Lewati ke konten

Brokers of Shame, Ketika Limbah Amerika Dikirim Jauh Demi “Kebersihan” di Rumah Sendiri: Asia Bernapas Sesak Asap

| 6 menit baca |Ekologis | 13 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Prigi Arisandi Editor: Supriyadi

KALIMAT “reduce, reuse, recycle” ternyata punya versi premium: “relabel, reload, and relocate (to Asia)”.

Laporan terbaru dari Basel Action Network (BAN) berjudul Brokers of Shame mengungkap bahwa ada sekitar 2.000 kontainer e-waste yang keluar dari pelabuhan Amerika setiap bulan.

Isinya? Laptop rusak, monitor ngadat, HP jadul… Dan kadang, kontradiksi moral.
Destinasinya bukan pusat daur ulang canggih di Silicon Valley, tapi Malaysia, Indonesia, Thailand, Filipina, bahkan Uni Emirat Arab. Negara-negara yang sebenarnya sudah melarang impor limbah elektronik.

Kalau dipikir, ini seperti nyapu debu ke rumah tetangga, lalu bangga bilang “rumahku bersih”.

#Sepuluh Broker, Seribu Dalih

Beberapa dari mereka bahkan beroperasi di California, negara bagian yang konon paling galak urusan limbah elektronik. Tapi, seperti biasa, aturan bisa kalah cepat sama hitung-hitungan dolar.

Penelitian Basel Action Network (BAN) menemukan fakta yang bikin kepala geleng-geleng, setiap bulan ada sekitar 2.000 kontainer, setara 32.947 ton limbah elektronik bekas, yang berlayar dari pelabuhan-pelabuhan Amerika Serikat menuju negara-negara yang sebenarnya melarang impor limbah berbahaya. Ironisnya, negara-negara ini juga nggak punya fasilitas memadai buat mengolahnya dengan aman.

Dari Januari 2023 sampai Februari 2025, sepuluh “broker aib” alias perusahaan makelar daur ulang asal AS ini kedapatan mengekspor lebih dari 10.000 kontainer e-waste, dengan total nilai lebih dari 1 miliar dolar AS. Kalau ditarik ke skala industri, bisnis kotor ini bisa mencapai 200 juta dolar AS per bulan.

Dan tebak siapa yang jadi tujuan utamanya? Bukan Tiongkok. Bukan India. Tapi Malaysia yang notabene adalah negara peserta Basel Convention, perjanjian internasional yang tujuannya justru melarang perdagangan limbah berbahaya lintas negara.

Selama masa penelitian, limbah elektronik AS bahkan menyumbang hampir 6% dari total perdagangan AS ke Malaysia. Bayangin, enam persen dari semua barang dagangan yang dikirim Amerika ke Malaysia, isinya… sampah.

“Perusahaan-perusahaan ini tampil bak pahlawan daur ulang, padahal ekspor mereka justru memperparah krisis limbah elektronik,” ujar Jim Puckett, pendiri BAN dalam rilis Rabu, (22/10/2025).

Menurutnya, pola ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi tamparan keras terhadap hukum, etika, dan akal sehat. Mereka berjualan citra hijau, tapi uangnya dari racun yang dikirim ke negara orang.

#Gila, Tapi Resmi: Broker Limbah yang Dapat Kontrak Pertahanan

Yang bikin dahi berkerut, laporan BAN juga menemukan fakta-fakta yang bikin plot twist-nya lebih gila dari film Mission Impossible.

Pertama, kontainer berisi limbah elektronik yang mereka lacak ternyata nyasar, eh, maksudnya disengaja nyasar, ke Malaysia, Indonesia, Thailand, Filipina, dan Uni Emirat Arab. Padahal, semua negara itu jelas-jelas melarang impor limbah berbahaya lewat Konvensi Basel maupun hukum nasional masing-masing. Jadi ini bukan sekadar “salah kirim,” tapi lebih ke “kirim, tapi pura-pura nggak tahu.”

Kedua, yang lebih nyesek, delapan dari sepuluh broker aib itu ternyata punya Sertifikasi R2V3, sebuah label industri yang seharusnya memastikan limbah elektronik diproses secara aman dan etis. Tapi di tangan mereka, sertifikat itu malah seperti ijazah kehormatan yang dijadikan bungkus gorengan.

Ketiga, beberapa di antara mereka berbasis di California, negara bagian yang paling cerewet soal aturan e-waste. Di situ, setiap kabel bekas aja bisa bikin laporan tiga halaman. Tapi rupanya, regulasi ketat pun bisa tembus kalau yang main duit besar.

#Dan yang paling absurd (dan ironis banget)

GEM Iron and Metal, Inc., salah satu “broker aib” itu, malah baru saja dapat kontrak dari U.S. Defense Logistics Agency untuk menangani limbah elektronik sensitif milik Departemen Pertahanan AS. Ya, lembaga militer paling besar di dunia, yang seharusnya superketat urusan keamanan data dan limbah berbahaya. Malah ngasih kerjaan ke perusahaan yang diduga ekspor sampah ke luar negeri.

Kalau ini bukan ironi, mungkin kita sudah kehabisan kata buat menggambarkannya.

BAN juga menemukan bahwa limbah berbahaya sering disamarkan sebagai “bahan komoditas” seperti logam mentah atau elektronik baru, biar lolos dari deteksi bea cukai.

Sementara itu, di ujung rantai, para pekerja tanpa dokumen di negara-negara penerima limbah terpaksa bekerja di tempat seadanya, mengupas kabel, membakar plastik, dan menghirup asap beracun di bawah panas terik, semuanya demi sesuap nasi.

Begitu rantai ini dibuka, jelas, yang benar-benar “didaur ulang” bukan limbahnya, tapi nurani manusia.

#Limbah Jadi Nafkah: Cerita dari Pinggir Sawit Malaysia

Di Malaysia, limbah elektronik dari Amerika itu nggak hilang begitu saja di udara. Ia jatuh, secara harfiah, ke tangan para pekerja migran tanpa dokumen yang bekerja di pinggir perkebunan sawit dan kawasan industri, di tempat-tempat yang bahkan Google Maps pun malas memotret.

Mereka membakar kabel, melelehkan plastik, membongkar komponen elektronik dengan tangan kosong, tanpa masker, tanpa sarung tangan, tanpa alat pelindung apa pun. Asap hitam dari kabel terbakar jadi “parfum industri,” dan logam berat jadi lauk harian yang tak kasat mata.

Peneliti BAN asal Malaysia, Pui Yi Wong, cuma bisa geleng-geleng kepala. Katanya, “Amerika seharusnya mendaur ulang elektroniknya di negaranya sendiri.” Tapi tampaknya, di dunia ini, lebih mudah menyumbangkan racun daripada mengolah tanggung jawab.

Skala masalah e-waste global pun makin gila. Tahun 2022, dunia menghasilkan 62 juta ton limbah elektronik—rekor tertinggi dalam sejarah. Dan itu belum puncaknya. Angka ini diprediksi bakal naik 32% menjadi 82 juta ton pada 2030. Tapi ironinya, menurut data PBB, cuma 17–22% dari limbah itu yang didaur ulang secara resmi.

Sisanya? Banyak yang disebut “recycling,” padahal aslinya cuma ekspor dosa ke negara berkembang dalam bentuk barang bekas beracun.

BAN menyebut, sebagian besar bahan yang diklaim “hasil daur ulang” ternyata berakhir di fasilitas kotor di Asia Tenggara—di mana pekerja miskin harus memilih antara napas sehat atau nasi malam.

Pui Yi Wong menegaskan, “Perdagangan limbah plastik dan elektronik ke negara saya telah menimbulkan kerusakan yang luar biasa besar. Para penyelundup dan pendaur ulang ilegal terang-terangan melanggar hukum Malaysia atas nama ‘daur ulang’, demi keuntungan yang mencemari air, udara, dan tanah kami. Mereka membuat masyarakat sakit, meracuni pekerja, dan memupuk korupsi.”

Kini Malaysia, seperti Tiongkok dulu, sedang belajar dengan cara yang paling pahit, bahwa mendaur ulang limbah dunia datang dengan harga yang sangat mahal.

Ironisnya lagi, Amerika Serikat, yang suka berbicara soal kepemimpinan global, masih menjadi satu-satunya negara industri besar yang belum meratifikasi Konvensi Basel, perjanjian internasional yang seharusnya mencegah negara kaya buang sampah beracun ke negara miskin.

Kalau dunia ini panggung sandiwara, mungkin bagian ini adalah babak di mana “daur ulang” berubah jadi “dusta ulang.”

#Basel Convention: Yang Diabaikan Negeri Adidaya

Dari semua negara industri, cuma Amerika Serikat yang belum meratifikasi Konvensi Basel, perjanjian internasional untuk mencegah negara kaya buang limbah berbahaya ke negara berkembang.

Negara-negara lain sudah belajar, termasuk China yang akhirnya menutup pintu impor limbah pada 2018. Tapi Amerika? Masih sibuk mengirim limbah sambil bilang, “Kami mendukung ekonomi sirkular.”

BAN menyebut laporan ini bukan untuk menyudutkan industri daur ulang, tapi untuk menuntut akuntabilitas dan reformasi. Karena kalau dibiarkan, kita bisa menyambut masa depan di mana Asia jadi tempat sampah elektronik dunia, dan “hijau” hanya warna label, bukan tindakan.***

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *