Lewati ke konten

Dari Ritual Menjaga Hutan, Malah Dipenjara: Kisah Pilu 11 Warga Maba Sangaji Halmahera Timur yang Dikriminalisasi

| 4 menit baca |Ekologis | 9 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Tim Redaksi Editor: Supriyadi

Halmahera Timur – Kalau biasanya orang diringkus polisi karena merampok atau ngebegal, sebelas warga adat Maba Sangaji dari Halmahera Timur ini justru divonis penjara karena menjaga hutan mereka sendiri.

Ya, kamu nggak salah baca. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Soasio, Kota Tidore Kepulauan, pada Kamis (16/10/2025) resmi menjatuhkan hukuman penjara kepada sebelas warga Maba Sangaji yang dianggap “menghalangi kegiatan usaha pertambangan” milik PT Position.

Padahal, yang mereka lakukan cuma menggelar ritual adat—doa bersama untuk menolak tambang nikel yang telah bikin sungai keruh, tanah longsor, dan hutan gundul. Tapi rupanya, negara sekarang lebih cepat tersinggung daripada sungai yang keruh.

Sepuluh orang dijatuhi hukuman lima bulan delapan hari penjara, sementara satu orang lainnya mendapat hukuman serupa dalam sidang terpisah. Nama-namanya sudah kayak daftar teman ronda malam, Sahrudin, Jamaludin, Alaudin, Indrasani, Salsa, Umar, Nahrawi, Julkadri, Yasir, Hamim, dan Sahil.

“Saya tara mangarti hukum, tapi itu kan artinya saya pe laki bersalah. Dorang tara bunuh sapa-sapa, tapi kenapa dapa tuntut penjara bagitu?” ujar Kamaria, istri Nahrawi, dengan mata berkaca-kaca.

Kini, mereka semua resmi jadi “penjahat” versi hukum Minerba—karena dianggap melanggar Pasal 162 Undang-Undang Minerba, pasal yang sudah lama dikritik aktivis karena bisa mengubah warga desa jadi terdakwa hanya karena berani menolak tambang di tanahnya sendiri.

#Dituduh Bawa Sajam, Tanpa Bukti Tajam

Kisah ini bermula pada 18 Mei 2025, saat 27 warga Maba Sangaji menggelar ritual adat di tanah leluhur mereka. Tapi baru saja doa diucap dan belum habis terbakar, polisi datang dan menuding mereka melakukan “premanisme” dan membawa senjata tajam. Hasilnya? 27 orang diborong ke kantor polisi.

Dalam interogasi, menurut Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kriminalisasi Masyarakat Adat Maba Sangaji, warga tak diberi pendamping hukum, dipaksa tanda tangan dokumen, bahkan ada yang dipukul. Enam belas orang akhirnya dibebaskan keesokan harinya, tapi sebelas lainnya diseret ke pengadilan.

Di sana, mereka dijerat pasal demi pasal, UU Darurat 1951 soal senjata tajam, sampai pasal pemerasan dalam KUHP. Lengkap betul—seolah yang mereka peras adalah tambang, padahal cuma penghidupan sendiri.

#Negara Lebih Sayang Tambang Ketimbang Rakyatnya

Koalisi masyarakat sipil menilai kasus ini bukan cuma perkara hukum, tapi bukti nyata bahwa negara lebih cepat melindungi alat berat daripada hak rakyat.

“Vonis ini simbol bahwa menjaga alam dianggap kejahatan, sementara merusaknya dianggap pembangunan,” begitu salah satu pernyataan keras mereka. Kalimat yang, sayangnya, terdengar makin relevan setiap kali ada konflik antara warga dan perusahaan tambang.

Pasal 162 UU Minerba yang dipakai menjerat mereka juga bukan pasal sembarangan—ia sudah lama dikritik karena bisa membungkam masyarakat adat. Bayangkan, kalau kamu berdiri di depan buldoser untuk melindungi pohon, kamu bisa langsung dicap “menghalangi kegiatan usaha pertambangan.” Sungguh pasal yang lebih tajam dari parang, tapi hanya untuk rakyat kecil.

Koalisi menuntut agar sebelas warga Maba Sangaji dibebaskan tanpa syarat, nama baik mereka dipulihkan, dan Pasal 162 itu segera direvisi. Mereka juga menagih tanggung jawab negara dan PT Position untuk memulihkan hutan yang rusak—bukan sekadar minta maaf lewat konferensi pers.

Irfan Alghifari, kuasa hukum dari TAKI (Tim Advokasi Keadilan untuk Indonesia) yang mengawal kasus ini, mengatakan vonis lima bulan delapan hari itu menunjukkan satu hal, negara tak mengakui hak masyarakat adat.

“Fakta paling krusial dari putusan majelis hakim hari ini adalah hakim sama sekali tidak mempertimbangkan eksistensi tanah adat. Eksistensi tanah adat itu tidak diakui,” kata Irfan, dikutip dari Kadera.id.

#Bukti Bahwa Lokasi Tambang Nikel Memang di Wilayah Adat

“Tanah adat yang sudah ratusan tahun menghidupi banyak orang, kalah dengan izin usaha pertambangan (IUP) PT Position yang baru terbit tahun 2017, dan sama sekali tidak dibicarakan dalam pertimbangan majelis hakim,” ujar Irfan.

Menurut Irfan, sejak awal persidangan, tim hukum sudah menunjukkan bukti dan menghadirkan saksi bahwa area operasi tambang nikel PT Position berada di wilayah adat Maba Sangaji—tanah yang tidak pernah diserahkan, apalagi disetujui masyarakat untuk ditambang. Namun, semua fakta itu seperti menguap begitu saja di ruang sidang.

Hakim, kata Irfan, gagal melihat konteks sosial dan kultural di balik protes warga. Aksi yang mereka lakukan pada Mei 2025—mulai dari mengirim surat keberatan, memberi denda adat, hingga menggelar ritual penolakan—bukanlah tindakan kriminal, melainkan cara masyarakat adat menyampaikan ketidaksepakatan dengan cara mereka sendiri.

Tapi rupanya, yang sakral di mata warga adat bisa berubah jadi “gangguan usaha” di mata hukum negara.

#Menjaga Hutan Bukan Kejahatan

Bagi masyarakat adat Maba Sangaji, hutan bukan cuma tempat cari kayu atau rotan. Ia adalah rumah spiritual, tempat bernaung leluhur, dan sumber air kehidupan. Tapi ironisnya, yang menjaga malah masuk bui, sedangkan yang menggali nikel jalan terus.

Sampai hari ini, sebelas warga Maba Sangaji masih menunggu keadilan yang terasa makin jauh. Entah kapan negeri ini paham, bahwa menjaga bumi seharusnya bukan alasan untuk dijebloskan ke penjara.

Karena kalau terus begini, bisa-bisa nanti tinggal tambang yang punya negara, bukan manusia yang punya tanah.***

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *