Lewati ke konten

Hari Tani Nasional: Antara Peringatan, Pangan, dan Panggung Pamer Kekuasaan

| 6 menit baca |Opini | 5 dibaca

Setiap tanggal 24 September, linimasa kita mendadak hijau. Ada yang upload foto petani sedang tersenyum dengan caping lebar, ada yang share poster bertuliskan “Selamat Hari Tani Nasional” lengkap dengan emoji unik-unik, dan ada juga yang hanya ikut-ikutan repost supaya kelihatan peduli. Tapi setelah itu? Ya sudah. Persis seperti status WA setelah 24 jam: hilang tanpa bekas.

Padahal, tanggal ini bukan sekadar gimmick. Ini bukan hari lahirnya grup boyband K-pop, bukan pula hari potongan harga besar-besaran di marketplace. Ini Hari Tani Nasional – sebuah momentum yang lahir dari sejarah panjang perjuangan bangsa, dari darah, keringat, dan air mata para petani yang selalu disebut “tulang punggung negara” tapi sering diperlakukan seperti “kuku kaki bangsa”.

Kalau kita buka sedikit lembaran sejarah, Hari Tani ini dirayakan untuk mengingat lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Undang-undang ini adalah hasil pergulatan panjang untuk mereformasi penguasaan tanah di Indonesia pasca-kolonial. Bagi Bung Karno, ini adalah “jantung” revolusi. Karena tanpa landreform, katanya, revolusi Indonesia itu ibarat “gedung tanpa alas, pohon tanpa batang, omong besar tanpa isi.” Kata-kata yang sampai sekarang tetap relevan—mungkin malah semakin relevan.

#Dulu Feodalisme, Sekarang? Masih Sama, Hanya Berganti Kostum

Kalau mau jujur, tanah di Indonesia sejak dulu adalah sumber konflik. Dari zaman kerajaan, penjajahan Belanda, sampai era Orde Baru, persoalan agraria selalu jadi akar masalah. Feodalisme tanah yang diwariskan kolonial sebenarnya sudah mau diputus lewat UUPA 1960. Tapi dalam praktiknya, ya masih banyak PR.

Sekarang bentuknya lebih modern: izin tambang, konsesi perkebunan sawit raksasa, proyek strategis nasional, atau kawasan industri. Petani yang dulunya punya sawah kecil-kecilan bisa tiba-tiba kehilangan lahannya karena terkena proyek. Ironisnya, mereka sering disebut “penghambat pembangunan” padahal yang mereka perjuangkan cuma sebidang tanah untuk hidup.

Jadi, kalau kita bicara Hari Tani Nasional, itu bukan nostalgia romantis tentang sawah hijau dan aroma jerami. Itu tentang perjuangan hidup orang-orang yang jadi produsen pangan tapi sering tak punya jaminan atas lahannya sendiri.

#Reforma Agraria: Bukan Cuma Bagi-Bagi Sertifikat

Di banyak poster pemerintah, kata “Reforma Agraria” sering ditampilkan seolah-olah sudah tuntas. Ada acara bagi-bagi sertifikat tanah, ada pidato pejabat, ada liputan media. Semua terlihat manis. Padahal, reforma agraria sejatinya bukan cuma legalisasi. Itu hanya permukaan.

Reforma agraria yang asli berarti penataan ulang struktur penguasaan tanah: siapa punya apa, untuk apa, dan seberapa luas. Tujuannya sederhana: menciptakan keadilan agraria dan memperbaiki taraf hidup petani. Sertifikat penting, tapi tanpa pembatasan penguasaan lahan besar-besaran, tanpa perlindungan terhadap lahan pertanian produktif, sertifikat hanya jadi semacam “kartu nama” yang bisa habis tergadai saat petani butuh modal.

Banyak petani bahkan akhirnya menjual kembali tanah yang baru disertifikatkan karena tekanan ekonomi. Jadi, kita kembali lagi ke masalah semula: tanah semakin terkonsentrasi pada segelintir orang atau perusahaan, sementara petani jadi buruh tani di tanah yang dulu mereka garap sendiri.

#Petani, Pangan, dan Ironi Harga Cabai

Kalau mau melihat nyata ketimpangan agraria, cukup lihat pasar. Harga cabai bisa melambung tinggi, harga beras naik turun, pupuk langka, dan di sisi lain petani tetap miskin. Ini bukan sekadar hukum pasar, ini juga akibat dari struktur agraria yang timpang.

Petani kita sebenarnya pekerja paling vital di republik ini. Mereka yang menanam padi, cabai, bawang, atau jagung. Tapi posisi mereka dalam rantai pasok pangan sangat lemah. Saat harga naik di pasar, petani belum tentu menikmati untung. Yang sering menikmati justru pedagang besar, distributor, atau spekulan.

Hari Tani seharusnya jadi alarm untuk pemerintah: perbaiki sistem agraria, perkuat posisi tawar petani, dan buat kebijakan pangan yang berpihak. Tanpa itu semua, kita cuma jadi penonton di negeri yang tanahnya luas tapi sawahnya makin menyempit.

#Bung Karno Sudah Bilang dari 60 Tahun Lalu

Bung Karno pernah mengingatkan, “Revolusi Indonesia tanpa Landreform ibarat gedung tanpa alas, pohon tanpa batang, omong besar tanpa isi.” Kutipan ini sudah sering kita dengar. Tapi sejujurnya, kita juga sering mengabaikannya.

Kenapa? Karena sejak Orde Baru, politik agraria memang mengalami kemunduran. Landreform nyaris jadi kata tabu. Reforma agraria yang digagas di era pascareformasi pun jalan tersendat-sendat. Banyak kebijakan agraria yang lebih menguntungkan korporasi ketimbang rakyat kecil.

Kalau Bung Karno masih hidup dan melihat kondisi sekarang, mungkin beliau akan menghela napas panjang dan berkata: “Dekade sudah berganti, retorika masih sama.”

#Kaum Tani dan Gerakan Sosial: Dari Aksi Jalanan sampai Advokasi

Hari Tani juga sering jadi momentum unjuk rasa. Di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, atau Makassar, setiap tanggal 24 September ada saja demo petani dan aktivis agraria. Mereka membawa spanduk, poster, bahkan hasil bumi untuk simbol perlawanan.

Isu yang mereka bawa beragam: konflik lahan dengan perusahaan, kriminalisasi petani, kegagalan program reforma agraria, sampai tuntutan perlindungan petani dari impor pangan. Ini menunjukkan bahwa Hari Tani bukan cuma seremoni, tapi arena perlawanan nyata.

Aliansi Petani Indonesia (API) bersama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) setiap tahun merilis catatan konflik agraria. Dalam lima tahun terakhir, ratusan konflik agraria terjadi di seluruh Indonesia, melibatkan ratusan ribu hektare lahan dan puluhan ribu keluarga petani. Ini bukan angka kecil. Ini artinya persoalan agraria masih menjadi luka terbuka yang belum sembuh.

#Tanah: Bukan Hanya Soal Ekonomi, Tapi Soal Martabat

Bagi petani, tanah bukan sekadar aset ekonomi. Ia adalah martabat, identitas, bahkan “ibu” yang memberi kehidupan. Kehilangan tanah berarti kehilangan sumber penghidupan, kehilangan sejarah keluarga, dan kehilangan masa depan.

Itulah kenapa konflik agraria sering begitu emosional. Ini bukan sekadar sengketa sertifikat atau batas lahan. Ini tentang hak hidup. Tentang apakah negara berpihak pada rakyat kecil atau pada modal besar.

Di kota-kota besar, kita sering melihat iklan atau poster yang meromantisasi petani. Ada petani tersenyum dengan latar sawah hijau, ada tagline “Petani Makmur, Negara Subur.” Padahal realitas di lapangan sering jauh berbeda. Petani harus berhutang untuk membeli pupuk, hasil panen dihargai rendah, dan mereka sering tak punya akses pasar yang baik.

Kalau kita betul-betul menghargai petani, seharusnya kita mendukung kebijakan yang melindungi mereka. Misalnya subsidi pupuk tepat sasaran, harga pembelian pemerintah yang adil, perlindungan lahan pertanian dari alih fungsi, dan yang terpenting: reforma agraria yang sungguh-sungguh.

#Dari Sawah ke Kesadaran Kolektif

Hari Tani Nasional mestinya jadi titik tolak kesadaran kolektif kita. Bahwa urusan pangan bukan hanya urusan petani. Kita semua makan nasi, sayur, dan buah. Artinya kita semua berkepentingan pada nasib petani.

Kalau kita mau lebih praktis, mendukung petani bisa dimulai dari hal kecil: beli langsung dari petani, dukung produk lokal, atau ikut advokasi kebijakan yang berpihak. Jangan hanya berhenti di like dan share.

 #Revolusi yang Belum Selesai

Jadi, setiap 24 September kita jangan cuma upload poster dan tulis “Selamat Hari Tani” di medsos. Jadikan momentum ini untuk mendukung perjuangan kaum tani. Dorong pemerintah serius menjalankan reforma agraria, lindungi lahan pertanian, dan perkuat posisi petani dalam rantai pasok pangan.

Karena tanpa landreform, kata Bung Karno, revolusi ini cuma “omong besar tanpa isi”. Dan tanpa petani, nasi kita hanya jadi nostalgia di etalase warteg.

Maka, Hari Tani Nasional bukan sekadar seremoni tahunan. Ia adalah pengingat bahwa kita masih punya PR besar: membangun masyarakat yang adil, makmur, dan berdaulat atas tanah dan pangan.

Selamat Hari Tani Nasional. Semoga ini bukan sekadar ucapan, tapi tekad kolektif kita semua.

 

Naning Z Suprawati, aktivis Aliansi Petani Indonesia (API) berkontribusi dalam artikel ini | Editor: Supriyadi

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *