Lewati ke konten

Arum Wismaningsih, Komandani Polisi Air di Jombang: Sensus Sungai, Jaga Lingkungan yang Tak Pernah Pemerintah Lakukan

| 3 menit baca |Sosok | 5 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Denny Saputra Editor: Marga Bagus

JOMBANG – Kalau polisi biasa menjaga jalan, polisi air… yah, menjaga sungai dan sumber mata air. Begitu kira-kira analogi yang cocok untuk Arum Wismaningsih, ibu dua anak sekaligus Pembina Polisi Air di Wonosalam, Jombang, Jawa Timur ini.

Berangkat dari pengalaman hidup di kaki Gunung Anjasmoro, Arum sadar betul bahwa sungai itu lebih dari sekadar jalur air, ia bisa jadi cermin kualitas lingkungan sekitar.

Sayangnya, “cermin” itu sering ditutupi sampah plastik, sisa makanan, bahkan kotoran hewan. “Ada semacam perlakuan yang salah oleh sebagian masyarakat terhadap sungai,” ujar Arum, Minggu (5/10/2025). Maksudnya, sungai itu bukan tong sampah raksasa yang bisa dibuang sesuka hati. Tapi banyak yang tetap memperlakukan seperti itu.

#Dari Sukarelawan Jadi “Satpam” Sungai

Kelompok Polisi Sungai dibentuk oleh Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton)—atau dalam bahasa Inggrisnya, Ecological Observation and Wetland Conservation—pada 2010. Arum Wismaningsih, yang saat itu masih menjadi sukarelawan Ecoton, ditunjuk sebagai pembina.

Tugasnya jelas, mengawasi badan sungai, memunguti sampah, dan memastikan sungai tetap “sehat” dari pencemaran.

“Kami menjaga supaya badan sungai aman dari orang-orang yang membuang sampah sembarangan,” ujarnya sambil menatap Kali Boro yang mengalir di wilayah Kecamatan Bareng dan Wonosalam.

Sungai di kaki Gunung Anjasmoro dulunya menghadapi problem sedimentasi akibat pembalakan hutan 1998. Kini, hutan sudah rapat kembali, tapi musuh baru muncul, sampah rumah tangga dan limbah kandang yang mengintai sungai-sungai sekitar.

#Sekolah dan Sampah: Tim Gabungan Mingguan

Setiap Minggu, Arum dan sekitar 50 siswa SMP 1 Wonosalam menyusuri sungai. Tujuannya jelas, memunguti sampah. Tapi bukan sekadar “bersih-bersih ala guru BK”, mereka juga meneliti binatang air sebagai indikator kesehatan sungai. Hasilnya? Bendera hijau untuk sungai sehat, orange untuk kurang sehat, dan merah untuk sungai yang… yah, mau dibilang sakit kronis juga tepat.

“Dulu banyak yang ikut, tapi pandemi waktu itu bikin peserta terbatas. Dan sekarang mulai kembali kami kumpulkan,” terang Arum.

#Warung dan Kafe di Bantaran Sungai: Bonus Masalah Baru

Kalau sampah rumah tangga belum cukup, kini muncul tantangan baru, warung dan kafe di sepanjang bantaran sungai. Selain mengganggu ekosistem, keberadaan mereka bikin akses polisi sungai susah. Belum lagi sampah-sampah tambahan dari pengunjung.

Arum sudah coba bicara dengan perangkat desa. Hasilnya? Yah… diam itu emas, katanya. Sungai tetap menunggu perhatian pemerintah daerah yang tak kunjung datang.

#Sungai sebagai “Indikator Alam”

Yang paling ditekankan Arum, sungai bukan sekadar jalur air. Ia bisa menjadi alat alami untuk memeriksa kualitas lingkungan sekitar.

“Sungai bisa memberi tahu kita apa yang salah dengan lingkungan sekitar lewat indikator-indikator alami,” ujarnya.

Sayangnya, menjaga sungai agar tetap sehat bukan prioritas pemerintah daerah. Di Jombang, janji dan program lingkungan sering berhenti di angka-angka laporan, sementara realitas di lapangan—sampah menumpuk, limbah mengalir—ditangani Arum dan timnya sendirian.

Bagi Arum, menjaga sungai bukan cuma soal kebersihan. Ini soal kesadaran ekologis masyarakat dan keberanian untuk turun langsung ke lapangan, sesuatu yang ironisnya tak pernah dijalankan secara konsisten oleh pemerintah.***

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *