JAKARTA makin sore, tapi panasnya bukan karena matahari. Kamis (23/10/2025) petang, gedung Dewan Pers kedatangan tamu yang bawa keresahan sekaligus kenyataan pahit, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
Bukan untuk minum kopi atau nostalgia masa liputan, tapi untuk menyampaikan sesuatu yang bikin kening berkerut, pelanggaran hak ketenagakerjaan di dunia media sendiri.
Yup, rumah demokrasi ternyata punya genteng bocor.
#PHK Jurnalis Tanpa Etika, Tanpa Hak, Tanpa BPJS
AJI Indonesia diwakili oleh Ketua Divisi Ketenagakerjaan Edi Faisol dan Asnil Bambani. Dari pihak Dewan Pers, hadir Totok Suryanto (Wakil Ketua), Muhammad Jazuli, Dahlan Dahi, dan Abdul Manan.
Dalam audiensi itu, Edi Faisol buka data yang mestinya bikin malu banyak perusahaan media. Ada 14 laporan PHK jurnalis yang masuk lewat kanal pengaduan AJI Indonesia. “Banyak PHK dilakukan tanpa prosedur yang adil, bahkan hak normatif seperti pesangon, BPJS, dan upah sesuai UMR aja banyak yang diabaikan,” kata Edi.
Katanya, bukan cuma PHK yang jadi masalah. Hubungan industrial di banyak perusahaan media juga amburadul, gaji di bawah UMR, pemotongan upah tanpa kompensasi, dan pekerja yang nggak terdaftar BPJS.
Edi bahkan menyebut, beberapa perusahaan media di Bengkulu, Batam, dan Semarang tega memotong upah seenaknya tanpa penjelasan. “Media yang tiap hari bicara soal etika dan keadilan, tapi di dalam rumahnya sendiri lupa cara berlaku adil,” sindir Edi.
#Media Bicara Demokrasi, Tapi Di Dalamnya Feodal
Rekan satu timnya, Asnil Bambani, menimpali dengan kritik yang lebih pedas. “Kalau manajemen media masih otoriter, belum siap berdialog dengan karyawan, lalu di mana letak demokrasi yang selalu mereka banggakan?” ujarnya.
Menurut Asnil, akar masalahnya sederhana tapi kronis, minimnya serikat pekerja dan nihilnya komunikasi dua arah antara karyawan dan manajemen. “Banyak media yang jurnalisnya bisa bicara lantang di luar, tapi bisu di dalam. Karena takut dipotong gaji, atau lebih parah, dipotong karier,” tambahnya.
#Dewan Pers: Oke, Kami Akan Uji Petik (Akhirnya)
Menanggapi semua itu, Wakil Ketua Dewan Pers Totok Suryanto bilang, pihaknya mengapresiasi langkah AJI yang membuka kanal pengaduan soal PHK dan sengketa ketenagakerjaan.
Langkah itu dinilai penting untuk memperkuat perlindungan pekerja media, yang ironisnya, sering kali justru tidak dilindungi oleh medianya sendiri.
Totok juga menegaskan bahwa Dewan Pers siap melakukan uji petik terhadap perusahaan media terverifikasi. “Selama ini memang belum pernah kami lakukan, dan kami akui itu kelemahan kami. Tapi ke depan, ini akan jadi kewenangan dan prioritas Dewan Pers,” katanya jujur (dan agak menyesal).
Selain itu, Dewan Pers juga akan mengumpulkan seluruh konstituen pers untuk membahas kondisi bisnis media, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan pekerjanya.
Karena ya, percuma medianya punya gedung tinggi dan logo keren, kalau di baliknya para jurnalis masih hidup dalam bayang-bayang “PHK dan upah di bawah UMR.”
#Demokrasi Tak Akan Kokoh Kalau Wartawannya Ringkih
Audiensi sore itu menegaskan satu hal sederhana tapi penting, kalau media bicara demokrasi, maka harusnya mulai dari dirinya sendiri.
Jurnalis yang takut ngomong di kantor karena takut dipecat bukan tanda profesionalitas, itu tanda trauma struktural.
Dan mungkin, sebelum mengkritik pemerintah yang anti kritik, ada baiknya media juga belajar menerima kritik dari dalam.***