Lewati ke konten

Ketika Dosen Unkhair Ternate Maluku Utara Turun Gunung: CCTV Tak Boleh Dihapus, Apalagi Keadilan

| 4 menit baca |Sorotan | 7 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Rilis, Maharani Caroline Editor: Supriyadi

KOTA TERNATE – Di Kota Ternate, ada surat yang isinya lebih panas daripada kopi di kantin fakultas hukum. Bukan surat cinta antar-dosen, tapi Surat Kecaman Bersama Civitas Akademika Universitas Khairun (Unkhair) Ternate terhadap dugaan penghapusan rekaman CCTV oleh oknum Brimob.

Kalimat pembukanya tak main-main, “Kami, Civitas Akademika Universitas Khairun, dengan penuh kesadaran moral dan tanggung jawab intelektual, menyatakan keprihatinan dan kecaman mendalam…”

Iya, ini bukan sekadar “kami kecewa berat”, tapi semacam manifesto akademisi yang muak lihat hukum dibengkokkan kayak garpu makan di kantin fakultas.

#CCTV yang Terhapus, Kepercayaan yang Ikut Luntur

Kisahnya bermula dari dugaan intervensi aparat Brimob Polda Maluku Utara yang disebut-sebut memaksa penghapusan rekaman CCTV di lokasi kecelakaan lalu lintas yang menewaskan Faida Sardi, mahasiswi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unkhair Ternate, jurusan Fisika, asal Desa Indong, Kecamatan Mandioli Utara, Kabupaten Halmahera Selatan.

Faida meninggal dunia di RS Islam Toboleu sekitar pukul 20.39 WIT, akibat luka serius di bagian belakang kepala.

Bagi para dosen hukum Unkhair, peristiwa ini bukan hal sepele. Dalam dunia hukum, barang bukti itu suci, dan menghapusnya sama saja dengan membakar kitab undang-undang di depan fakultas.

Mereka menulis, tindakan seperti ini bukan sekadar pelanggaran prosedural, tapi juga “bentuk degradasi moral aparat penegak hukum.

Bahasanya memang akademis, tapi maknanya sederhana, ini sudah keterlaluan, bro.

Para akademisi itu juga menyinggung sejarah kelam kasus serupa—karena, ternyata, penghapusan CCTV bukan hal baru di republik ini:

  • Kasus KM 50 (2020): rekaman tol Karawang rusak misterius.
  • Kasus Ferdy Sambo (2022): rekaman di rumah dinas ikut dihapus demi menutupi pembunuhan Brigadir J.

Dan kini, katanya, pola itu kembali muncul di Ternate.

“Kesamaan pola ini menunjukkan bahwa persoalan bukan sekadar oknum, melainkan telah menjadi budaya institusional.” Alias, jangan pura-pura heran, ini sudah sistemik.

#Dosen-dosen Ngomongin Pasal

Karena mereka akademisi hukum, tentu saja mereka tak lupa melesakkan pasal-pasal KUHP ke dalam suratnya—dengan gaya baku, tapi bunyinya pedas seperti sambal colo-colo di kantin kampus.

Disebutlah Pasal 221 KUHP (menghapus barang bukti), Pasal 421 (penyalahgunaan wewenang), Pasal 335 (intimidasi), dan bahkan Peraturan Kapolri tentang Kode Etik Profesi Polri. Lengkap, tajam, dan tentu saja sahih.

“Kalau benar ada aparat yang memaksa penghapusan rekaman CCTV, itu bukan lagi kesalahan teknis, tapi pelanggaran etik dan pidana sekaligus,” ujar Dr. Suwarti, S.H., M.H., salah satu dosen senior Fakultas Hukum Unkhair Maluku Utara yang ikut menandatangani surat kecaman itu. “CCTV bisa dihapus, tapi jejak hukum dan moral tidak akan hilang.”

Mereka menyimpulkan, jika dugaan ini benar, oknum Brimob itu layak di-PTDH—pemberhentian tidak dengan hormat. Atau dalam bahasa kampusnya, “drop out dari kesatriaan hukum.”

#Tuntutan yang Tak Sekadar Formalitas

Surat itu juga menuntut Komandan Brimob dan Kapolda Maluku Utara untuk tidak cuma pura-pura sibuk bikin tim investigasi, tapi benar-benar bergerak cepat dan terbuka.

Isinya tegas:

  • Segera memeriksa dan menindak pelaku tanpa “solidaritas korps”-korpsan.
  • Melibatkan lembaga independen seperti Komnas HAM dan Ombudsman agar penyelidikan tak jadi sandiwara internal.
  • Menyampaikan hasilnya ke publik, bukan sekadar konferensi pers yang penuh basa-basi hukum.

Bahasanya lugas, tapi terselip satu pesan moral yang menampar:

“Kebenaran tidak boleh dihapus seperti rekaman CCTV, dan keadilan tidak boleh dikubur atas nama solidaritas korps, ”ucap Papi No. Hasan, dosen Fakultas Hukum Unkhair Ternate yang juga ikut menandatangani surat tersebut.

Kalimat itu pantas dipajang di setiap kantor polisi—tepat di samping foto Kapolri—biar tidak cuma jadi jargon di spanduk, tapi pengingat di hati.

#Dari Kampus untuk Negeri

Yang menandatangani surat ini bukan satu dua orang. Ada lebih dari 50 dosen dan civitas akademika Universitas Khairun (Unkhair) Ternate — mulai dari doktor hukum, dosen muda, sampai nama-nama yang biasa jadi rujukan skripsi mahasiswa yang kelamaan di kampus.

Mereka menulis bukan karena ingin viral atau haus sorotan, tapi karena percaya hukum tidak boleh tunduk pada senjata. Bahwa akademisi tak bisa diam ketika kebenaran dipelintir dengan seragam dan pangkat.

Dalam suratnya, para dosen ini juga mengingatkan, jika hal semacam ini terus dibiarkan, kepercayaan publik terhadap polisi akan makin runtuh. Dan kepercayaan itu, seperti kaca jendela fakultas yang retak — sekali pecah, tak akan pernah utuh lagi, meski dilem pakai niat baik dan spanduk reformasi.

Singkatnya, surat kecaman dari Unkhair Ternate ini bukan sekadar surat protes, tapi surat cinta untuk hukum yang sekarat.

Karena kalau CCTV saja bisa dihapus, siapa yang bisa menjamin kejujuran tak ikut terhapus dari rekaman sejarah?

Beberapa di antara penandatangan: Dr. Suwarti, S.H., M.H; Dr. Syawal Abdulajid, S.H., M.H; Dr. Siti Barora Sinay, S.H., M.H; M. Basry Hamaya, S.H., M.H; Dr. Muhammad Asykin, S.H., M.H; Dr. Nam Rumkel, S.H., M.H; Dr. Anshar, S.H., M.H; Dr. Gunawan A. Tauda; Papi No. Hasan; dan puluhan nama lain yang menandatangani dengan satu suara, “Hukum tidak boleh dikalahkan oleh ketakutan.”***

 

Maharani Caroline,SH., aktivis public interest lawyer tinggal di Malaku Utara dan mantan Direktur Eksekutif YLBH Manado, Sulawesi Utara, berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *