SIDOARJO – Hingga memasuki hari kedelapan, Basarnas menyampaikan perkembangan terkini terkait ambruknya Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo. Total sudah 65 orang meninggal dunia, termasuk enam potongan tubuh yang ditemukan di antara puing.
“Korban meninggal dunia 65 orang (6 body part),” kata Direktur Operasi Basarnas, Laksamana Pertama TNI Yudhi Bramantyo, dalam keterangan yang dikutip detik.com, Senin (6/10/2025).
Tak ada yang lebih menyayat selain mendengar kabar rumah ibadah runtuh di tengah doa.
Musala Pondok Pesantren Al Khoziny — yang dulu menjadi tempat para santri menunduk khusyuk — kini berubah jadi tumpukan bata, baja, dan kenangan yang remuk bersama lantainya.
Di balik setiap kantong jenazah, ada nama yang sebelumnya hanya dikenal lewat daftar absensi — bukan daftar korban. Lima potongan tubuh juga ikut ditemukan, seperti serpihan kecil dari kisah yang tak sempat selesai.
Musala yang seharusnya menjadi ruang keselamatan spiritual malah berubah menjadi liang kolektif.
Dan negeri ini kembali dihadapkan pada tragedi yang — entah kenapa — selalu datang tanpa kesiapan.
#Doa, Debu, dan Pertanyaan yang Tertinggal di Reruntuhan
Antara takdir dan kelalaian, antara doa dan data — reruntuhan Al Khoziny menyisakan pertanyaan yang terlalu berat untuk dijawab hanya dengan “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”
Senin petang, tim SAR gabungan masih berjibaku di sektor A1 dan A2 — titik di mana tumpukan beton berat menimpa bangunan lama.
Proses pembersihan dilakukan dengan hati-hati, sebab di sebelahnya masih berdiri gedung yang nyaris ikut roboh.
Setiap ayunan alat berat diatur seperti tarikan napas: pelan, pasti, dan penuh harap agar tak menimbulkan kerusakan baru.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, menargetkan seluruh proses pembersihan rampung pada Senin (6/10/2025).
Dengan begitu, operasi SAR bisa segera ditutup — setidaknya dengan kepala sedikit lebih tenang, meski hati belum tentu demikian.
“Operasi akan dinyatakan selesai setelah lokasi benar-benar bersih, seluruh reruntuhan berhasil dipisahkan, dan tidak ada lagi korban yang tertinggal,” ujar Abdul, dikutip dari BBC Indonesia.
#10 Jenazah Teridentifikasi, Kepastian yang Menggetarkan Hati
Tim DVI Polda Jawa Timur terus bekerja di tengah tumpukan duka. Hingga Senin pagi, sebanyak 10 jenazah telah berhasil diidentifikasi.
Kabiddokkes Polda Jatim, Kombes dr. M. Khusnan Marzuki, menjelaskan bahwa setiap jenazah yang tiba di RS Bhayangkara Surabaya langsung menjalani pemeriksaan menyeluruh.
Tim forensik mengambil data postmortem — data setelah kematian — untuk kemudian dicocokkan dengan data antemortem milik keluarga korban. Proses ini, kata Khusnan, membutuhkan ketelitian dan kesabaran, sebab di balik setiap nama ada keluarga yang menunggu kepastian.
“Hingga Senin pagi, kami sudah menerima 50 kantong jenazah, lima di antaranya merupakan potongan tubuh (body part),” ujar Khusnan, dikutip dari DetikJatim.
Setiap kecocokan antara data medis dan harapan keluarga menjadi momen yang getir, antara lega karena telah menemukan, dan hancur karena akhirnya benar-benar kehilangan.
#Beban di Antara Bata dan Doa
Tim SAR gabungan memilih untuk tidak gegabah mengambil keputusan tanpa perhitungan, apalagi kondisi bangunan lama terlihat miring dan rawan.
“Apabila dipaksakan, maka dikhawatirkan dapat merusak atau justru memicu robohnya gedung di sebelahnya. Jika itu terjadi, maka akan ada pekerjaan baru yang lebih berat,” jelasnya.
Mereka tahu, dalam setiap ayunan excavator, ada risiko yang lebih besar dari sekadar keruntuhan fisik: kehilangan harapan orang-orang yang menunggu di luar garis polisi.
#Setelah Debu Turun, Doa dan Tangis
Reruntuhan Al Khoziny tidak hanya menumpuk bata dan baja, tapi juga pertanyaan yang belum terjawab.
Di balik setiap kantong jenazah, ada keluarga yang menunggu kepastian, ada doa yang tak sempat selesai dilafalkan, dan ada negara yang sekali lagi diuji kesiapsiagaannya.
Alat berat bisa membersihkan puing, tim SAR bisa mengevakuasi jenazah, data bisa dicocokkan dengan teliti — tapi kehilangan, penyesalan, dan rasa tak berdaya tidak bisa diangkat begitu saja.
Tragedi ini mengingatkan kita, keselamatan bukan sekadar ritual, dan doa bukan pengganti prosedur. Di negeri yang gemar membangun cepat tapi kadang lupa menghitung kuat, reruntuhan seperti Al Khoziny selalu meninggalkan tanda tanya yang berat, sekaligus panggilan agar kita tidak lagi hanya menunduk dalam doa, tapi juga menengok dan memperbaiki yang bisa diperbaiki.***