WARGA DUSUN BALONGMASIN Kecamatan Pungging, Mojokerto, Jawa Timur, mungkin sempat berpikir mereka sedang bermimpi. Sungai Sumber Pasinan yang biasanya keruh dan malas mengalir, tiba-tiba berubah jadi lautan busa putih. Dari atas jembatan, pemandangannya mirip seperti salju di film Natal, cuma tanpa dingin dan tanpa Santa Claus.
Fenomena ini muncul sekitar pukul lima pagi, Ahad, 26 Oktober 2025. Tumpukan busa putih menggunung di bawah dam dan jembatan, menutupi hampir seluruh permukaan air. Hingga siang hari, busa itu belum juga hilang, malah makin tebal, menggumpal, dan beterbangan ke udara ketika angin lewat.
“Kayak sabun cair tumpah satu drum,” celetuk salah satu warga yang ikut menonton dari tepi sungai.
#Bukan Salju, Bukan Latte Art
Sekilas, busa-busa itu tampak memesona, putih, lembut, bergulung pelan di permukaan air. Tapi begitu dicium aromanya, seluruh kesan romantis langsung buyar. Air di sisi barat dam terlihat keruh, kecokelatan hingga kehitaman, kontras dengan putihnya busa di bawah jembatan.
Di antara tumpukan itu, beberapa sampah plastik ikut nyangkut, seperti kolaborasi tak diundang antara limbah rumah tangga dan polusi visual.
Anjas, warga setempat, bilang fenomena ini muncul saat Subuh. “Sumber busanya kurang tahu dari mana, tapi sejauh ini sudah dua kali kejadian,” ujarnya. Kali ini, busanya lebih gila—menumpuk setebal hampir dua meter.

Aliran Sungai Sumber Pasinan sendiri melewati dua desa yakni Desa Balongmasin dan Desa Pungging, Kecamatan Pungging dan bermuara ke Sungai Sadar. Yang namanya ironis banget, karena sampai sekarang justru manusianya yang belum sadar.
“Belum ada warga yang terdampak,” tambah Anjas. “Tapi ya sebaiknya jangan buang limbah ke sungai. Biasanya fenomena kayak gini muncul pas air besar atau hujan tinggi.”
#Antara Busa dan Dosa Lingkungan
Fenomena ini jadi pengingat kecil, bahwa sungai di sekitar kita pelan-pelan berubah jadi tempat cuci piring massal. Aliran Sungai Sumber Pasinan mengalir dari kawasan Trawas, melewati Desa Balongmasin, lalu bermuara ke Sungai Sadar. Ironisnya, yang “sadar” justru bukan manusianya, tapi sungainya yang berteriak lewat busa tebal dan bau menyengat.
Sampai kini belum ada laporan warga yang terdampak. Tapi kalau polusi air dibiarkan, bisa jadi bukan cuma busa yang muncul, melainkan masalah baru. ekosistem mati, ikan-ikan minggat, dan warga kehilangan sumber air bersih.
Untuk sementara, sungai itu tetap berbusa—cantik dari jauh, getir kalau didekati. Sebuah potret kecil tentang bagaimana kita memperlakukan alam, penuh gaya, tapi tanpa rasa.***