Lewati ke konten

“Hutan Indonesia Bukan Bahan Bakar Kalian!”: Aksi Damai Aktivis Lingkungan di Depan Kedubes Jepang dan Korea Selatan

| 3 menit baca |Ekologis | 12 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Rilis Editor: Marga Bagus

JAKARTA mendadak hijau, bukan karena taman kota baru, tapi karena amarah yang menuntut keadilan ekologis. Senin, 20 Oktober 2025, para aktivis lingkungan dari berbagai organisasi masyarakat sipil menggelar aksi damai di depan Kedutaan Besar Jepang dan Korea Selatan.

Dengan poster bertuliskan INDONESIA FOREST ARE NOT FOR FUEL!!!”, huruf kapital jelas terbaca, “Hutan Indonesia bukan untuk bahan bakar!!!”. Para aktivis itu menyoroti kebijakan impor wood pellet (pelet kayu) dari Indonesia yang dianggap mempercepat kerusakan hutan dan menyalahi prinsip keadilan iklim.

#Dari Hutan ke Tungku: Ironi Transisi Energi Negeri Maju

Jepang dan Korea Selatan selama lima tahun terakhir memang gencar mencari alternatif energi “lebih hijau” lewat biomassa. Sayangnya, yang hijau malah jadi gundul.

Data Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan, lonjakan ekspor wood pellet dari Indonesia telah memperparah deforestasi dan emisi karbon. “Hutan Indonesia bukan bahan bakar kalian, wahai warga Jepang dan Korea,” tegas Tsabit Khairul Auni, Koordinator Aksi FWI.

Indonesia, katanya, adalah rumah bagi salah satu hutan tropis terbesar di dunia, bukan toko serba ada untuk energi bersih palsu.

#Ketika Kapal MV Lakas Ketahuan Bawa ‘Kayu Haram’

Ironi biomassa ini bukan cuma teori. Pada Agustus 2024, kapal MV Lakas tertangkap membawa lebih dari 10 ribu ton wood pellet tanpa dokumen penting seperti Certificate of Origin dan Analysis.

Kasus ini jadi bukti bahwa perdagangan biomassa tak sebersih klaim “energi hijau” yang dikampanyekan Jepang dan Korea. “Dari hasil investigasi kami, lebih dari 80% impor wood pellet kedua negara itu berasal dari deforestasi hutan alam, bukan dari hasil rehabilitasi,” ungkap Anggi Putra Prayoga, Juru Kampanye FWI.

Jadi, kalau ada yang bilang biomassa itu energi bersih, coba tanya dulu, bersih dari hutan siapa?

#Transisi Energi atau Kolonialisme Iklim?

“Ini bukan transisi energi, tapi kolonialisme iklim,” kata Satrio Manggala dari Biomass Action Network (BAN).

Keras, tapi masuk akal. Jepang dan Korea Selatan bisa menepuk dada mengklaim target emisi mereka tercapai, sementara di Indonesia, hutan ditebangi demi memenuhi kebutuhan biomassa mereka.

Bahkan, perusahaan-perusahaan seperti Mitsubishi Heavy Industries, Sumitomo Heavy Industries, dan IHI sudah lama terlibat dalam proyek co-firing biomassa di PLTU batubara Indonesia. Jepang juga mendanai skema Just Energy Transition Partnership (JETP) bersama AS untuk membakar “lebih sedikit batubara” — tapi menggantinya dengan kayu.

Dari mana kayunya? Ya, dari hutan kita sendiri.

#Tiga Tuntutan, Satu Pesan: Stop Bodohi Dunia dengan Narasi ‘Energi Hijau’

Aksi di depan Kedubes Jepang dan Korea Selatan hari ini membawa tiga tuntutan utama:

  1. Jepang dan Korea Selatan hentikan impor wood pellet dari Indonesia dan cabut subsidi energi biomassa.
  2. Pemerintah Indonesia, terutama ESDM dan KLHK, diminta mengeluarkan biomassa dari agenda transisi energi nasional, serta melarang ekspor wood pellet dari hutan alam.
  3. Publik dunia diminta tidak tertipu oleh narasi palsu energi hijau berbasis kayu.

“Jangan percaya energi terbarukan yang harus menebang hutan,” kata Satrio. “Kalau kalian bakar hutan orang lain, itu bukan energi bersih, tapi dosa karbon lintas negara.”

#Dari Jakarta ke Dunia: Gerakan Global Lawan Biomassa

Aksi hari ini bukan berdiri sendiri. Di Eropa, Amerika Latin, dan Asia Pasifik, komunitas lingkungan juga melakukan aksi serupa. Semua bertepatan dengan International Day of Action on Biomass pada 21 Oktober.

Pesannya sama, hentikan tipu-tipu energi terbarukan berbasis pembakaran kayu. Karena kalau ini terus dibiarkan, dunia tidak sedang menuju masa depan hijau—tapi masa depan hangus.

“Kalau biomassa masih dimanfaatkan sebagai sumber energi,” tutup Satrio, “Maka kita semua sedang menjerumuskan diri ke jurang krisis iklim yang makin nyata.”***

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *