BOJONEGORO – Dalam dunia birokrasi Indonesia, jabatan bisa berganti, tapi jejaknya sering kali masih tertinggal di meja arsip. Itulah yang kini menimpa Heru Sugiarto, mantan Camat Padangan yang kini menjabat sebagai Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Bojonegoro.
Belum genap setahun menikmati kursi baru yang berpendingin, Heru harus kembali berurusan dengan penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Jawa Timur. Ia resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Bantuan Keuangan Khusus Desa (BKKD) tahun anggaran 2021.
Kasubdit III Tipikor Ditreskrimsus Polda Jatim, AKBP Dewa Putu Prima Yogantara Parsana, membenarkan hal itu. “Benar, sudah kami naikkan statusnya dari saksi menjadi tersangka,” ujarnya singkat, tapi cukup untuk membuat banyak pejabat daerah buru-buru memeriksa dokumen lama mereka masing-masing.
#Babak Lanjutan dari Drama BKKD Padangan
Kasus BKKD di Kecamatan Padangan ini bukanlah episode perdana. Ia adalah semacam “drama berseri” dengan banyak pemeran dan plot twist yang lumayan kompleks. Pada tahun 2023, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya sudah lebih dulu menjatuhkan vonis 7 tahun 6 bulan penjara kepada Bambang Soedjatmiko, rekanan proyek yang menjadi pemeran utama pada musim pertama.
Tak berhenti di situ, empat kepala desa — Kades Tebon Wasito, Kades Dengok Supriyanto, Kades Purworejo Sakri, dan Kades Kuncen Mohammad Syaifudin — juga terseret dan masing-masing dijatuhi hukuman 5 tahun penjara.
Kini, penyidik menyebut kasus Heru sebagai split berkas dari perkara sebelumnya. Artinya, ini semacam “side story” yang melibatkan peran lain yang dulu belum sempat disorot kamera hukum. Dalam proses penyidikan, Heru diduga berperan penting saat masih menjabat sebagai Camat Padangan. Ia diduga memperkenalkan rekanan pelaksana proyek kepada para kepala desa penerima bantuan, ikut menandatangani pengajuan anggaran tanpa laporan pertanggungjawaban (LPJ), serta membantu kelancaran proses pencairan dana bantuan.
“Modusnya, tersangka memperkenalkan penyedia kepada desa yang menerima bantuan. Selain itu, tersangka selaku camat menandatangani pengajuan anggaran desa tanpa dokumen LPJ,” tegas AKBP Dewa Putu dalam pernyataannya.
Audit sementara menunjukkan kerugian negara mencapai Rp 1,696 miliar. Angka yang, kalau dijadikan jalan beton desa, bisa menghubungkan beberapa dusun tanpa perlu drama tender ulang. Tapi ya itu tadi, uangnya malah menguap entah ke mana — atau tepatnya, ke siapa.
#Ketika Dana Bantuan Jadi Ujian Integritas
Program Bantuan Keuangan Khusus Desa (BKKD) sejatinya dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan di tingkat desa. Sebuah niat baik yang, sayangnya, sering berakhir seperti cerita klasik: niat suci, eksekusi ambisi.
Dalam praktiknya, BKKD justru kerap jadi ladang basah bagi oknum birokrat dan perangkat desa. Uang yang mestinya memperbaiki jalan, irigasi, atau balai desa, malah mengalir ke rekening pribadi atau proyek fiktif. Dalam kasus Padangan, yang tersisa di lapangan hanyalah bangunan setengah jadi dan laporan keuangan yang penuh tanda tangan, tapi minim bukti fisik.
Yang lebih ironis, hingga kini Heru Sugiarto belum ditahan. Penyidik Polda Jatim menyatakan masih melakukan pemeriksaan lanjutan. Telepon Heru aktif, tapi tidak diangkat. Pesan singkat masuk, tapi tak dibalas. Mungkin sedang sibuk rapat atau sedang menyiapkan press release versi pribadi.
Bagi masyarakat, kasus ini menjadi pengingat pahit, bahwa jabatan sering kali lebih lentur dari akhlak. Bisa pindah instansi, bisa naik pangkat, tapi sulit pindah dari kebiasaan lama. Heru kini duduk di posisi yang ironis, memimpin pasukan penegak ketertiban, tapi justru harus berhadapan dengan pasal-pasal Tipikor.
#Ketika Hukum Jadi Cermin yang Tak Rata
Dalam kasus-kasus seperti ini, publik biasanya menunggu dua hal, penahanan, dan rasa keadilan. Tapi sering kali yang datang lebih dulu justru alasan klasik, “masih pendalaman berkas”.
Padahal, masyarakat desa yang menjadi korban korupsi BKKD tidak butuh istilah hukum yang panjang — mereka cuma ingin jalan desanya tak becek lagi, jembatannya tak roboh, dan uang negara dipakai sebagaimana mestinya.
Lucunya, banyak pejabat daerah justru belajar dari kasus ini dengan kesimpulan keliru: bukan “jangan korupsi”, tapi “jangan ketahuan dulu sebelum mutasi”.
Kalau ini film, mungkin sudah saatnya diberi judul besar di layar:
“BKKD: Bantuan Keuangan Khusus Dilema — Sebuah Kisah tentang Tanda Tangan, Tender, dan Takdir.”***