Lewati ke konten

Kursi Sekda Bojonegoro: Dari Lelang Jadi Kayak Dagangan Ledre Sepi Pembeli

| 5 menit baca |Sorotan | 5 dibaca

BOJONEGORO – Biasanya, jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) itu kayak lapangan migas di Bojonegoro: semua ingin nimbrung, semua kepengin dapat jatah sumur. Tapi kali ini, aneh bin ajaib—kursi Sekda yang seharusnya rebutan, malah sepi pendaftar.

Lelang jabatan sudah dibuka, tinggal klik formulir pendaftaran, tapi ternyata yang masuk baru… dua orang. Iya, cuma dua. Ibarat warung ledre di alun-alun malam Minggu: pembelinya bisa dihitung jari.

#Kursi Sekda, Mirip Pertandingan PSBK Kota Blitar vs Persibo

Kalau kursi Sekda diibaratkan pertandingan bola, rasanya ini mirip laga PSBK Kota Blitar lawan Persibo Bojonegoro. Bedanya, stadion sudah disiapin, tiket sudah dicetak, penonton sudah duduk, tapi yang turun ke lapangan cuma… dua pemain.

Yang daftar jadi Sekda ternyata hanya dua orang: Eka Atikah, Sekretaris DPRD Kota Blitar, dan Edi Susanto, Sekretaris DPRD Bojonegoro. Jadi kalau disebut “derby”, ya derby Sekwan. Lebih mirip tarkam dua desa tetangga yang sama-sama ngandelin pemain pinjaman, ketimbang big match Liga 1.

Penonton alias rakyat Bojonegoro pun bengong: ini pertandingan sungguhan atau sekadar pemanasan? Kursi Sekda yang biasanya jadi rebutan sekelas kue ledre pisang kue khas Bojonegero, kok kali ini rasanya hambar—kayak berkat hajatan yang isinya cuma bihun dingin sama tempe goreng.

#Dari Lelang Jadi Kayak Pasar Tembakau

Lelang jabatan Sekda ini nasibnya mirip pasar tembakau di musim panen 2025: kualitas menurun, harga pun labil. Panitia sampai kelabakan, lalu memperpanjang masa pendaftaran seminggu.

Tapi ya, kalau barangnya sudah dianggap “mahal risiko,” mau diperpanjang sebulan atau setahun pun, belum tentu ada yang berani nyentuh. Kursi Sekda ini ibarat tembakau kelas premium: daunnya kelihatan mulus, tapi kandungan TSNA (Tobacco Specific Nitrosamines)-nya kelewat tinggi. Buat pabrik rokok, TSNA itu alarm merah: panen bisa ditolak, pedagang pun gigit jari.

Begitu juga jabatan Sekda: di atas kertas tampak prestisius, tapi di baliknya penuh racun—jebakan politik, intrik birokrasi, sampai risiko jadi headline koran gara-gara salah langkah. Pantas saja, yang mau daftar mikirnya bukan sekali, tapi berkali-kali.

Jadilah kursi Sekda ini mirip rokok lintingan: tampak nikmat di tangan, harum saat dihisap, tapi ujung-ujungnya bikin batuk kronis. Yang berani duduk, harus siap paru-paru (dan karier) ikut tergerus.

#Teori Warung Kopi: Kenapa Sepi Peminat?

Kalau nongkrong di warung kopi pinggir jalan Kapas atau Balen, teori soal sepinya peminat kursi Sekda itu berseliweran lebih cepat daripada asap rokok kretek. Ada yang bilang, jabatan Sekda di Bojonegoro itu mirip sumur minyak: hasilnya besar, tapi apinya gampang menyala. Salah kelola dikit, bisa kebakaran politik. Banyak yang takut kepanasan sebelum sempat menikmati hasil.

Soalnya, uangnya memang manis, tapi bebannya juga berat. Sekda harus mikirin APBD yang nilainya triliunan, ngurus tanah sengketa yang nggak ada habisnya, sampai beresin laporan keuangan yang tiap tahun rawan “disorot” auditor. Bandingkan dengan jadi camat: bisa duduk santai di balai desa, jagongan sama warga, nggak sampai masuk headline koran.

Jadi, kalau dipikir-pikir, jadi Sekda di Bojonegoro itu kayak jadi penyanyi campursari di alun-alun malam minggu: salah nada sepersekian detik saja, se-kabupaten langsung heboh. Semua orang mendengar, semua orang komentar. Bedanya, kalau penyanyi cuma disoraki, Sekda bisa-bisa digoreng rame-rame.

#Derby Sekwan: Duel Unik Khas Bojonegoro, Perpanjangan Kayak Gratis Ongkir

Kalau sampai pendaftarnya tetap cuma dua, persaingan kursi Sekda bakal sah berubah jadi Derby Sekwan. Satu Sekwan lawan Sekwan lain.

Bayangin kayak laga Persibo zaman jaya di Stadion Letjen H. Soedirman: atmosfernya panas, tapi jumlah pemain di lapangan minimalis. Bedanya, kali ini bukan bola yang diperebutkan, melainkan kursi paling panas se-kabupaten.

Pendaftaran memang diperpanjang, harapannya ada pemain baru. Tapi ya siapa tahu, malah tetap kosong. Soalnya pejabat kita kadang lebih suka jadi penonton—komentator di pinggir lapangan—ketimbang masuk main dan risiko kakinya keseleo politik.

Kayak promo toko online di Cepu: “Gratis ongkir Jawa-Bali.” Kedengarannya wah, tapi tetap saja orang Bojonegoro milih beli di warung depan rumah. Praktis, aman, dan nggak ribet.

#Rakyat Cuma Mau yang Kerja, Meski Kursi Masih Misteri

Buat rakyat Bojonegoro, siapa pun yang akhirnya jadi Sekda itu sebenarnya nggak penting-penting amat. Mau dia mantan Sekwan, mantan camat, atau bahkan mantan ketua RT sekali pun, yang penting ya cuma satu: bisa kerja bener.

Karena kebutuhan rakyat itu nggak neko-neko:

  • Jalan poros desa jangan kayak permukaan bulan,
  • Air PDAM ngalir lancar (bukan rasa Bengawan Solo, lengkap dengan bonus popok dan mikroplastik),
  • Pelayanan publik jangan mirip antrean sembako pas BLT turun.

Kalau jabatan tinggi ujung-ujungnya rakyat tetap beli air galon tiap hari, ya sama saja: cuma sekadar foto keren di baliho, bukan solusi.

Sekarang kursi Sekda ini nasibnya mirip lapangan minyak di Bojonegoro: katanya melimpah ruah, tapi yang bisa ngelola tetap segelintir orang. Rakyat cuma bisa nonton dari jauh, sambil misuh-misuh tiap kali harga Pertamax naik.

Ya, begitulah. Kursi Sekda memang panas. Panasnya bukan karena empuk AC kantor, tapi karena intrik politik yang gampang bikin kursi itu berubah jadi kompor meleduk. Tapi justru di situlah serunya: siapa pun yang berani duduk, dia otomatis jadi bintang utama dalam drama birokrasi Bojonegoro. Kalau sukses, bisa dielu-elukan. Kalau gagal, siap-siap jadi bahan gibah sambil ngopi klothok di warung pinggir sawah.***

 

Hamim Anwar, jurnalis di Bojonegoro berkontribusi atas artikel ini | Editor: Supriyadi

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *