Lewati ke konten

Air Tak Pernah Salah, Tapi Kita yang Kebablasan: Kisah Surabaya, Sampah, dan Sungai yang Lelah

| 4 menit baca |Ekologis | 3 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Ulung Hananto Editor: Supriyadi
Terverifikasi Bukti

SURABAYA, Jawa Timur, lagi-lagi kebanjiran, dan warganya—lagi-lagi—ribut soal siapa yang salah. Ada yang nyalahin Pemkot, ada yang nyalahin gorong-gorong, ada yang nyalahin “pendatang dari utara”. Tapi di tengah keributan itu, akun Instagram @ini_surabaya datang dengan tamparan halus, “Sungai bukan tempat sampah. Walau gorong-gorong diperbaiki, tapi kalau hati warganya masih kotor, banjir tak akan pernah pergi.”

Unggahan itu sontak diserbu komentar, sebagian sepakat, sebagian nyinyir, sebagian curhat soal tukang sampah yang telat angkut. Tapi yang jelas, unggahan sederhana itu membuka lagi luka lama kota ini, soal kesadaran, tanggung jawab, dan betapa sulitnya membedakan mana sungai, mana tempat sampah.

#Sungai, Nadi yang Dikerasi Plastik dan Ego

Ia adalah nadi kehidupan tempat air mengalir. Tapi apa jadinya kalau nadi itu kita racuni sendiri dengan plastik dan ego?” tulis akun itu.

Kata-kata ini barangkali puitis, tapi konteksnya getir. Sungai di Surabaya memang sudah lama jadi tempat “penampungan ego kolektif”. Dari popok bayi sampai bungkus kopi, semua numpang lewat, bukan di bak sampah, tapi di aliran Brantas, Kalimas, sampai saluran kecil di kampung.
Ironinya, yang buang sampah seringkali bukan orang asing. Kadang tetangga sendiri. Kadang kita juga, waktu nyengir sambil lempar bungkus permen dari jendela mobil. Kita cuma berpikir, “Ah, kecil ini.” Tapi 3 juta “ah kecil” dalam setahun bisa nyumbat setengah kota.

#Warga Komentar: Antara Kesadaran dan Keputusasaan

Kolom komentar unggahan itu bisa jadi potret mini Surabaya. Ada yang sinis: “Kon pisan rek enek tempat sampah malah buak nang sungai,” tulis @devina.wulan. Ada yang capek: “Aku prei, biar banjir dirasakno dewe-dewe,” keluh @dyp.dee.

Ada yang reflektif: “Memang gak cuma butuh kesadaran, tapi juga hati nurani,” kata @pctddsuci. Dan tentu saja ada yang realistis: “Tempat sampah di Embong saiki gak seakek jaman Bu Risma,” ujar @alfiansyah_muhamad, mengingatkan bahwa infrastruktur lingkungan pun ikut menurun.

Diskusi itu berubah jadi simfoni sarkas dan frustrasi. Antara warga yang mau berubah tapi bingung mau mulai dari mana, dan warga yang sudah pasrah melihat sungainya berubah jadi salad plastik tiap musim hujan.

#Pemerintah Sudah Berbenah, Tapi Kesadaran Masih Becek

Tak bisa dipungkiri, Pemkot Surabaya sudah kerja keras. Gorong-gorong digali, sungai disapu, petugas DKRTH turun tangan tiap minggu. Tapi sebagus apa pun sistemnya, ia tetap kalah sama satu hal: perilaku manusia.
Beberapa komentar malah menohok balik: “Pemkot berbenah, warga e berbenah. Lek ketok wong buang sampah sembarangan, tegur en slur. Iku wes termasuk wani jogo Suroboyo,” tulis @wahyu_octa.

Tapi di sisi lain, ada keluhan klasik, petugas kebersihan berkurang, tong sampah jarang, drainase dangkal, dan RT/RW yang takut negur warga karena “wedi”.

Akhirnya, semua saling tunjuk. Pemkot nuduh warga kurang sadar, warga nuduh Pemkot kurang sigap. Sungainya? Cuma diam, menampung segala tudingan, seperti biasa.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by ini surabaya (@ini_surabaya)

#Antara Pandawara dan Pandangan Warga

Beberapa komentar bahkan memanggil nama heroic influencer zaman sekarang: “Misal Suroboyo isok tumbas alate koyo Pandawara iku jan jos tenan,” kata @devina.wulan.

Pandawara, kelompok pemuda yang viral karena membersihkan sungai di berbagai daerah, kini jadi tolak ukur baru, aktivisme yang keren dan bisa ditonton.

Tapi masalahnya, membersihkan sungai tak bisa diserahkan ke lima anak muda dan kamera drone. Ini soal mentalitas berjamaah, yang kalau dibiarkan, banjir akan terus datang tiap tahun dengan jadwal lebih tepat dari gaji bulanan.

#Air Tak Pernah Salah

Akun @ini_surabaya menutup pesannya dengan kalimat yang seharusnya jadi kutipan wajib di setiap rapat lingkungan:

“Air tak pernah salah. Ia hanya mencari jalannya. Yang salah adalah manusia yang menutup jalannya dengan ketidakpedulian.”

Kalimat itu sederhana, tapi tajam. Di tengah banjir, di tengah tumpukan sampah, kita diingatkan, musuh terbesar bukan hujan, bukan pemerintah, bahkan bukan sungai. Tapi kebiasaan kecil yang kita anggap sepele — yang, kalau dibiarkan, akan terus membuat Surabaya basah bukan karena berkah, tapi karena sampah.

#Sampah Rumah Tangga Dominasi Saluran Air

Syamsul Hariadi, Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga (DSDABM) Kota Surabaya, menyebut sampah perabotan rumah tangga jadi yang paling mendominasi. “Hujan pertama itu biasanya membawa semua sampah, sampah rumah tangga itu yang paling banyak—sofa, kasur,” jelasnya, Jumat (7/11/2025).

Menurutnya, penyebab saluran tersumbat karena masyarakat masih membuang sampah ke saluran air.
“Ketika membuang sampah di saluran air, airnya enggak bisa menempati saluran,” imbuhnya.

Dampak paling parah, jika sampah berukuran besar membebani penyaring sebelum pintu air, sehingga tidak bisa beroperasi.

“Kedua, sampah yang berpotensi mengganggu tali-tali tampar, rafia, membelit baling-baling itu enggak bisa beroperasi. Ada lagi, hewan ular pernah sepanjang lima meter dan besar kesedot baling-baling rumah pompa,” paparnya.

Syamsul meminta masyarakat tidak lagi membuang sampah di saluran air atau sungai agar tidak mengakibatkan banjir saat hujan. ***

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *