JAWA TIMUR barangkali bukan provinsi dengan hutan seluas Kalimantan, tapi di Pulau Jawa, dialah “raja hutan”—setidaknya di atas kertas. Berdasarkan SK Menhut No. 395/Menhut-II/2011, luas kawasan hutannya mencapai 1,36 juta hektar. Tapi ya, angka di atas kertas itu seringkali cuma seindah brosur wisata: hijau di gambar, gundul di lapangan.
Dalam satu dekade terakhir, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Jawa Timur mencatat kondisi hutan di provinsi ini terus menurun, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Artinya, bukan cuma luasnya yang berkurang, tapi juga yang tersisa kondisinya makin mengenaskan.
Data terbaru menunjukkan, pada 2023, Jawa Timur kehilangan 189 hektar hutan primer, setara dengan emisi 125 ribu ton CO₂. Kalau ditarik lebih jauh, sejak 2002–2023, total kehilangan hutan primer mencapai 10,7 ribu hektar, sekitar 11% dari total kehilangan tutupan pohon di wilayah ini.
Belum cukup? Hingga September 2024, data KLHK mencatat Jawa Timur menempati posisi ketiga nasional untuk luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla): 18.822 hektar terbakar.
Dan akibat deforestasi serta degradasi hutan, muncul efek domino, satwa liar kehilangan rumah, sumber air mengering, dan bencana makin akrab. Tercatat 717 kejadian banjir terjadi sejak 2024 hingga awal 2025.
Menyadari situasi yang makin absurd ini, para pegiat kehutanan dan aktivis lingkungan berkumpul dalam konsolidasi gerakan reflektif JPIK Jawa Timur 2025. Hadir lembaga-lembaga seperti ECOTON, Nol Sampah, Deling Kuning, serta tokoh muda kehutanan dari berbagai daerah.
Tujuannya jelas, menegur diri sendiri, menegur pemerintah, dan menyelamatkan hutan sebelum semuanya cuma tinggal nama desa.
JPIK Jawa Timur juga mengundang Wahyu Eka dari WALHI Jawa Timur, karena ya, melawan kerusakan lingkungan itu memang harus berjamaah.

#Surabaya-Gresik: Tak Punya Hutan, Tapi Jadi Jalur Kayu Surga
Lucunya, Surabaya dan Gresik memang gak punya kawasan hutan. Tapi keduanya justru jadi “pelabuhan sakti” bagi kayu-kayu log dari luar Jawa. Dari Papua datang merbau, dari Kalimantan datang meranti, dari Sulawesi dan Maluku ikut antre. Semua lewat dengan gagah, entah seberapa legal, entah seberapa lestari.
Industri pengolahan kayu di dua daerah ini sibuk memenuhi permintaan ekspor ke Eropa. Mereka bangga sudah punya sertifikat legalitas SVLK, yang katanya wajib agar bisa masuk ke pasar global.
Masalahnya, menurut catatan pemantauan JPIK, banyak industri yang justru melanggar standar verifier SVLK. Jadi, yang diekspor bukan cuma mebel, tapi juga kemunafikan legalitas.
#Hulu Rusak, Hilir Berisik, Pemerintah Sibuk Berteori
Naik sedikit ke hulu, pemandangannya gak kalah tragis. Illegal logging masih jadi hobi lama yang belum pensiun. Kini muncul tren baru: penyewaan lahan hutan untuk pertanian dan pangan. Bahasa resminya “pemanfaatan lahan”, padahal praktiknya jelas-jelas alih fungsi besar-besaran.
Efeknya sudah bisa ditebak: deforestasi brutal, degradasi lahan, sumber air mati, dan bencana hidrometeorologi makin sering mampir.
Kalau terus begini, Jawa Timur akan jadi provinsi yang gersang tapi tetap banjir—fenomena khas Indonesia yang bahkan fisika pun malas menjelaskan.
Dan sementara di lapangan lahan makin habis, di atas meja rapat, Rencana Tata Ruang Wilayah alias RTRW masih jadi dokumen suci yang sulit disentuh rakyat. Banyak kabupaten/kota belum punya Perda Lingkungan, dan yang sudah pun sering tidak aplikatif.
Lucunya, izin tambang dan proyek bisa keluar duluan, RTRW-nya nyusul, kalau sempat. Hebat, kan?
#Warga Tak Punya Kanal Suara
Di tengah segala kekacauan ini, masyarakat belum punya platform pengaduan untuk melaporkan kejahatan kehutanan.
Mau lapor ke mana? Polisi hutan yang sibuk “mengamankan” kayu sitaan? Atau dinas yang sibuk menanam pohon di acara seremoni?
Menjawab kekosongan itu, JPIK Jawa Timur akan meluncurkan “Kanal Pengaduan JPIK Jawa Timur” Wadah bagi publik untuk melaporkan pelanggaran SVLK, illegal logging, dan alih fungsi kawasan.
Harapannya, kanal ini bukan sekadar “panggung pengaduan digital” yang sunyi, tapi benar-benar jadi alat pengawasan rakyat terhadap tata kelola kehutanan yang selama ini dikuasai segelintir pihak.
Catatan Penting
-
Deforestasi di Jawa Timur tidak hanya disebabkan oleh illegal logging, tetapi juga oleh alih fungsi lahan untuk pertanian dan infrastruktur.
-
Emisi CO₂ sebesar 125 ribu ton dari deforestasi 2023 setara dengan emisi tahunan lebih dari 27 ribu mobil bensin.
-
Tren karhutla dan banjir menunjukkan korelasi kuat dengan menurunnya kualitas tata kelola kehutanan.
#Empat Janji JPIK Jawa Timur
Dari hasil konsolidasi itu, JPIK Jawa Timur menetapkan empat langkah strategis:
- Mendorong perbaikan tata kelola hutan dan lingkungan di Jawa Timur.
- Mendesak pemerintah provinsi dan kabupaten untuk menyelesaikan persoalan lingkungan dari hulu sampai hilir.
- Mendorong pembangunan partisipatif, inklusif, dan berkelanjutan.
- Meluncurkan Kanal Pengaduan JPIK Jawa Timur sebagai instrumen partisipasi publik.
Di tengah euforia proyek “hijau” pemerintah yang sering lebih hijau di poster promosi daripada di lapangan, langkah JPIK Jatim terasa penting.
Karena kalau yang paling rajin menebang justru mereka yang seharusnya menjaga, maka menjaga hutan tinggal jadi lomba pidato, bukan gerakan nyata.*