BELAKANGAN, ikan-ikan di Surabaya tampaknya sedang hangover. Mereka naik ke permukaan, megap-megap, seperti mahasiswa habis begadang tiga malam berturut-turut. Fenomena ini disebut “ikan mabuk”. Bukan karena minum ciu, tapi karena kadar oksigen di air sungai mereka anjlok parah.
Beberapa hari terakhir, warga Surabaya mendadak ramai di pinggir saluran air. Bukan karena lomba perahu, tapi karena pemandangan tak biasa, ikan-ikan di Sungai Kalimas, Banyu Urip, dan Jagir naik ke permukaan.
Menurut Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Surabaya, hasil pengukuran menunjukkan kadar dissolved oxygen (DO) di air cuma 1,5. Idealnya, minimal 3. Artinya, ikan-ikan itu lagi megap-megap dalam versi mereka sendiri. Kepala DLH, Dedik Irianto, mengaku pihaknya langsung turun tangan untuk mengukur pH, suhu, dan TDS (total zat terlarut).
“Kuat dugaan penyebabnya penurunan drastis kadar oksigen terlarut,” ujarnya. Dengan kata lain, ikan-ikan itu bukan sedang mabuk cinta, tapi mabuk limbah.
#Limbah: Racun yang Tak Pernah Diundang
Surabaya memang kota yang sibuk. Tapi di balik keramaian itu, sungainya menanggung stres yang luar biasa. Limbah dari rumah tangga, industri, hingga usaha cuci motor pinggir jalan, semua mampir ke sungai tanpa salam.
DLH sudah mengimbau agar warga tidak membuang sampah dan limbah sembarangan. Tapi, seperti biasa, imbauan hanya hidup sebentar, sebelum tenggelam lagi di dasar Kali.
Menurut Prigi Arisandi dari Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON), masalahnya bukan sekadar imbauan. “Pemerintah harus mencari sumber pencemaran limbahnya. Oksigen turun harus dicari penyebabnya apa,” katanya. Kalau kadar oksigen saja drop, bisa dibilang sungai sedang sekarat.
Prigi juga menegaskan, bukan hanya Pemprov Jawa Timur. Tapi Menteri PU, Menteri Lingkungan Hidup tak bisa terus berdiam diri. “Mereka harus turun tangan mengatasi pencemaran ini. Jangan hanya menunggu laporan dari kota, tapi ambil peran nyata untuk memulihkan Sungai Surabaya dan Brantas,” ujarnya.
#Batas Aman Oksigen Itu 4 mg/L, Tapi Siapa yang Aman?
Dalam PP Nomor 22 Tahun 2021, ambang batas aman DO untuk Kali Surabaya kelas 2 adalah 4 mg/L. Tapi hasil DLH menunjukkan angka 1,5. Itu artinya, kalau ikan-ikan bisa mengadu ke Ombudsman, mungkin mereka sudah melapor.
“Jika DO drop di bawah 4, maka pemerintah yang harus bertanggung jawab,” tegas Prigi. Tapi ya begitulah, tanggung jawab kadang hanyut duluan sebelum sampai ke meja rapat.
#Sungai Brantas dan Wonokromo Pernah Jadi Korban
Fenomena ikan mabuk ini bukan kali pertama. Sungai Brantas dan Wonokromo pernah lebih dulu “mabuk massal”. Ribuan ikan mati, mengambang seperti simbol kegagalan pengelolaan lingkungan.
Selama enam tahun, kata Prigi, Kementerian PU dan Pemprov Jatim belum juga punya SOP untuk menangani ikan mati massal. Bayangkan, enam tahun tanpa SOP, sementara ikan terus mati. Seolah-olah, “tunggu dulu, nanti juga airnya mengalir sendiri.”
Kita sering lihat seremoni tanam pohon di pinggir sungai, atau lomba bersih sungai dengan spanduk besar “Cintai Lingkungan”. Tapi ketika sungai benar-benar sekarat, responsnya malah gagap.
“Pembiaran ini menunjukkan kepedulian pada sungai hanya sebatas seremoni,” kata Prigi. Dan benar saja, ikan-ikan itu sekarang jadi pengingat bahwa air sungai bukan cuma sekadar latar belakang kota. Ia hidup, ia bernapas, dan kini ia sedang megap-megap minta tolong.
#Kalau Sungai Mabuk, Kita Kapan Sadar?
Fenomena ikan mabuk bukan sekadar berita aneh atau kejadian musiman. Ia alarm keras dari alam bahwa sungai-sungai kita sedang sakit parah.
Dan kalau ikan saja sudah susah bernapas di kota yang katanya “pahlawan”, mungkin pertanyaannya sekarang: siapa yang sebenarnya masih hidup di Surabaya—kita, atau hanya sisa-sisa air yang perlahan kehilangan napas?