Lewati ke konten

Dari Minimarket ke Kamera: Cerita Muhammad ‘Timbel’ Iqbal dan Komunitas Fotografi Jombang

| 3 menit baca |Ide | 5 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Supriyadi Editor: Marga Bagus

JOMBANG – Di Jombang, ada satu nama yang kalau disebut di lingkaran fotografi, orang-orang langsung nyeletuk, “Oh, Timbel!” Muchammad Iqbal, atau yang lebih akrab dipanggil Timbel, sehari-hari bekerja di sebuah minimarket. Pekerjaan standar: menjaga kasir, merapikan rak, sampai menghapalkan kode promo Indomie. Tapi di luar seragam hijau-merah minimarket itu, dia menjelma jadi pria dengan kamera yang selalu siaga membidik momen—dari sunrise di sawah sampai senyum mbak-mbak penjual cilok.

Yang bikin unik, Timbel lebih suka motret orang yang lagi olahraga lari. Buat dia, ada kepuasan tersendiri mengabadikan ekspresi ngos-ngosan manusia yang sedang mengejar garis finish. Sabtu, 27 September 2025 kemarin, misalnya. Di alun-alun Jombang, ketika sebagian orang sibuk beli es teh dan pentol, Timbel sibuk membidik pelari amatir yang memutari alun-alun dengan gaya serius seolah lagi memotret lomba lari estafet internasional.

“Lari itu ekspresif banget. Ada yang senyum, ada yang kayak mau pingsan, ada juga yang pura-pura kuat padahal kakinya gemeteran. Itu semua menarik buat difoto,” katanya sambil cekikikan.

Hasil fotonya? Jangan salah, dijual. Ya, betul. Baru dua bulan pegang kamera, Timbel sudah menemukan cara biar hobinya nggak sekadar buang-buang memori card. Ada aja yang mau beli: entah itu pelari yang kepengen upload ke Instagram biar terlihat sporty, atau bapak-bapak yang butuh bukti ke istrinya bahwa dia benar-benar lari, bukan nongkrong di warung kopi. Bisa diakses di Instagram: xallphotography

Komunitas fotografi Jombang pun jadi tempat ia belajar banyak hal: mulai dari teknik “biar wajah pelari nggak burem” sampai strategi bagaimana motret tanpa ketahuan satpam alun-alun. Obrolannya sering absurd. Kadang serius soal shutter speed, kadang nyeleneh: “Kalau orang lari sambil bawa balon, itu masuk genre human interest atau komedi?”

Timbel sendiri melihat fotografi sebagai jeda hidup. Pagi sampai sore berjibaku dengan dunia minimarket yang repetitif—ngecek stok Aqua galon, nempel stiker diskon minyak goreng—malam atau weekend jadi “tuan atas kamera” yang bisa mengatur angle dan cahaya sesuai keinginannya.

Namun, di balik keseruan itu, ada satu realitas klasik khas kota kecil: komunitas hobi sering cepat viral, tapi juga cepat bubar. Hari ini bikin hunting rame-rame di taman kota, besok sudah ribut soal siapa yang nggak mau patungan sewa studio. Ada yang awalnya niat belajar, ujung-ujungnya cuma numpang gaya biar feed Instagram kelihatan artsy.

Lebih lucu lagi, banyak komunitas hobi di kota kecil yang lebih sibuk mikirin atribut ketimbang karya. Baru kumpul tiga kali, sudah bikin kaos seragam. Baru hunting sekali, sudah ribut desain logo. Karyanya? Masih nol besar. Tapi timeline Facebook penuh foto “rapat perdana komunitas” lengkap dengan banner sponsor warung kopi sebelah.

Nah, di tengah tren “komunitas kaos dulu, karya belakangan” itu, Timbel justru mengambil jalan berbeda. Baru dua bulan, dia sudah bisa menghasilkan uang dari hasil jepretannya. Tanpa logo, tanpa seragam, tanpa jargon-jargon ala startup gagal. Hanya kamera, keberanian, dan konsistensi.

Siapa sangka, dari rak Indomie ke deru napas pelari di alun-alun, hidup bisa punya cerita yang lebih berwarna—asal kita tidak ikut-ikutan sibuk bikin kaos seragam komunitas yang ujung-ujungnya cuma dipakai sekali buat foto profil WhatsApp, lalu dilupakan di lemari.***

 

Supriyadi, jurnalis TitikTerang berkontribusi dalam penulisan artikel ini | Editor: Marga Bagus

 

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *