasi artinya paham masalah plastik sampai ke akar-akarnya.

Kolaborasi berarti menggandeng semua pihak, mulai dari siswa, mahasiswa, sampai pejabat daerah. Lalu aksi nyata, mulai dari hal kecil seperti menolak kantong plastik sekali pakai, membawa wadah sendiri, hingga ikut bersih-bersih sungai.

“Kalau tiap anak muda peduli sedikit saja, efeknya bisa ribuan kali lipat,” ujarnya optimis. Baginya, masa depan bukan soal menunggu pejabat bertindak, tapi tentang siapa yang berani mulai duluan. Gaya bicaranya santai, tapi pesannya menampar, generasi muda punya tanggung jawab besar di tengah bumi yang makin panas dan makin berplastik.

Setiap plastik yang kita buang punya masa depan—dan sayangnya, masa depannya menumpuk di sini. Sampah bukan hilang, cuma pindah tempat. | Foto: Ecoton

#Saat Langit Ikut Mengeluh

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bahkan sampai mengimbau warga untuk memakai masker saat beraktivitas di luar ruangan, terutama setelah hujan. “Jangan jalan di luar sesudah hujan, karena partikelnya turun dekat-dekat hujannya,” katanya. Ironis memang, hujan yang dulu dianggap membersihkan udara, kini justru membawa racun.

Tapi mungkin, di balik bencana ini, langit sedang kirim pesan, “Hei manusia, plastikmu kebanyakan!” Fenomena hujan mikroplastik bukan cuma masalah ilmiah, tapi juga cermin gaya hidup urban yang serba instan dan penuh limbah.

Jakarta kini seperti panggung besar yang memperlihatkan betapa rumitnya hubungan manusia dan lingkungan. Di satu sisi, kita panik saat tahu udara tercemar mikroplastik. Tapi di sisi lain, kita masih belanja pakai plastik, bakar sampah di halaman, dan buang limbah sembarangan.

Kalau langit saja sudah ikut protes, mungkin memang waktunya kita berhenti pura-pura nggak tahu. Karena di kota yang bahkan hujannya pun sudah mengandung plastic. siapa sebenarnya yang kotor: langitnya, atau manusianya?***

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *