Lewati ke konten

Anugerah Pajak Daerah Jombang 2025: Antara Ketaatan, Seremoni, dan Sinyal Ekonomi

| 4 menit baca |Sorotan | 5 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Denny Saputra Editor: Supriyadi

PEMERINTAH Kabupaten Jombang, Jawa Timur, menggelar acara megah di Alun-Alun, Sabtu malam (25/10/2025). Bukan konser dangdut, tapi Anugerah Pajak Daerah 2025. Sebuah seremoni yang katanya sebagai bentuk apresiasi untuk para wajib pajak, pemerintah desa, dan kecamatan yang rajin bayar pajak.

Bupati Jombang, H. Warsubi, tampil di atas panggung dengan senyum lebar, membawa kabar “manis”. Penerimaan pajak daerah sudah mencapai Rp262,39 miliar, atau 91,63 persen dari target per 30 September 2025.

“Alhamdulillah,” katanya, “ini bukti komitmen dan kesadaran masyarakat dalam mendukung pembangunan daerah.”

Tentu saja, acara  yang dihadiri Wakil Bupati Jombang Salmanudin Yazid, Sekretaris Daerah Agus Purnomo dan Jajaran Farkompimda, bukan sekadar angka. Ada simbol politik di balik panggung, pemerintah yang bekerja keras, rakyat yang patuh, dan pajak yang mengalir lancar. Di Jombang, itu sudah cukup untuk satu panggung besar dan beberapa piagam penghargaan.

#Kecamatan Ngoro: Rajin Bayar Pajak, Rajin Dapat Pujian

Sama seperti ujian nasional dulu, yang cepat kumpul jawaban biasanya dapat perhatian lebih dari guru. Bedanya, kali ini yang cepat bayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) dapat piagam dan tepuk tangan dari Bupati.

Tujuh kecamatan tercepat diumumkan, Ngoro, Ploso, Kudu, Wonosalam, Plandaan, Tembelang, dan Sumobito.

Nama-nama itu dibacakan seperti nominasi di ajang penghargaan musik tahunan. Bedanya, tak ada slide video dokumenter warga sedang bayar pajak sambil tersenyum, hanya tepuk tangan sopan dari para camat yang berusaha tersenyum sambil kena sorot lampu alun-alun yang suram.

Sementara 13 desa tercepat juga diumumkan, Bendet dan Jatirejo (Kecamatan Diwek), Kertorejo, Rejoagung, dan Sugihwaras (Kecamatan Ngoro), serta Ploso (Kecamatan Ploso).

Mereka mungkin tak berjalan di karpet merah, tapi mereka membawa “tanda lunas” lebih cepat dari siapa pun. Di zaman ketika banyak orang masih lupa bayar listrik, desa-desa ini jelas pantas dapat panggung tersendiri, meski mungkin tanpa konfeti dan MC bersemangat.

#E-Tax, QRIS, dan Harapan Digitalisasi Pajak

Selain para camat dan kepala desa, nama-nama korporasi juga ikut dibacakan. Ada PT Rekso Nasional Food, PT Fast Food Indonesia, Nest Coffee, Tree On Hotel, sampai Epidemi Coffee. Yang terakhir, entah apakah kopinya bikin taat pajak atau justru bikin mikir kenapa sistem pajak kita masih suka “loading lama.”

Bupati Warsubi memuji mereka yang sudah patuh menggunakan sistem e-Tax dan pembayaran QRIS. Katanya, ini bukti bahwa Jombang siap jadi daerah modern. “Kalau bayar kopi saja bisa pakai QRIS, masa bayar pajak masih harus pakai map dan materai?” ujarnya sambil tersenyum. Kalimat yang terdengar lucu tapi juga sedikit menampar realitas birokrasi yang dipimpinnya.

Tapi di balik layar, warga kecil masih banyak yang antre di loket pajak, menunggu tanda tangan pejabat, sambil membawa map plastik warna biru yang sudah agak lecek.

Digitalisasi? Masih jalan, tapi seperti sinyal 3G di Wonosalam. Kadang nyala, kadang hilang, dan kadang malah nunggu “reconnecting” lebih lama dari antrean loket

#Pajak Naik, Ekonomi Bergerak? Belum Tentu.

Di akhir sambutannya, Bupati Warsubi menegaskan bahwa Pemerintah Kabupaten Jombang baru saja menandatangani Perjanjian Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak Pusat dan Daerah (OP4D) bersama Ditjen Pajak dan Ditjen Perimbangan Keuangan.

Kata beliau, kerja sama itu merupakan “langkah nyata memperkuat transparansi dan akuntabilitas fiskal.”

Kedengarannya keren, seperti jargon di spanduk seminar keuangan, tapi warga tentu punya pertanyaan yang jauh lebih sederhana dan membumi. Karena di sisi lain, jalan penghubung antar-desa di Dusun Kedungurip, Desa Brudu, Kecamatan Sumobito masih berlubang di mana-mana.

Sudah terlalu lama jalan itu jadi bahan obrolan warga. Bukan karena mulus seperti tol, tapi karena rusaknya sudah seperti medan latihan offroad. “Wadulan wis akeh, tapi dalane yo tetep ngono-ngono wae,” begitu kira-kira keluh warga di kolom komentar unggahan @kabarjombangdotcom dua hari lalu.

Akhirnya, warga memilih cara paling nyentil tapi elegan: menanam pohon pisang di tengah jalan berlubang. Bukan karena ingin berkebun, tapi sebagai tanda protes. Kalau pemerintah belum bisa menumbuhkan aspal, ya biarlah warga yang menumbuhkan sesuatu—minimal pisang, bukan janji.

#Pohon Pisang Jadi Simbol Pembangunan

Kalau dipikir-pikir, aksi tanam pohon pisang di Brudu ini punya makna lebih dalam dari sekadar protes. Ia adalah satire rakyat kecil terhadap sistem yang lambat bergerak.

Di satu sisi, pemerintah bisa pamer capaian pajak Rp262 miliar dan menandatangani kerja sama “optimalisasi pajak.” Tapi di sisi lain, di ujung jalan desa, warga menanam Wit Gedang di tengah aspal bolong sebagai monumen kecil tentang ketidakpuasan.

Seremoni boleh meriah, piagam boleh banyak, tapi pada akhirnya, pajak adalah soal kepercayaan. Dan seperti yang kita tahu, kepercayaan publik tak tumbuh dari panggung di alun-alun—melainkan dari seberapa nyata hasil pajak itu kembali ke rakyat.

Selama warga masih menanam pisang di jalan rusak, berarti masih ada yang belum tumbuh, rasa percaya.***

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *