KALAU sepak bola Indonesia bisa bicara, mungkin malam di Gelora Bung Tomo itu akan berkata: “Yang main bukan cuma sebelas orang di lapangan, Bung.”
Sebab yang paling menyala justru bukan di rumput hijau, tapi di tribun utara tempat Bonek Green Nord 27 menjelma jadi profesor sejarah sekaligus dosen tamu bagi manajemen Persebaya yang tampaknya sudah lama absen kuliah.
#KoreografiYangLebihPanasDariPertandingannya
Sebuah tulisan besar membentang di langit GBT, “HISTORIA MAGISTRA VITAE”, sejarah adalah guru terbaik kehidupan.
Tapi kalau gurunya sudah bosan ngajar dan muridnya sibuk bikin konten podcast, ya beginilah jadinya: nilai turun, semangat luntur, prestasi mampus di meja rapat.
Koreografi Green Nord malam itu bukan sekadar mainan kertas warna-warni. Ini surat cinta yang diserahkan lewat visual spektakuler, ditujukan langsung pada para petinggi klub yang konon katanya cinta mati pada Persebaya — tapi entah cintanya yang salah alamat atau memang sudah basi.
Mereka menulis: “Teruntuk semua elemen Manajemen, Pemain, baik Presiden Klub sekalipun, sampai detik ini apakah Anda-anda tidak lelah dan gelisah melihat tim kebanggaan ini minim prestasi atau memang prestasi bukan tujuan utama kalian?”
Tajam. Keras. Tapi juga indah, seperti cara orang tua Jawa menegur anaknya dengan nada lembut tapi penuh makna. Karena Green Nord tidak bertanya “kenapa kalah”, tapi “apakah kalian masih punya ambisi?” Dan itu jauh lebih menohok.
#AntiPodcastProTindakanNyata
Kalimat berikutnya jadi seperti peluru kaliber tinggi buat dunia sepak bola yang kini kebanyakan mic:
“Sekali lagi kita tidak perlu dengar banyak omong di Podcast, buktikan dengan tindakan atau sikap yang selayaknya anda juga ingin Tim kebanggaan Bonek berprestasi.”
Sebuah tamparan digital untuk mereka yang sibuk rebranding klub jadi kanal konten.
Karena Bonek tidak butuh kamera. Mereka butuh kemenangan. Tidak butuh engagement rate, mereka butuh effort rate.
Di saat klub-klub lain sibuk jual wacana “proyek jangka panjang”, Green Nord menjawab dengan kalimat pendek tapi jelas: “Kami sudah cukup sabar, sekarang waktunya kerja.”
Mereka menolak jadi suporter yang hanya dijadikan latar belakang dokumenter motivasional. Mereka ingin Persebaya kembali ke habitat aslinya — papan atas klasemen, bukan papan konten YouTube.
#LoyalRoyalTotal
Dan di bagian akhir koreografi itu, tersisa satu kalimat pamungkas:
“Apapun yang terjadi, slogan ‘LOYAL ROYAL TOTAL’ kami tidak akan berubah.”
Ini bukan sekadar slogan, tapi kontrak moral tanpa tanda tangan. Bonek boleh marah, boleh kecewa, tapi tidak akan pernah berpaling. Karena di balik kritik tajam itu, ada cinta yang terlalu besar untuk dikhianati.
Green Nord mengingatkan satu hal penting, “Mereka tidak menuntut kesempurnaan, mereka hanya menuntut kesungguhan.” Jika pemain berjuang di lapangan, suporter akan berjuang di tribun dengan suara serak, dada sesak, tapi tetap lantang, JUARA…!
Malam itu, GBT bukan sekadar stadion. Ia berubah jadi ruang kuliah terbuka. Green Nord jadi dosen, Bonek jadi saksi, dan manajemen Persebaya, mau tidak mau, harus jadi mahasiswa yang siap disidang.
Karena seperti yang mereka tulis di kain panjang itu, “Sejarah adalah guru kehidupan.”
Masalahnya, apakah manajemen masih mau belajar, atau sudah puas jadi alumni yang lupa cara menang?***