SURABAYA – Kalau mendengar kata mentoring, banyak orang langsung membayangkan ruangan formal dengan pembicara yang sok bijak, peserta yang pura-pura mencatat tapi sebenarnya buka WhatsApp Web, dan sesi tanya jawab yang ujung-ujungnya lebih mirip curhat pribadi. Untungnya, Jawa Youth Change Academy (JAYCA) punya versi lain yang lebih seru.
Mentoring di JAYCA ini dirancang untuk jadi ajang upgrade orang muda. Bukan cuma supaya pintar ngomong di tongkrongan, tapi juga supaya bisa peka, punya keterampilan, dan menumbuhkan solidaritas. Bahasa sederhananya: biar nggak jadi “aktivis medsos” yang hanya rajin bikin thread panjang di X (dulu Twitter), tapi langsung mati gaya begitu diminta turun tangan bersihin sungai.
Prigi Arisandi, Ashoka Fellow 2005 yang sudah malang-melintang di isu lingkungan, menjelaskan bahwa salah satu topik favorit di mentoring ini adalah soal lingkungan hidup. Topiknya lumayan lengkap: mulai dari ekosistem sungai, ancaman mikroplastik dan dioksin, sampai perubahan iklim dan pengelolaan sampah.
“Jadi, peserta bukan cuma diajak mikir, tapi juga dipaksa sadar bahwa persoalan lingkungan ini nyata, ada di depan mata, bukan sekadar bahan debat di ruang kelas atau komentar Instagram, “ kata Prigi lewat pesan tertulisnya. Sabtu, (27/9/2025).
#Dari Uji Air sampai Orasi ke Bupati
Yang bikin mentoring ini beda adalah pendekatannya yang praktis. Peserta nggak hanya dijejali pengetahuan, tapi juga diberi keterampilan konkret. Ada pelatihan uji kualitas air dengan parameter biologi, pembuatan ecoenzym, hingga pengolahan sampah organik. Jadi kalau ditanya, “Kamu peduli lingkungan dengan cara apa?” jawabannya nggak lagi “Saya suka share konten di Instagram,” tapi bisa lebih konkret: “Saya baru selesai uji kualitas air sungai dekat rumah.”
Alaika Rahmatullah, salah satu mentor, menegaskan bahwa pengetahuan di JAYCA bukan untuk gaya-gayaan, tapi harus berujung pada aksi. Kalau perlu, mereka juga belajar skill tambahan: orasi, bikin poster, advokasi, sampai nulis surat ke bupati, walikota, atau gubernur. Jadi bayangkan, pejabat daerah bisa dapat kiriman surat resmi dari anak-anak muda yang isinya, “Pak, mohon hentikan pencemaran sungai. Hormat kami, peserta JAYCA.” Itu pasti lebih menohok ketimbang komentar anonim di media sosial.
Intinya, mentoring ini mau mendidik anak muda untuk nggak berhenti di level “tahu” tapi sampai ke level “melakukan”. Karena, ya, pengetahuan tanpa aksi itu sama saja kayak beli treadmill mahal tapi dipakai cuma buat gantungan baju. Ada, tapi nggak berfungsi.
#Festival JAYCA 2026: Dari Ide Jadi Panggung Aksi
Nah, semua proses mentoring ini nantinya nggak berhenti di ruang diskusi atau buku catatan. Pada April 2026, JAYCA bakal bikin sebuah festival. Jangan bayangkan festival ini kayak konser musik dengan tiket presale dan penonton heboh. Festival JAYCA lebih mirip etalase gerakan sosial: panggung di mana para peserta bisa nunjukin aksi nyata yang mereka lakukan setelah ikut mentoring.
Festival ini akan jadi ajang pembuktian bahwa orang muda nggak cuma bisa bikin konten lucu atau joget bareng di TikTok, tapi juga bisa menghadirkan solusi konkret buat krisis iklim, polusi udara, dan kerusakan lingkungan. Semacam showcase kalau anak muda bisa lebih dari sekadar “berisik” di media sosial.
Dan justru karena digarap oleh orang muda, festival ini punya semangat segar: nggak kaku, nggak membosankan, tapi tetap serius. Di sana, publik bisa melihat langsung bahwa kepedulian terhadap lingkungan itu bukan cuma soal caption panjang penuh kutipan motivasi, tapi aksi nyata di lapangan.
Singkatnya, mentoring JAYCA adalah semacam “kompor gas” yang menyalakan api kepedulian. Sedangkan festivalnya adalah bukti bahwa api itu nggak mati di jalan. Jadi kalau kamu bosan melihat debat kusir soal siapa paling peduli lingkungan, datang saja ke festival JAYCA. Karena di situ, peduli bukan cuma kata-kata, tapi kerja nyata.***
Supriyadi, jurnalis TitikTerang berkontribusi dalam artikel ini, lewat pesan tulis yang dikirim Prigi Arisandi | Chief Editor |