Lewati ke konten

Jombang, Mantra, dan Motor Baru: Jalan Desa Masih Lubang, Tapi Kepala Desa Siap Ngebut

| 3 menit baca |Sorotan | 7 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Supriyadi Editor: Supriyadi
Terverifikasi Bukti

PEMERINTAH Kabupaten Jombang, Jawa Timur, punya program bernama Desa Mantra—akronim dari Maju dan Sejahtera. Dari namanya sih keren, kayak nama sekte pembangunan masa depan. Tapi di lapangan, yang bikin heboh bukan soal sejahteranya, melainkan soal rencananya, pembelian motor dinas buat kepala desa.

Sekda Jombang, Agus Purnomo, menjelaskan bahwa dana sekitar Rp 800 juta hingga Rp 1 miliar untuk tiap desa nggak cuma buat beli motor. Motor, katanya, hanyalah “menu opsional”, kayak lauk tambahan di warung padang. Bisa diambil, bisa enggak.

Tapi ya, tahu sendiri, kalau lauknya “motor baru”, siapa sih yang enggak tergoda?

#Motor PCX, Desa Pusing

Rencana ini langsung memantik polemik. Ada yang setuju, ada yang tepok jidat. Motor operasional dianggap penting karena kendaraan lama sudah “ringkih” dan bikin pelayanan tersendat. “Biar mobilitas desa lancar,” kata Sekda, Jumat (31/10/2025).

Masalahnya, yang bikin warga geleng-geleng bukan soal motornya doang, tapi spesifikasinya, setara Honda PCX. Di tengah ekonomi rakyat yang megap-megap, kepala desa justru mau gaspol pakai motor yang harganya setara biaya nikah sederhana.

Kalimat “optional” dalam program ini pun jadi bahan lelucon di warung kopi. “Optional, tapi kok semua pengin motor ya?” sindir seorang warga di Mojoagung sambil menyeruput kopi pahit yang lebih murah dari setengah liter oli PCX.

#Kritik Tajam, Tapi Nggak Tajam-Tajam Amat

Pakar hukum asal Jombang, Ahmad Sholikhin Ruslie, menilai kebijakan itu “nggak butuh-butuh amat”. Pemerintah desa, katanya, sudah punya kendaraan operasional. Ada motor, ada juga mobil siaga desa (MSD). Jadi, buat apa lagi motor baru?

“Desa itu kecil, nggak sampai kayak rute Tour de France. Kalau kepala desa mau keliling, jalan kaki aja sekalian, biar tahu jalan rusak di desanya,” sindir Ahmad.

Kritik serupa juga datang dari Aan Anshori, Direktur Lembaga Lingkar Indonesia untuk Keadilan (LinK). Menurutnya, ribuan rumah masih tidak layak huni, bayi stunting di mana-mana, dan jalan desa rusak berat. “Tapi yang dipikirin malah motor,” ujarnya getir.

Bahkan ia menduga kebijakan ini beraroma politik. “Lebih mirip pencitraan daripada pelayanan,” katanya. Kalau benar, berarti Desa Mantra ini bukan cuma Mandiri dan Tangguh, tapi juga Menarik perhatian menjelang Pilkada.

#DPRD Jadi Penonton, Pendopo Jadi Sutradara

Dalam polemik ini, DPRD Jombang justru terlihat seperti figuran. Aan menuding, kebijakan pembelian motor belum pernah dibahas bersama DPRD. “Seolah DPRD cuma konco wingking pendopo, bukan mitra kritis,” ujarnya.

Padahal, program sebesar ini mestinya melibatkan pengawasan dan diskusi yang sehat. Tapi yang muncul justru komunikasi sepihak, di mana pendopo jadi pusat semesta dan rakyat cuma dapat cahaya pantulannya.

Rakyat mulai bersuara: “Kalau motor itu buat operasional, kenapa rasanya kayak operasional kampanye?”

#Antara Mantra dan Realita

Agus Purnomo berkali-kali menegaskan, dana Rp 800 juta–Rp 1 miliar itu fleksibel. Bisa untuk kegiatan RT, dasawisma, bantuan takmir masjid, pupuk organik, pelatihan WUB, pembangunan jalan, atau… ya, motor operasional desa.

Secara teori, ini program bagus. Tapi di lapangan, yang lebih sering viral itu motornya, bukan sawah yang produktif atau jalan yang mulus.

Kalau “Desa Mantra” benar ingin menjadikan desa mandiri dan tangguh, mungkin perlu satu tambahan makna baru: “Responsif terhadap logika rakyat.” Karena di tengah rakyat yang masih berjuang menambal jalan dan dapur, ngebut pakai PCX baru bukanlah mantra yang manjur.***

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *