Lewati ke konten

Ketika Trans7 Menyinggung Lirboyo Kediri, Gus Athoillah Bilang: Ini Bukan Kritik, Tapi Melukai Kehormatan

| 3 menit baca |Sorotan | 16 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Supriyadi Editor: Supriyadi

JOMBANG – Ada banyak hal yang bisa bikin netizen naik darah. Tapi jarang-jarang amarah itu datang bukan karena politik atau sepak bola, melainkan karena pesantren—tempat ribuan anak muda ditempa adab dan ilmu. Itulah yang terjadi setelah tayangan program Xpose Uncensored Trans7 menampilkan pesantren dan KH Anwar Manshur (Lirboyo) dengan framing yang dianggap merendahkan.

Tak butuh waktu lama, tagar #BoikotTrans7 pun bertebaran di jagat maya. Isinya? Gabungan antara kegeraman, satire, dan doa agar “Trans7 diberi hidayah sebelum azab tayangan berikutnya.”

#Santri Meradang: “Ini Bukan Cuma Soal Tayangan, Ini Soal Adab!”

Bagi kalangan pesantren, adab adalah fondasi. Jadi ketika seorang kiai sepuh seperti KH Anwar Manshur diposisikan secara tidak pantas di layar televisi, itu bukan sekadar “konten kontroversial”—itu dianggap melukai kehormatan.

Ahmad Athoillah, yang akrab disapa Gus Athoillah, tak bisa menahan kecewa. “Kami di Jawa Timur merasa sangat tersinggung. Lirboyo adalah pilar pendidikan moral dan agama,” ujarnya, dengan nada yang lebih mirip peringatan ketimbang komentar santai.

Gus Athoillah bukan orang sembarangan. Ia pengasuh Asrama Sunan Ampel Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar Jombang sekaligus anggota DPRD Jawa Timur. Jadi kalau beliau sudah bicara, bisa dibilang ini bukan cuma suara santri, tapi juga suara moral publik.

#Trans7 dan “Framing Negatif” yang Nggak Lucu

Masalahnya bukan sekadar tayangin pesantren, tapi bagaimana pesantren itu digambarkan. Menurut Gus Athoillah, Trans7 gagal menjaga marwah jurnalistik. “Produksi pemberitaan dengan menghina, merendahkan, dan menyebarkan prasangka negatif atas suatu kelompok jelas dilarang,” tegasnya.

Dalam dunia media, framing memang sah-sah saja—selama tujuannya edukatif, bukan menyesatkan. Tapi kalau framing-nya bikin ulama terlihat negatif, ya siap-siap saja disebut “media yang kehilangan adab”.

“Mem-framing negatif institusi yang didirikan oleh ulama sepuh adalah tindakan yang mencoreng wajah pers itu sendiri,” lanjutnya.

#KPI dan Dewan Pers, Saatnya Turun Gunung

Dalam situasi seperti ini, harapan publik beralih pada dua lembaga, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers. Dua lembaga ini diharap tak cuma duduk manis menulis surat teguran, tapi benar-benar menindak.

“Kami berharap KPI dan Dewan Pers menindak tegas agar kasus merugikan yang menyasar pesantren tidak terulang,” pinta Gus Athoillah.

Kalau KPI bisa cepat tanggap menegur sinetron yang “terlalu sensual”, masa urusan pelecehan moral pesantren nggak bisa?

#Sowan, Bukan Cuma Minta Maaf Lewat Caption

Bagian paling menarik datang di akhir pernyataan Gus Athoillah. Ia menegaskan, permintaan maaf lewat media sosial tak cukup. “Mereka harus datang, sowan, dan menunjukkan adab kepada muassis pesantren,” ujarnya.

Kalimat itu sederhana, tapi dalam. Di dunia pesantren, “sowan” bukan cuma formalitas. Ia adalah ritual penghormatan—sebuah gestur yang menunjukkan bahwa seseorang masih punya rasa.

“Ini bukan soal rating, ini soal menghormati nilai-nilai ke-Indonesia-an yang dibangun para kiai,” tutupnya.

Dan begitulah, dari tayangan yang niatnya mungkin “membuka tabir”, justru terbuka hal lain—tentang bagaimana sebagian media kini makin jauh dari etika, dan bagaimana pesantren masih memegang teguh sesuatu yang kini makin langka, adab.***

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *