Lewati ke konten

Lamongan: Dari Piring ke RS, Kisah Program Makan Gratis yang Salah Kelola

| 6 menit baca |Sorotan | 5 dibaca

LAMONGAN – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah ide mulia. Negara hadir, memberi asupan sehat ke anak-anak sekolah, supaya mereka kuat belajar, cerdas mikir, dan nggak lagi cuma bergantung pada jajanan warung sebelah sekolah yang kadang lebih banyak micin ketimbang gizinya.

Tapi, Lamongan justru menyuguhkan babak epick: belasan siswa SMA Negeri 2 harus tergeletak di rumah sakit setelah menikmati jatah makan siang gratis. Alih-alih kuat mengerjakan soal integral atau hafalan sejarah, mereka justru sibuk ngantri dipasang infus. Gratis sih gratis, tapi siapa sangka “bonusnya” bisa berupa rawat inap.

#Dapur Disteril, Perut Tetap Protes

Begitu kabar menyebar, dapur MBG langsung jadi sorotan. Petugas datang membawa masker, sarung tangan, dan cairan disinfektan. Katanya dapur harus disterilisasi. Padahal, orang Lamongan biasanya paling alergi kalau ada dapur dibawa-bawa—karena dapur identik dengan soto, tahu campur, atau pecel lele tengah malam. Tapi kali ini, dapur bukan simbol kehangatan, melainkan TKP.

Ada juga argumen klasik dari pengelola: “Kalau benar makanannya bermasalah, mestinya bukan cuma 13 anak yang kena. Kan yang makan ribuan.” Logika seperti ini sering muncul. Persis kayak orang warung bilang, “Kalau sambal saya basi, ya semua pelanggan sakit perut, bukan cuma sampeyan.” Sayangnya, tubuh manusia bukan mesin fotokopi—reaksi bisa beda-beda.

#Bupati Ikut Turun Tangan

Bupati Lamongan akhirnya buka suara. Katanya, program MBG bakal dievaluasi. Kata ini sudah seperti jimat pejabat: setiap ada masalah, jurus pamungkasnya selalu “evaluasi”. Seandainya ada kamus politikus Indonesia, istilah ini pasti nongol di halaman pertama.

Masalahnya, evaluasi seringkali berhenti di rapat ber-AC dengan suguhan kue kering, bukan di lapangan. Warga Lamongan mungkin berpikir: “Evaluasi boleh, tapi kapan anak-anak bisa makan tenang tanpa takut berakhir di IGD?”

Urusan perut memang sensitif. Salah bumbu sedikit bisa bikin geger sekabupaten. Kalau benar-benar serius, kenapa berhenti di evaluasi? Kenapa tidak sekalian revitalisasi: benahi sistem, perketat standar dapur, bahkan perombakan total kalau perlu. Karena yang dipertaruhkan bukan sekadar citra program, tapi juga kesehatan ribuan anak sekolah.

Bupati Yuhronur menambahkan bahwa langkah terdekat adalah melakukan kajian mendalam untuk mengetahui penyebab keracunan. Jadi bukan sekadar jargon, tapi ada niat menelusuri akar masalah sebelum menentukan langkah berikutnya. Saat menjenguk korban di Rumah Sakit Islam (RSI) Nasrul Ummah Lamongan, Yuhronur mengatakan:

“Penyebabnya di mana, kami akan segera mempelajari. Ini juga akan dilakukan uji laboratorium,” jelasnya, Rabu (17/9/2025).

#Dari Niat Mulia ke Citra Buruk

Awalnya, MBG punya niat mulia: membangun generasi sehat dan kuat. Tapi kenyataan di lapangan justru bisa mencoreng citra program. Alih-alih identik dengan gizi, publik malah bisa buru-buru melabeli MBG dengan akronim baru: “Masakannya Beraroma Gawat.”

Ironisnya, Lamongan sendiri terkenal dengan kulinernya yang legit—dari soto Lamongan, wingko, sampai tahu campur. Tapi sekarang, begitu orang luar dengar kabar ini, Lamongan bisa keburu diasosiasikan bukan dengan lezatnya kuliner, melainkan dengan keracunan berjamaah. Warga yang biasanya bangga dengan sotonya pasti ikut tersinggung.

Bayangkan, seseorang yang ingin santap soto Lamongan mungkin tiba-tiba kebayang MBG: nasi, lauk, dan antrean IGD. Bahkan aroma soto yang semestinya bikin lapar, sekarang bisa bikin orang mikir dua kali sebelum menelan.

#Anak Sekolah Jadi Korban Eksperimen?

Bagi anak-anak SMA, kejadian ini bukan sekadar masalah sakit perut. Ini juga pengalaman traumatis yang bikin mereka mikir dua kali soal “makanan gratis”. Banyak dari mereka mungkin mulai menyiapkan strategi baru: bawa bekal sendiri—roti sobek isi meses, nasi kucing, atau apapun yang dianggap aman—daripada lagi-lagi menelan risiko.

Sekilas, siswa tampak jadi kelinci percobaan dari program negara. Setiap suapan MBG bisa terasa seperti undian: apakah hari ini aman, ataukah harus siap-siap ke IGD? Sulit membayangkan mereka bisa fokus belajar, kalau jam makan siang selalu disertai rasa was-was.

Ketika peristiwa itu terjadi, Humas SMA Negeri 2 Lamongan, Anggraeni, membenarkan bahwa ada siswa yang dilarikan ke rumah sakit. Namun pihak sekolah enggan berspekulasi mengenai penyebabnya.

Para siswa mulai menunjukkan gejala sekitar pukul 14.30 WIB. Tidak lama kemudian, tepat pukul 15.38 WIB, tiga siswa dibawa ke RS Narsul Ummah.

“Mereka mengalami pusing, mual, sampai muntah. Kami tidak berspekulasi karena bukan dokter, jadi segera bawa ke rumah sakit,” ujar Anggraeni kepada wartawan, Rabu (17/9/2025

#Diksi Evaluasi Kerap Basa-basi

Masyarakat Lamongan tentu berharap evaluasi kali ini bukan sekadar rapat formal dengan kopi, kue kering, dan presentasi PowerPoint. Sayangnya, pengalaman menunjukkan, kata “evaluasi” kerap ambyar—hanya seremoni tanpa menyentuh persoalan signifikan. Standar kebersihan yang dipertanyakan tetap abu-abu, kualitas bahan tetap jadi misteri, dan distribusi makanan tetap rawan blunder.

Kalau tidak ada perubahan nyata, kasus seperti ini bisa terulang. Setiap kali ada korban baru, legitimasi program makin memudar. Lebih parah lagi, kepercayaan publik terhadap program sosial pemerintah ikut runtuh. Orang jadi sinis: “Daripada gratis tapi bikin sakit, mending beli sendiri meski cuma nasi tahu.”

Evaluasi yang hanya formalitas jelas tidak cukup. Anak-anak sekolah, orang tua, dan warga Lamongan butuh tindakan konkret, bukan sekadar jargon. Tanpa itu, MBG akan tetap jadi cerita ambyar: niat mulia di atas kertas, tapi realitas di lapangan bikin perut menderita dan reputasi program hancur.

#Butuh Jawaban Nyata, Bukan Politik dan Perut Disamakan

Dalam politik Indonesia, perut sering dijadikan alat kampanye. Janji makan gratis bisa mendongkrak elektabilitas. Tapi begitu program salah urus, dampaknya langsung terasa: warga kecewa, reputasi rusak, bahkan bisa jadi bahan lawakan di warung kopi.

Di Lamongan, politik dan perut akhirnya bertemu di titik paling rawan: 13 siswa keracunan MBG. Kasus ini jadi pengingat: jangan main-main dengan makanan. Berbeda dengan pembangunan gedung atau jalan, salah urus soal perut bisa langsung bikin orang tumbang, tanpa menunggu bertahun-tahun.

Kasus ini menyisakan pertanyaan besar: apakah pemerintah daerah benar-benar siap menjalankan program makan gratis skala besar? Atau jangan-jangan sekadar menjalankan program asal bapak senang?

Warga Lamongan tentu tidak butuh sekadar evaluasi di media. Mereka butuh jawaban nyata: jaminan kebersihan, pengawasan ketat, dan transparansi siapa yang bertanggung jawab. Tanpa itu, program ini hanya akan jadi catatan miris dalam sejarah Lamongan—dari kota soto berubah jadi kota keracunan berjamaah.

#Gratis Itu Harusnya Ceria, Bukan Menderita

Pada akhirnya, makan gratis mestinya bikin ceria, bukan menderita. Anak-anak sekolah harusnya bisa pulang dengan perut kenyang dan kepala segar, bukan dengan mual dan tangan tertusuk jarum infus.

Lamongan pantas mendapat program makan gratis yang benar-benar bergizi, bukan sekadar slogan di kertas. Evaluasi yang dijanjikan Bupati harus jadi titik balik, bukan sekadar basa-basi. Kalau tidak, warga akan terus mengingat MBG bukan sebagai program penyelamat, melainkan program yang bikin trauma makan siang berjamaah.***

 

M Zaenal Abidin, aktif sebagai pendamping sosial di Lamongan berkontribusi dalam penulisan artikel ini | Editor: Supriyadi

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *