Lewati ke konten

Ketika Hutan Menangis, Warga Dihukum: Negara dan Tambang Berkomplot di Maba Sangaji Halmahera Timur

| 3 menit baca |Ekologis | 7 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Tim Redaksi Editor: Supriyadi

Halmahera Timur – Kalau kamu pikir penegakan hukum di negeri ini selalu berpihak pada yang benar, mungkin kamu perlu nonton ulang sidang 11 warga adat Maba Sangaji di Pengadilan Negeri Soasio, Maluku Utara. Kamis (16/10/2025), mereka dijatuhi vonis 5 bulan 8 hari penjara.

Bukan karena mereka menebang hutan, membakar lahan, atau mencemari sungai. Justru sebaliknya — mereka dihukum karena menjaga hutan dan sungai dari perusakan.

Ironi macam apa ini?

“Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas berbagai organisasi lingkungan, advokasi hukum dan HAM, serta pembela hak masyarakat adat menuntut pembebasan tanpa syarat bagi semua warga adat Maba Sangaji dari segala bentuk hukuman dan tuduhan pidana,” kata Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia, Nurina Savitri, dalam keterangan tertulis dikutip Tempo, Kamis (16/10/2025).

Koalisi itu menilai, vonis terhadap warga adat Maba Sangaji bukan hanya bentuk ketidakadilan, tapi juga cermin betapa hukum kini lebih tajam ke rakyat kecil, dan tumpul ketika berhadapan dengan korporasi tambang.

#Hukum Tajam ke Rakyat, Tumpul ke Tambang

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar, menyebut vonis itu sebagai tanda makin tergerusnya keadilan hukum di Indonesia. “Yang dihukum bukan perusak lingkungan, tapi penjaga hutan,” katanya.

Kasus ini bermula ketika warga Maba Sangaji menolak tambang nikel milik PT Position, perusahaan yang sejak 2017 sudah menggali tanah adat mereka. Hutan dirambah, sungai keruh, lahan pertanian rusak. Lalu ketika warga melakukan ritual adat sebagai bentuk protes, 27 orang ditangkap polisi.

Dan ternyata, bukan cuma ditangkap. Menurut Jatam, ada intimidasi, pemaksaan tanda tangan, bahkan kekerasan fisik dalam proses interogasi. Polisi seolah lupa kalau tugasnya melindungi rakyat, bukan jadi satpam korporasi.

#UU Ada, Tapi Cuma Jadi Poster di Dinding

Indonesia punya sederet aturan keren soal perlindungan pembela lingkungan:

  • UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
  • PermenLHK No. P.22 Tahun 2018 tentang Perlindungan Pembela Lingkungan Hidup,
  • Perma No. 1 Tahun 2023 tentang Anti-SLAPP.

Tapi di lapangan? Semua itu seperti spanduk di pinggir jalan — hanya hiasan, tidak pernah diindahkan. Pengadilan dan jaksa, kata Jatam, mengabaikan seluruh dasar hukum tersebut, seolah-olah membela bumi adalah dosa besar yang harus ditebus dengan penjara.

#Negara (Lagi-lagi) Jadi Alat Korporasi

“Vonis ini bukan cuma pukulan bagi warga Maba Sangaji, tapi juga peringatan bagi pembela lingkungan di seluruh Indonesia,” lanjut Melky. “Negara kini berperilaku seperti alat korporasi, hukum dipakai untuk melindungi penambang, sambil menindas masyarakat adat yang menjaga bumi.”

Pernyataan yang menohok, tapi sayangnya sulit dibantah. Dari Papua sampai Kalimantan, pola kriminalisasi semacam ini terus berulang, warga yang menolak tambang ditangkap, aktivis dikriminalisasi, sementara perusahaan tambang dengan santainya mengklaim “izin resmi dari pemerintah”.

#Empat Tuntutan dari Jatam

Jatam tak berhenti di kecaman. Mereka menuntut empat hal:

  1. Mahkamah Agung meninjau ulang vonis dan memulihkan nama baik 11 warga Maba Sangaji.
  2. Kepolisian memeriksa aparat yang menggunakan fasilitas tambang dalam operasi penangkapan.
  3. Kementerian Lingkungan Hidup menjalankan perlindungan nyata bagi pembela lingkungan sesuai PermenLHK No. P.22/2018.
  4. Presiden RI turun tangan langsung mencabut izin tambang PT Position dan memulihkan lingkungan serta sosial masyarakat adat.

Tapi ya, entah siapa yang mau dengar. Di negeri yang lebih cepat menindak “penghina pejabat” ketimbang “penghina hutan”, permintaan semacam ini sering kali cuma menggema di ruang-ruang diskusi aktivis.

#Di Bawah Kaki Oligarki Tambang

Melky menutup pernyataannya dengan kalimat yang rasanya bisa jadi epitaf demokrasi ekologis kita, “Jika pemerintah tetap diam, maka vonis terhadap warga Maba Sangaji akan dicatat sebagai simbol betapa hukum di negeri ini tak lagi berdiri di sisi rakyat—melainkan di bawah kaki oligarki tambang.”

Dan benar saja. Hutan Maba Sangaji kini mungkin masih berdiri, tapi warganya sudah dibungkam.

Negara tampaknya lupa: yang menjaga bumi bukan korporasi, melainkan orang-orang kecil yang berani menolak tambang dengan tubuh dan keyakinan mereka.***

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *