JOMBANG – Bupati Jombang Warsubi sedang menjalani masa bulan madunya dengan investor asing. Tepatnya, dengan tamu terhormat dari Brunei Darussalam. Dalam acara Temu Investasi Strategis Selasa (7/10/2025), ia menyampaikan ajakan manis yang tak kalah menggoda dari promosi kuliner lokal: “Mari tanamkan modal di Jombang.”
Kalimat itu disampaikan dengan penuh wibawa di hadapan Yang Mulia Pengiran Haji Haris bin Pengiran Haji Duraman, perwakilan BIMP-EAGA Brunei Darussalam. Pertemuan itu bukan cuma soal ekonomi, tapi juga soal rasa serumpun yang kental—antara Melayu, Islam, dan nostalgia sejarah.
Warsubi paham betul, diplomasi tak melulu lewat meja bundar, mikrofon berlapis logo kementerian, dan slide PowerPoint lima ratus halaman. Kadang, cukup dengan sapaan hangat, secangkir kopi, dan kalimat “kita ini serumpun”, investor bisa luluh seperti es batu di bawah lampu sorot.
“Indonesia dan Brunei ini serumpun, terikat oleh akar budaya Melayu, nilai-nilai Islam, serta sejarah panjang,” ujarnya. Kalimat yang terdengar seperti bait pembuka lagu kebangsaan versi ASEAN, tapi kali ini liriknya ditujukan bukan untuk seremoni, melainkan untuk membuka peluang bisnis lintas negara—dan entah kenapa, terasa lebih efektif daripada pidato menteri di forum investasi internasional.
#Pertumbuhan 5 Persen dan Janji Manis yang Tak Kalah Stabil
Kalau dalam asmara stabilitas itu penting, dalam ekonomi apalagi. Bupati Warsubi menegaskan bahwa Jombang punya iklim usaha yang adem ayem tapi produktif. Dalam tiga tahun terakhir, ekonomi Jombang tumbuh di atas 5 persen. Tahun 2022 tumbuh 5,37%, 2023 naik 5,04%, dan 2024 bertahan di 5,15%.
Bagi orang awam, angka 5 persen itu mungkin terdengar biasa. Tapi dalam dunia pemerintahan, stabilitas di atas 5 persen ibarat hubungan yang tahan dari godaan politik lima tahunan. Tidak spektakuler, tapi konsisten.
“Hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi,” kata Warsubi.
Serius memang. Dari cara beliau bicara, tampak kalau Jombang ingin naik kelas: dari kabupaten agraris yang adem, menjadi kabupaten yang seksi secara ekonomi. Dan siapa tahu, kelak Jombang punya kawasan industri halal yang bisa bikin investor Brunei kepincut lebih dari sekadar makan rawon.
#TJSL: CSR Versi Jombang yang Tak Sekadar Plakat
Di sela ajakan investasi, Warsubi juga membanggakan satu hal yang jarang dilirik, Forum Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Forum ini bukan sekadar seremoni pembagian sembako saat Ramadan, tapi bentuk nyata kolaborasi pemerintah dan dunia usaha.
Bupati bahkan membagikan penghargaan bagi perusahaan yang berkontribusi besar. PT Maan Ghodaqo Shiddiq Lestari misalnya, mencatatkan nilai TJSL tertinggi tahun 2024 sebesar Rp672 juta. Sementara PT Pei Hai International Wiratama jadi juara penyerap tenaga kerja lokal terbanyak dengan 7.393 orang.
Angka-angka itu bukan sekadar data, tapi juga narasi, bahwa Jombang ingin tumbuh bersama, bukan sendiri. Di banyak daerah lain, TJSL sering jadi formalitas—asal laporan masuk dan foto serah terima terlihat hangat. Tapi Jombang mencoba beda. Mereka ingin forum ini jadi “komunitas gotong royong versi korporasi.”
Kalau kata Sugiman yang lagi asik ngobrol di warung kopi Wonosalam, TJSL ini seperti arisan sosial antar perusahaan. Bedanya, yang dikocok bukan nama pemenang, tapi program siapa yang paling berdampak bagi warga.
#Brunei dan Jombang: Ketika UMKM Jadi Jembatan Diplomasi
Menariknya, tamu kehormatan dari Brunei, Pengiran Haji Haris, juga membawa semangat serupa. Ia menekankan pentingnya kolaborasi ekonomi berbasis UMKM. Di sinilah romantika diplomasi lintas negara mulai terasa.
“Insyaallah, melalui program UMKM yang tepat, kita dapat menjalin kemitraan antara Brunei Darussalam dan Jombang,” ujar Pengiran Haris.
Bayangkan kalau kelak produk UMKM Jombang—dari keripik tempe sampai kopi Wonosalam—dipasarkan di Brunei. Mungkin saja nanti warga Brunei akan lebih akrab dengan “tempe rasa pedas manis” ketimbang burger beef black pepper.
UMKM memang punya daya tarik universal, sederhana tapi menggerakkan banyak orang. Kalau kolaborasi ini benar-benar berjalan, bukan mustahil Jombang dan Brunei akan punya “jalan sutra ekonomi versi modern”—yang isinya bukan unta dan sutra, tapi kolaborasi antara pengusaha kecil dan investor besar.
Warsubi tampaknya sedang menanam benih jangka panjang, diplomasi ekonomi yang dibalut dengan kehangatan budaya. Dan seperti halnya investasi, benih itu perlu waktu untuk tumbuh.
Siapa tahu, di masa depan, yang datang ke Jombang bukan cuma investor, tapi juga wisatawan Brunei yang penasaran, “Seperti apa sih kota tempat Bupati Warsubi menanam modal harapan?” ***