Lewati ke konten

Dari Irigasi ke “Intrik-gasi”: Mahasiswa Mojokerto Tidak Lagi Mau Diam

| 5 menit baca |Sorotan | 5 dibaca

MOJOKERTO – DPRD Kabupaten Mojokerto mendadak berubah menjadi arena panas. Bukan karena rapat resmi, tapi karena puluhan mahasiswa HMI Cabang Mojokerto menyerbu kantor dewan, membawa tuntutan yang tajam seperti kapak:

“Tutup galian C ilegal! Awasi proyek irigasi sekarang juga!”

Sebelumnya, pemerintah bisa santai-santai saja, menikmati kopi pagi sambil pura-pura bekerja. Tapi hari itu, suara rakyat muda menembus tembok birokrasi yang selama ini tebal, berdebu, dan sarat korupsi. Bukan lagi sekadar protes manis, tapi pukulan telak ke muka pejabat yang terlelap dalam laporan palsu dan janji kosong.

Ketua Umum HMI Cabang Mojokerto, Ambang Muhammad Irawan, menegaskan kehadiran mereka sebagai sosial kontrol yang tidak mau kompromi. Kehadiran ini bukan sekadar menyalurkan tuntutan nasional 17+8, tapi juga menyorot isu daerah yang selama ini dibiarkan membusuk.

“Isu yang sampai saat ini jadi masalah nyata adalah galian C ilegal yang masih merajalela. Termasuk yang terbaru terkait proyek irigasi di Kutorejo,” ujarnya kepada wartawan Jumat, (19/9/2025), dengan nada pedas.

Dalam nada yang hampir menggertak, Ambang menekankan bahwa mahasiswa tidak akan diam sementara tanah dirampok, proyek jalan di tempat, dan laporan hanya indah di atas kertas. Ini bukan soal protes biasa; ini alarm bagi pejabat yang senang pura-pura sibuk tapi lupa tugasnya menjaga rakyat.

 #Proyek Irigasi: Uang Rakyat atau Uang Misteri?

Mendengar kata “irigasi”, bayangan orang desa biasanya sederhana: saluran air untuk sawah. Tapi di Kabupaten Mojokerto, irigasi justru berubah menjadi projek misteri. Anggaran miliaran dicatat rapi di dokumen, tapi di lapangan? Progresnya bisa dicontohkan dengan padi yang layu di musim kemarau: kering, membingungkan, dan menyedihkan.

Seorang mahasiswa menuding dengan pedas: “Uang rakyat kok diputar-putar, proyek jalan di tempat, tapi laporan mulus di kertas!”

Bukan cuma soal keterlambatan. Transparansi proyek ini setebal kabut pagi hari di pegunungan: ada, tapi sulit ditembus. Tanah rakyat digali, beton dibentangkan, tapi siapa yang benar-benar mengawasi? Tidak ada yang tahu, dan sepertinya aparat pun sengaja pura-pura tidak tahu.

#Galian C Ilegal: Batu dan Pasir Tanpa Hukuman

Kalau proyek irigasi sudah bikin pusing, galian C ilegal di Mojokerto bikin kepala panas. Batu, pasir, dan kerikil seakan menjadi komoditas tanpa hukum. Dampaknya? Lingkungan hancur, jalanan porak-poranda, masyarakat dirugikan, tapi aparat seakan menutup mata.

Koordinator aksi menegaskan:

“Kalau galian C ilegal dibiarkan, bukan cuma tanah yang hilang. Masa depan generasi kita juga ikut terkikis.”

Tidak hanya itu, warga sekitar menjerit karena banjir dan longsor mulai menjadi langganan. Tapi ke mana aparat? Rupanya mereka sibuk dengan urusan yang lebih penting: rapat, laporan, dan foto bersama pejabat.

#DPRD dan Polres: Janji Manis vs Tindakan Nyata

Hari itu jelas terlihat satu hal: mahasiswa tidak lagi puas dengan janji manis. Laporan resmi, statement media, atau rilis anggaran tidak akan menutup mulut rakyat yang mulai sadar. DPRD harus berani menegakkan pengawasan; Polres harus berani menindak ilegalitas yang terang benderang.

Suasana panas, kata-kata keras, dan tuntutan lugas membuat ruang rapat bergemuruh. Tidak ada basa-basi. Hanya ada satu pesan: “jangan remehkan rakyat yang mulai bangkit.”

Seorang mahasiswa menambahkan:

“Kalau pejabat tidak bisa menegakkan aturan, jangan berharap kami diam. Kami akan terus mengawal sampai tindakan nyata terlihat.”

#Dampak Lingkungan: Dari Sungai Keruh hingga Tanah Rawan Longsor

Galian C ilegal bukan hanya masalah administratif. Batu dan pasir yang digali sembarangan mengancam lingkungan: sungai keruh, debit air tidak stabil, dan tanah di perbukitan jadi rawan longsor. Petani tidak bisa menanam padi dengan tenang, warga takut ketika hujan deras datang.

Seorang warga Desa Kutorejo menyambut baik tuntutan mahasiswa itu: “Kalau tidak ada tindakan sekarang, anak-cucu kami yang bakal menanggung akibatnya. Ini bukan soal proyek atau anggaran lagi. Ini soal hidup dan mati!”

Dari sini terlihat jelas: proyek irigasi tanpa pengawasan + galian C ilegal = bencana yang menunggu waktu.

#Mahasiswa dan Warga: Aliansi Tak Terkalahkan

Yang bikin DPRD dan aparat ketar-ketir bukan cuma kritik mahasiswa, tapi dukungan warga yang nyata di lapangan. Mahasiswa Mojokerto tidak berjalan sendiri; suara mereka kini berpadu dengan rasa kecewa warga yang sudah jenuh melihat tambang dan proyek ilegal merampas tanah serta merusak lingkungan.

Puluhan spanduk dengan tulisan pedas menghiasi halaman gedung DPRD, menampar setiap pejabat yang sebelumnya tidur nyenyak di balik laporan manis dan janji kosong:

  • “Proyek Irigasi: Uang Rakyat atau Uang Misteri?”
  • “Galian C Ilegal = Masa Depan Kami Dicuri!”

Seperti yang pernah terjadi di Desa Sawo, Kutorejo, puluhan warga—termasuk ibu-ibu dan anak-anak—mengusir paksa alat berat yang hendak melakukan aktivitas galian C tanpa izin, karena khawatir akan kerusakan ekosistem dan kekurangan air bersih.

Kini, kombinasi mahasiswa kritis dan warga yang siap turun tangan menjadi pesan yang tidak bisa diabaikan. Aparat yang tadinya tenang harus sadar bahwa rakyat tidak lagi sekadar menonton, tapi mengawasi dengan mata tajam dan tekad baja, siap menindak siapa pun yang mencoba melanggar hukum atau merampas hak mereka.

#Siapa yang Bertanggung Jawab?

Pertanyaan paling penting: siapa yang harus bertanggung jawab? Kontraktor yang seenaknya mengeruk tanah rakyat? Pejabat yang pura-pura sibuk? Atau aparat yang lebih sering rapat ketimbang turun ke lapangan?

Mahasiswa menuntut transparansi total: setiap rupiah, setiap meter kubik pasir, setiap proyek harus jelas di mata publik. Tidak ada lagi ruang untuk laporan palsu atau foto propaganda.

Apakah pejabat akan diam di balik meja rapat, atau berani turun tangan sebelum proyek dan galian ilegal merusak lebih banyak? Mahasiswa dan warga jelas tidak akan mundur. Suara mereka sudah menjadi badai kecil yang bisa membesar, siap mengguncang siapa pun yang mengira rakyat bisa dibodohi.

Kalau pejabat masih main mata, jangan kaget kalau demonstrasi ini menjadi awal dari gelombang baru pengawasan publik. ***

 

Fio Atmaja, jurnalis di Mojokerto berkontribusi atas artikel ini | Supriyadi, bertindak sebagai penyuntiing dan editor atas artikel ini.

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *