BOJONEGORO – Sungai Bengawan Solo, panjangnya lebih dari 600 kilometer, membelah Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan menopang hidup sekitar 17 juta orang, sedang sakit. Dan sayangnya, penyakitnya bukan karena greges panas dingin, tapi karena limbah. Ya, limbah industri, limbah rumah tangga, dan aktivitas tambang yang seolah berkompetisi siapa paling bisa merusak sungai.
Data terbaru dari Stasiun Onlimo KLH di Padangan, Bojonegoro, mencatat kualitas air Bengawan Solo pada 16–22 September 2025 tidak memenuhi baku mutu. Jelasnya, sungai tercemar, dan makin jauh dari fungsinya sebagai sumber kehidupan. Direktur Walhi Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan, tegas menyampaikan bahwa sungai yang seharusnya memberi kehidupan kini lebih mirip “kolam limbah raksasa.”
“UU No. 32 Tahun 2009 jelas memberi mandat, negara wajib mencegah, menanggulangi, dan memulihkan pencemaran lingkungan. Jadi bukan sekadar tanda tangan di meja rapat atau laporan tahunan yang hanya bagus di PowerPoint,” tegas Wahyu.
#Sungai yang Kena Limbah, Bukan Hanya Airnya
Kalau membayangkan sungai yang sehat, biasanya kita pikir: air jernih, ikan-ikan berenang, warga minum dan mandi dengan aman. Tapi Bengawan Solo sekarang? Bayangkan kopi sachet raksasa dicampur deterjen, limbah pabrik, dan sisa-sisa tambang—lalu mengalir ke rumah-rumah warga. Warga tetap harus menanggung beban: air kotor, risiko kesehatan, dan hilangnya sumber penghidupan.
Wahyu Eka menegaskan, pencemaran ini bukan hanya masalah lokal. Sungai ini lintas provinsi; limbah dari satu wilayah bisa mengganggu kehidupan di wilayah lain. Jika tidak ada penegakan hukum nyata, pencemaran akan terus berulang, seolah sungai ini punya “memory leak” yang tidak pernah diperbaiki.
“Pelaku pencemaran harus dikenai sanksi administratif, perdata, hingga pidana, dan wajib memulihkan sungai. Kalau tidak, masyarakat yang menanggung akibatnya,” kata Wahyu. Dan memang, masyarakat di sekitar sungai semakin sulit mengandalkan air bersih, dan ekonomi lokal—yang banyak bergantung pada sungai—ikutan terganggu.
#Tuntutan Walhi: Dari Hulu Sampai Hilir
Walhi Jawa Timur menyiapkan tuntutan konkret, agar Bengawan Solo bisa kembali bernapas.
- KLH: Segera tetapkan daya tampung pencemaran Bengawan Solo, identifikasi seluruh sumber limbah, dan menegakkan hukum terhadap pencemar lintas wilayah. Jangan sampai ada pabrik nakal yang cuma diperingatkan lewat surat cinta resmi pemerintah, terus tetap nyampah sesuka hati.
- Pemprov Jawa Timur: Perketat izin dan pengawasan industri, pastikan baku mutu dipatuhi, dan koordinasikan pemulihan ekologis di seluruh daerah aliran sungai. Intinya, jangan biarkan satu anak sungai bocor, nanti banjir limbah ke hilir.
- Pemkab/kota sepanjang Bengawan Solo: Awasi langsung, hentikan aktivitas tambang di badan dan sempadan sungai, serta jalankan program pengelolaan limbah domestik berbasis masyarakat. Bayangkan warga bisa #SaveBengawanSolo tanpa menunggu pemerintah pusat, atau setidaknya ikut mengawasi pabrik-pabrik yang sering “mencuci tangan” sambil membuang limbah ke sungai.
- Semua level pemerintahan: Susun kebijakan pemulihan terintegrasi dari hulu ke hilir, dengan target yang jelas, terukur, dan transparan. Biar publik bisa menilai, apakah sungai ini benar-benar pulih atau cuma menjadi pajangan di laporan tahunan KLH.
#Kalau Sungai Bisa Bicara
Kalau sungai ini bisa bicara, mungkin ia akan mengeluh: “Tolong, hentikan! Aku bukan kolam limbah hidup!” Tapi sungai tidak bisa bicara. Yang bisa bicara hanyalah warga, aktivis lingkungan, dan organisasi seperti Walhi. Mereka yang terus mengingatkan pemerintah: sungai bukan tempat buang sampah dan limbah, tapi sumber kehidupan.
Kalau tuntutan ini ditanggapi serius, mungkin Bengawan Solo suatu hari bisa kembali jadi sungai yang menyehatkan, bukan sungai yang bikin orang menahan napas saat mandi atau minum air galon isi ulang. Tapi kalau cuma menjadi pajangan laporan tahunan? Well… generasi mendatang bakal nyanyi lagu baru: “Bengawan Solo… oh, limbahmu selalu di hati.”
Jadi, pemerintah punya pilihan: bertindak nyata, atau membiarkan sungai ini jadi saksi bisu kegagalan kita menjaga sumber kehidupan sendiri. Dan sungai itu… jelas lebih panjang ingatannya daripada birokrasi yang cuma suka catatan administratif.***