Lewati ke konten

Dari Makam ke Taman Bungkul Surabaya: Jejak Sawunggaling dan Seribu Penari yang Lawan Lupa

| 4 menit baca |Ide | 22 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Ulung Hananto Editor: Supriyadi

SURABAYA – Di Lidah Wetan, Minggu (5/10/2025), suasana pagi bukan cuma hangat karena matahari, tapi juga karena hentakan kaki seribu penari remo yang mengguncang tanah seperti mau memanggil arwah sejarah.

Bukan pesta politik, bukan pula konser dangdut kampanye—ini Sembrani Bumi Nusantara 2025, perayaan budaya yang bikin orang sadar, Surabaya bukan cuma kota dengan mal, flyover, dan suara klakson, tapi juga punya akar budaya yang dalam—sedalam semangat Joko Berek alias Raden Sawunggaling.

#Seribu Remo, Seribu Cerita

Begitu musik gamelan mulai berdentum, 1.000 penari dari berbagai sekolah dan sanggar tari di sekitar Lidah Wetan menari dengan serempak. Gerakan kaki, kibasan selendang, dan senyum yang tak bisa disembunyikan menciptakan pemandangan yang bikin bulu kuduk berdiri.

Kalau ini lomba senam massal, mungkin wali kota sudah turun tangan kasih hadiah beras. Tapi ini remo massal—tarian khas Suroboyoan yang menggambarkan keberanian, kegigihan, dan (kalau mau jujur) ego maskulin khas wong Suroboyo yang gak mau kalah.

Ketua LPMK Lidah Wetan, Muhammad Andi, dengan bangga bilang, “Napak tilas ini bukan sekadar pawai budaya, tapi menapaktilasi perjalanan Raden Sawunggaling mencari ayahandanya.”

Artinya, kalau di era sekarang Sawunggaling hidup, mungkin dia bukan cuma cari ayahnya, tapi juga cari sinyal dan surat izin jalan dari Dishub.

#Dari Makam ke Jalan Raya: Jejak yang Hidup

Rangkaian acara dimulai dari prosesi sakral di Makam Raden Sawunggaling di Gang III. Warga sungkem, berdoa, lalu jalan kaki bareng-bareng menuju titik akhir di Taman Bungkul.

Rutenya bukan cuma simbolis, tapi juga filosofis — semacam meditasi kolektif di tengah hiruk pikuk kota yang makin sibuk. Menapaktilasi bukan sekadar jalan kaki, tapi perjalanan batin untuk mengingat siapa diri kita, sebelum berubah jadi orang yang cuma tahu Sawunggaling sebagai nama jalan macet di dekat kampus.

“Napak tilas ini bukan sekadar mengenang masa lalu,” tambah Andi berjalan sambil membawa bendera kecil. “Ini cara kami bilang, kami masih ingat asal-usul kota ini, meski dunia terus berubah.”

Kalimat itu mungkin sederhana, tapi terasa seperti tamparan lembut bagi generasi yang lebih sering menelusuri Google Maps daripada jejak sejarahnya sendiri.

Dan masyarakat? Jangan ditanya. Mereka tumpah ruah di sepanjang jalan, dari anak kecil sampai mbah-mbah yang sudah hafal tiap nada gamelan. Ada yang nonton sambil jualan es, ada pula yang live di TikTok sambil caption, “Budaya lokal gak kalah keren, gaes!”

#Pemerintah Ikut Tepuk Tangan (Syukurlah)

Untungnya, acara ini gak jalan sendiri. Kepala Disbudporapar Kota Surabaya, Hidayat Syah, hadir dengan jubah kebanggaan khas pejabat yang aware budaya.

“Wali Kota Eri Cahyadi menyambut baik kegiatan ini dan akan terus mendukungnya,” katanya.

Bagus. Karena dukungan kayak gini memang gak bisa setengah hati. Kalau semangat Sawunggaling itu membabat alas buat Surabaya, dukungan pemerintah mestinya juga gak cuma sekadar nyumbang panggung dan tenda, tapi juga ngebabat alas birokrasi yang sering bikin penggiat budaya pusing tujuh keliling.

Dan karena Surabaya selalu suka punya ikon baru, tahun ini sekalian diresmikan Monumen Ayam Jago di Lidah Wetan. Simbol keberanian dan semangat rakyat yang, kalau kata orang kampung, “ora wedi digebug.”

Mungkin nanti bisa jadi spot selfie baru—tapi siapa tahu, bisa juga jadi pengingat bahwa jago bukan cuma simbol tarung, tapi juga tanggung jawab menjaga budaya.

#Antara Campursari dan Khotmil Qur’an

Acara ini gak berhenti di hari itu aja. Masih ada Campursari di tanggal 8 Oktober dan Khotmil Qur’an di 11 Oktober. Jadi antara rebana dan kenong, antara gamelan dan doa, Sembrani Bumi Nusantara berhasil jadi ruang yang mempertemukan spiritualitas dan seni.
Di saat sebagian anak muda sibuk scrolling TikTok, warga Lidah Wetan malah scrolling sejarah leluhur mereka.

Hebat, ya? Kadang yang namanya “babat alas” itu gak melulu soal membuka hutan, tapi juga membuka kesadaran—bahwa di tengah modernitas, ada identitas yang gak boleh hilang.

#Surabaya, Kota yang Masih Punya Akar

Sembrani Bumi Nusantara sudah tiga tahun digelar, dan tiap tahun makin ramai. Ini bukti kalau budaya gak pernah benar-benar usang—asal dirawat, bukan dibiarkan.
Di tengah gedung pencakar langit dan kompetisi “cari viral”, acara kayak gini kayak oase kecil yang menyejukkan: tempat warga bisa bilang, “Iki lho, Suroboyo sing asli.”

Karenanya jati diri kota itu gak diukur dari seberapa tinggi gedungnya, tapi seberapa kuat ia menjaga jejak tanah yang pertama kali dibabat oleh warganya.

Dan kalau Sawunggaling bisa lihat sekarang, mungkin dia bakal senyum sambil bilang:
“Wes bener, rek. Babat alas gak cukup sekali. Setiap generasi harus melakukannya lagi—dengan caranya sendiri.”**

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *