BOJONEGORO – Tiga desa di Kecamatan Baureno, Bojonegoro, sedang belajar ilmu kesabaran tingkat dewa. Bukan karena macet, bukan karena kenaikan harga beras, tapi gara-gara dikepung jutaan lalat. Desa Karangdayu, Pasinan, dan Kauman mendadak jadi lokasi syuting horor alam: rumah-rumah bergetar oleh suara bzzzz nonstop, meja makan penuh tamu tak diundang, dan udara terasa lebih ramai dari terminal menjelang Lebaran.
Bayangkan, mau sarapan tempe goreng saja harus siap bertarung dengan serangan udara. Baru lengah sebentar, lalat sudah hinggap duluan. Warga sampai beli kertas perekat lalat bukan per dus, tapi per karung. Di titik ini, kita harus akui: hidup berdampingan dengan lalat jauh lebih berat ketimbang hidup berdampingan dengan tetangga yang suka nyetel dangdut keras-keras.
#Kandang Ayam: Dari Bisnis Menggiurkan Jadi Malapetaka
Akar masalahnya, menurut warga, berasal dari kandang ayam pedaging besar di Dusun Pipitan. Setelah panen, kandang itu tidak serta-merta bersih. Limbah kotoran ayam masih menumpuk, menjadi surga dunia bagi para lalat. Kita bisa bilang, itu semacam “buffet all you can eat” yang tak pernah tutup.
Pemilik kandang disebut sedang berangkat umrah. Warga boleh berteriak, pemerintah boleh inspeksi, tapi pemiliknya entah di mana. Yang ada hanya pekerja kandang yang juga kelimpungan menghadapi hujan lalat. Sungguh tragis: warga kepanasan, pemerintah sibuk rapat, pemilik kandang tenang beribadah, dan lalat berpesta.
Di sinilah ironi bisnis modern: keuntungan bisa jalan terus, tapi resiko sosialnya ditanggung orang lain. Pemilik kandang dapat cuan, warga sekitar dapat koloninya.
#Pemerintah: Selalu Menunggu Ribut Baru Bergerak
Begitu lalat menyerbu, pemerintah daerah bergerak. Ada penyemprotan, ada inspeksi, ada pemanggilan pemilik kandang. Tapi semua itu baru terjadi setelah warga teriak-teriak ke media. Pertanyaan mendasar: di mana pengawasan sejak awal? Bukankah izin usaha peternakan harusnya mencakup manajemen limbah dan standar lingkungan?
Ini penyakit klasik: negara sering kalah cepat dari masalah. Bukan sekali ini. Warga sering jadi “alarm gratis” bagi pemerintah. Begitu ada masalah, baru deh aparat sibuk blusukan, wartawan dipanggil, spanduk solusi dipasang. Padahal, lalat tak muncul tiba-tiba kayak meteor jatuh. Mereka lahir dari situasi yang dibiarkan berlarut-larut.
Kalau lalat bisa bikin akun Instagram, mungkin mereka sudah update story: “Ngopi bareng di Karangdayu. Thanks to pemerintah yang slow response.”
#Hidup di Tengah Koloni Lalat
Bagi warga, serangan lalat ini bukan sekadar gangguan kecil. Ia nyata-nyata mengubah pola hidup. Semua makanan harus ditutup rapat, tudung saji jadi barang paling berharga. Anak-anak susah makan, orang tua resah soal kesehatan, dan rumah terasa seperti medan perang.
Saking ekstremnya, ada warga yang rela pasang kipas angin di dapur hanya untuk menghalau lalat. Ada pula yang setiap pagi harus menyapu ratusan bangkai lalat dari lantai. Coba bayangkan, bangun tidur bukannya disambut aroma kopi, tapi pemandangan “pesta kematian” serangga.
Dampak psikologisnya jelas. Hidup terasa sumpek, jijik, dan melelahkan. Warga jadi kehilangan hak paling mendasar: menikmati rumah sendiri.
#Kesehatan Jadi Taruhan
Lalat bukan hanya makhluk menjengkelkan. Mereka adalah kurir penyakit yang andal. Dari diare, tifus, hingga infeksi kulit bisa ditularkan lewat kaki mungil mereka yang doyan hinggap di kotoran lalu mendarat di nasi warga. Ini bukan lagi soal kebersihan, tapi soal kesehatan publik.
Lucunya, pemerintah sering mengampanyekan “Polaku Hidup Bersih dan Sehat”. Tapi bagaimana bisa hidup bersih kalau lingkungan sudah jadi surga lalat? Di titik ini, kampanye itu terasa seperti poster klise yang ditempel di dinding posyandu: indah dibaca, tapi kosong di lapangan.
#Izin Kandang: Misteri yang Perlu Diusut
Masalah krusial lain adalah izin pendirian kandang ayam di dekat pemukiman. Apakah memang ada aturan yang dilanggar? Atau aturan ada, tapi bisa dinegosiasikan lewat surat dan tanda tangan tertentu?
Kalau izinnya resmi, berarti pemerintah ikut berperan melahirkan masalah ini. Kalau izinnya abal-abal, berarti pengawasan bobrok. Dua-duanya bikin warga jadi korban. Dan ini bukan kasus pertama. Banyak daerah di Indonesia menghadapi problem serupa: kandang ayam berdiri gagah di tengah desa, sementara warga sekitar jadi tameng hidup menanggung polusi.
Jangan sampai warga hanya dijadikan stempel legalitas tanpa pernah benar-benar dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Demokrasi lingkungan bukan sekadar jargon, tapi harus jadi praktik nyata.
#Warga Bukan Musuh Ayam, Tapi Musuh Ketidakadilan
Perlu dicatat, warga tidak anti terhadap ayam. Mereka juga butuh protein hewani, mereka juga jual beli ayam di pasar. Masalahnya bukan pada hewan, tapi pada manajemen bisnis yang serampangan.
Limbah yang tidak dikelola dengan baik menjadikan desa seolah dijadikan tempat pembuangan masalah. Inilah bentuk ketidakadilan lingkungan: keuntungan terkonsentrasi di pemilik usaha, sementara kerugiannya didistribusikan ke warga kecil.
#Harapan yang Mulai Terkikis
Saat pemerintah datang melakukan penyemprotan, warga memang sedikit lega. Tapi mereka sadar, itu cuma solusi tambal sulam. Begitu kandang panen lagi, kemungkinan besar serangan lalat akan terulang.
Warga menuntut solusi jangka panjang: pengelolaan limbah yang serius, aturan jarak minimal kandang dengan rumah, hingga opsi menutup kandang jika terbukti tak layak. Namun harapan ini sering tergerus oleh pengalaman lama: pemerintah lebih sering berpihak pada pemodal ketimbang rakyat kecil.
#Negara Kalah Sama Lalat
Kasus ini menyuguhkan cerita pahit. Negara yang katanya punya aparat, dinas, dan anggaran besar, ternyata kalah sama sekumpulan lalat. Hewan mungil itu bisa mengacak-acak kenyamanan hidup ribuan orang, sementara negara sibuk menulis laporan dan menggelar rapat koordinasi.
Lalat tidak kenal birokrasi. Mereka hanya butuh bau limbah untuk berkembang biak. Dan selama bau itu tetap ada, serangan akan terus berulang. Jadi sebenarnya masalah ini bisa diatasi, asalkan ada keberanian menindak tegas.
#Dari Lalat Kita Belajar
Kasus koloni lalat di Bojonegoro memberi pelajaran penting: hal-hal kecil yang dibiarkan bisa meledak jadi masalah besar. Dari kotoran ayam yang tak terurus, lahirlah masalah kesehatan, sosial, bahkan politik.
Warga berharap pemerintah tidak lagi sekadar menenangkan dengan janji, tapi benar-benar hadir dengan kebijakan tegas. Karena bagi warga, hidup tanpa lalat bukanlah kemewahan, melainkan hak dasar.
Dan mungkin, di tengah ironi ini, kita harus akui satu hal: lalat lebih konsisten daripada pemerintah. Mereka selalu datang tepat waktu, tak pernah telat panen, dan kompak menyerbu bersama-sama. Sementara pemerintah? Selalu menunggu ribut baru bergerak.***
Hamim Anwar, jurnalis di Bojonegoro berkontribusi atas artikel ini. | Editor: Supriyadi