Lewati ke konten

Dari Sampah Jadi “Si Imut My Darling”: Desa di Bojonegoro yang Bikin Kita Minder Kalau Buang Plastik Sembarangan

| 5 menit baca |Ide | 5 dibaca

BOJONEGORO – Sampah itu ibarat mantan. Mau dibuang segimanapun, tetap aja susah hilang. Bahkan sering muncul tiba-tiba di tempat yang nggak kita duga. Bedanya, kalau mantan bisa di-block di media sosial, sampah plastik nggak bisa di-block dari bumi. Dia bakal nongkrong seribu tahun, senyum-senyum nyinyir sambil ngetawain cucu-cicit kita.

Di tengah situasi pelik itu, warga Bojonegoro punya jurus jitu: program bernama “Si Imut My Darling”. Bukan nama boyband, bukan juga judul sinetron. Singkatan ini terdengar lucu sekaligus menggemaskan, padahal isinya serius banget: Siap Ikut Mengurangi Sampah, Mari Pilah dari Lingkungan.

Singkatan manis, gerakan serius, hasilnya bikin kita mikir, “Loh, kok mereka bisa? Kita kapan?”

#Branding Desa yang Nggak Kalah dari Startup

Biasanya, yang jago bikin singkatan atau akronim itu pejabat pusat. Misalnya BLT yang selalu Bikin Lapar Terus. Eh… Bantuan Langsung Tunai, atau BPJS yang bikin Bikin Pusing Juga Sist, atau yang lagi ngehits IKN (Ibu Kota Negara, alias Ibu Kota Nyasar kalau hujan). Nah, kali ini branding keren lahir bukan dari gedung kementerian, tapi dari warga desa yang tiap hari ketemu langsung sama tumpukan sampah.

Nama Si Imut My Darling sengaja dibuat gampang diingat. Coba bayangin kalau singkatannya “Program Pengurangan Sampah Rumah Tangga Secara Kolektif”. Mana ada yang mau ikut. Udah ribet, kedengeran kayak judul skripsi.

Dengan nama yang imut-imut ini, orang jadi penasaran duluan. Kayak kita yang suka ngintip profil Instagram orang karena nama usernamenya lucu. Dari rasa penasaran itulah warga lain tertarik buat ikutan.

#Emak-Emak Jadi Garda Depan

Kalau ngomongin pilah sampah, jangan remehkan kekuatan emak-emak. Mereka punya insting alami soal “mana yang berguna, mana yang bikin ribet”. Dari dapur sampai isi lemari, semua bisa diatur.

Di program Si Imut My Darling, emak-emak Bojonegoro ini jadi pahlawan tanpa tanda jasa. Plastik belanja dipisah, sampah dapur dikomposkan, botol bekas dijadikan pot bunga. Mereka juga punya motivasi kuat: biar halaman rumah lebih rapi dan dapet duit tambahan.

Sampah organik dijual jadi pupuk, sampah anorganik bisa ditukar uang. Jadi selain beramal untuk bumi, dompet mereka juga ikut berisi. Win-win solution.

#Gen Z Ikut Nimbrung, Biar Ada Konten

Generasi Z alias anak-anak yang hidupnya nempel sama HP juga nggak mau kalah. Buat mereka, ikut program sampah ini bukan cuma soal lingkungan, tapi juga soal konten.

Coba buka TikTok atau Instagram, pasti ada yang bikin video before-after: “Ini plastik bekas minuman kemasan, eh sekarang jadi tempat pensil aesthetic ala Korea.” Tambah musik upbeat, kasih caption motivasi, langsung deh dapat ribuan views.

Dari situ, kampanye Si Imut My Darling makin gampang menyebar. Anak muda yang tadinya cuek sama sampah, sekarang jadi rajin pilah-pilah. Ya lumayan, daripada bikin konten prank yang ujung-ujungnya ditangkep polisi.

#Desa Hijau yang Beneran Hijau

Konsep “desa hijau” kadang jadi jargon manis di brosur-brosur dinas. Foto pohon rindang, rumput hijau, dan warga tersenyum sambil pegang sapu lidi. Nyatanya, di lapangan cuma jadi ajang seremonial tanam pohon yang setelah itu ditinggal mati.

Bojonegoro lain cerita. Desa yang mengusung Si Imut My Darling benar-benar berubah. Lingkungan jadi bersih, bau sampah berkurang, dan warga merasa lebih sehat. Bahkan, katanya, angka anak kecil yang suka main di sungai sampah menurun drastis.

Kebayang kan, betapa berharganya punya desa yang nggak bikin kita harus menutup hidung tiap lewat.

#Sampah Jadi Duit, Duit Jadi Semangat

Jangan salah, sampah itu ada nilai ekonominya. Dengan bank sampah, warga bisa nabung pakai plastik. Kardus, botol, atau kertas bekas punya harga jual. Dan kalau dikumpulin, bisa buat bayar listrik, beli lauk, atau minimal jajan cilok.

Bahkan ada cerita, seorang ibu rumah tangga bisa beli pulsa anaknya cuma dari hasil jualan sampah plastik. Jadi kalau ada yang bilang “uang nggak jatuh dari langit”, mungkin dia belum lihat sampah yang bisa jadi duit di Bojonegoro.

#“My Darling” yang Bikin Cemburu Tetangga

Nama My Darling ini ternyata bikin desa tetangga cemburu. Soalnya brandingnya kelewat romantis. Bayangin kalau ada bapak-bapak ngajak istrinya pilah sampah, “Bu, ayo ikut My Darling!”—si ibu pasti langsung semangat.

Coba kalau namanya Program Daur Ulang Terpadu. Lah, yang ada malah dikira seminar wajib kantor.

Kekuatan branding memang luar biasa. Bahkan yang awalnya males, jadi kepo. Yang tadinya cuek sama sampah, jadi ikut-ikutan. Itulah kekuatan “imut” yang sebenarnya.

#Dari Desa ke Nasional, Siapa Tahu ke Global

Kalau konsisten, bukan nggak mungkin Si Imut My Darling jadi inspirasi nasional. Bayangin, dari Bojonegoro bisa muncul gerakan daur ulang dengan nama sekeren itu. Pemerintah pusat tinggal ngeklaim, bikin lomba nasional, kasih penghargaan, dan foto bareng.

Kalau sudah viral, bisa aja UNESCO melirik: “The Cutest Waste Management Movement in The World: My Darling.” Kan keren.

#Pelajaran Buat Kita Semua

Dari cerita warga Bojonegoro ini, kita belajar bahwa perubahan nggak harus nunggu pejabat atau investor gede. Warga biasa pun bisa bikin gerakan besar kalau punya niat, kreatifitas, dan sedikit bumbu humor biar gampang diterima.

Karena sampah nggak akan berhenti muncul. Yang bisa kita lakukan cuma dua: pilah dengan benar, atau biarin cucu-cicit kita main jungkat-jungkit di atas gunungan plastik.

 #Jangan Remehkan Singkatan

Akhirnya kita paham, singkatan itu penting. Bukan cuma soal gampang diingat, tapi juga soal menggerakkan orang. Si Imut My Darling berhasil karena imut namanya, serius programnya, dan nyata hasilnya.

Kalau semua gerakan lingkungan dikemas seimut ini, mungkin orang bakal lebih mudah ikut serta. Karena siapa sih yang bisa nolak kalau diajak, “Ayo ikut My Darling”?***

Hamim Anwar, jurnalis di Bojonegoro berkontribusi atas artikel ini. | Editor: Supriyadi

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *