KALAU hukum itu ibarat jalan tol, maka Perda PDRD Jombang, Jawa Timur, sekarang sedang di gerbang keluar, tapi palangnya belum dibuka.
Padahal DPRD sudah ketok palu sejak 13 Agustus 2025. Tapi kata Andi Kurniawan, Kepala Bagian Hukum Setdakab Jombang, aturan itu belum bisa diundangkan karena masih nunggu dua stempel sakti dari Jakarta, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
“Informasi terakhir, hasil evaluasi dari Kemendagri sudah turun, tinggal Kemenkeu. Setelah keduanya lengkap, baru provinsi akan sampaikan ke kami,” ujar Andi, dengan nada antara sabar dan pasrah, Jumat (24/10/2025).
Dan begitulah nasib perda-perda yang menyangkut duit daerah, harus melewati dua meja birokrasi dan satu meja provinsi sebelum bisa dijadikan dasar menarik pajak.
#Dua Kementerian, Dua Logika
Di dunia kebijakan publik, ada adagium klasik, semakin banyak meja, semakin panjang perjalanan. Untuk PDRD, dua kementerian ini punya alasan masing-masing. Kemendagri mau memastikan aturan daerah tak menyalahi hukum nasional, sedangkan Kemenkeu sibuk menakar sisi fiskal dan potensi PAD-nya.
Masalahnya, dua logika ini sering kali bikin bola nyangkut di tengah. Satu kementerian minta perbaikan redaksi, satunya minta revisi angka. Akibatnya, perda yang mestinya jadi alat bantu daerah malah seperti PR tanpa tenggat.
“Jadi kayak mahasiswa skripsi bimbingan dua dosen, Satunya bilang ‘kurang data’, satunya bilang ‘terlalu panjang’,” celetuk salah satu staf Bapenda yang kami temui.
#PAD yang Tertunda, Strategi yang Tertahan
Bagi Pemkab Jombang, revisi Perda PDRD ini bukan sekadar ganti angka pajak, tapi penyesuaian strategi daerah untuk memperluas basis Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sektor yang disorot, Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), dulu dikenal sebagai pajak restoran dan kafe.
“Kalau perda belum jalan, kami juga belum bisa pakai tarif baru. Akhirnya potensi pendapatan tertunda,” kata seorang pejabat Bapenda yang enggan disebut namanya, sambil menunjukkan papan target PAD 2025 yang masih kosong sebagian.
Kondisi ini bikin daerah seperti mobil yang sudah diisi bensin tapi belum boleh di-starter. Mesin siap, sopir sudah duduk, tapi surat jalan belum keluar dari provinsi.
#Regulasi yang Terjebak Waktu
Di sisi lain, setelah dua kementerian selesai evaluasi, dokumen itu masih harus balik lagi ke Pemprov Jatim untuk disampaikan ke Pemkab dan DPRD Jombang. Lalu, baru bisa disempurnakan dan diregistrasi.
Sebuah siklus yang, kalau disingkat, bisa disebut: daerah bikin, Jakarta nilai, provinsi antar, daerah revisi, baru diundangkan.
Sistem yang katanya untuk “sinkronisasi”, tapi di lapangan sering terasa seperti labirin.
Dan labirin itu, sayangnya, tak punya tenggat waktu yang pasti.
#Obrolan di Kedai Tanah Senja, Wonosalam: “Kopi Sudah Dingin, Regulasi Belum Jalan”
Sore di Wonosalam. Kabut tipis menuruni lereng, suara tonggeret mulai pelan. Di Kedai Tanah Senja, beberapa orang yang tak gagap oleh berita sedang ngobrolin PDRB Jombang. Mereka duduk melingkar, menyesap kopi ekselsa yang aromanya tebal.
Obrolan mereka, entah kenapa, tiba-tiba lebih panas dari air seduhan, soal Perda PDRD yang belum juga jalan.
“Katanya pajak mau diatur lagi ta?” tanya Afrianto Rahmawan, pemilik kedai yang juga aktif dalam isu lingkungan.
“Iya, tapi belum bisa jalan. Masih nunggu evaluasi dari Jakarta,” jawab Dani santai, sambil scroll-scroll berita di gawainya.
“Kuatir kedaimu kepalak pajek ta, kok takon-takon,” celetuk Yudha, disambut tawa kecil yang menggema di antara gelas-gelas kaca.
Tawa itu bukan karena leluconnya lucu, tapi karena mereka sudah terlalu sering mendengar kata yang sama dari pejabat dan pemberitaan, “menunggu.”
Menunggu evaluasi, menunggu persetujuan, menunggu tanda tangan, sementara kopi mereka sudah dingin, dan ekonomi rakyat kecil tetap harus panas menghadapi realitas.
Bagi mereka, urusan pajak dan regulasi mungkin terdengar jauh, tapi dampaknya bisa terasa sampai ke kebun, warung, dan dompet mereka. Terutama pemilik kedai, seperti Afrianto.
Karena di negeri ini, bahkan kebijakan yang lahir di meja kementerian, ujungnya bisa terasa di meja kayu Kedai Tanah Senja, tempat obrolan sederhana sering kali lebih jujur dari rapat evaluasi di Jakarta.***