Catatan: Artikel ini sengaja tidak menggunakan istilah yang dipakai dalam rilis resmi, karena istilah tersebut dinilai masih memberi kesan defisit atau kekurangan. Redaksi memilih istilah disabilitas netra, karena kami percaya mereka memiliki hak dan kesempatan yang setara dalam kehidupan, pendidikan, dan prestasi—seperti siapa pun di negeri ini.
BIASANYA orang mengaji di masjid, langgar, atau majelis taklim. Tapi, bagi ratusan santri disabilitas netra mengaji bisa di mana saja. Termasuk… di Monumen Kapal Selam alias Monkasel, Surabaya, Sabtu (25/10/2025).
Sekitar 150 disabilitas netra dari Surabaya dan Sidoarjo memenuhi area Monkasel. Bukan untuk wisata, tapi untuk melantunkan ayat suci dalam gelaran festival ke-5. Tahun ini, temanya sungguh puitis: “Mengarungi Lautan Ilmu Allah SWT.”
#Mengaji di Tengah Kapal Selam: Dakwah yang “Tidak Biasa”
Bisa dibilang, ini bukan sekadar festival, adalah ruang dakwah sekaligus ruang perlawanan terhadap buta huruf Al-Quran Braille. Ketua panitia, Pria Asmara Dewa, menjelaskan bahwa kegiatan ini ingin memperkenalkan kepada masyarakat luas bahwa para disabilitas netra juga tengah berjuang untuk bisa membaca dan menulis Al-Quran Braille.
“Kalau masyarakat tahu bahwa ada lembaga yang mengajarkan Al-Quran Braille, mereka bisa bantu. Minimal, kalau punya keluarga disabilitas netra yang belum bisa mengaji, bisa kami dampingi,” ujarnya.
Bahkan, selain mengaji bersama, ratusan santri juga melakukan flashmob ngaji Braille di sekitar Monkasel. Iya, flashmob. Mereka membaca Al-Quran Braille serempak di ruang publik, sebuah pemandangan yang bikin banyak pengunjung berhenti dan terdiam.
“Flashmob ini cara kami berdakwah dengan cara yang ramah publik. Kami ingin masyarakat sadar bahwa ilmu Allah itu seluas lautan, dan semua orang berhak menyeberanginya,” tambah Dewa.
#Dari Khataman di Bus hingga Mengaji di Jalan Tunjungan
Festival tahun ini bukan satu-satunya aksi unik Gerakan Teman Menjaga (GTM) Kawan Netra. Sebelumnya, mereka pernah bikin kegiatan yang tak kalah nyentrik, Khataman on The Bus, Khataman on The Train, Khataman on The Boat, bahkan Ngaji di Jalan Tunjungan dan di mal.
Pendiri Yayasan Urunan Kebaikan, Gusti Mohammad Hamdan, bilang bahwa gerakan ini bukan sekadar soal ibadah, tapi juga soal literasi dan eksistensi.
“Misi memberantas buta huruf Al-Quran Braille itu bukan hanya misi disabilitas netra, tapi misi kita semua. Selama masih ada saudara kita yang belum bisa mengaji, kita belum selesai,” tegasnya.
#Hanya 5 Persen yang Bisa Membaca Quran Braille
Menurut data Ikatan Disabilitas Netra Muslim Indonesia, hanya sekitar 5 persen penyandang disabilitas netra di Indonesia yang bisa membaca Al-Quran Braille.
Penyebabnya? Banyak. Dari harga perangkat belajar yang mahal, kurangnya guru, hingga minimnya transportasi dan pendampingan. Akibatnya, sebagian besar hanya bisa mendengarkan Al-Quran lewat audio, tanpa bisa menyentuh huruf-huruf sucinya.
“Ini masalah besar,” kata Heri Cahyono, Koordinator Gerakan yang juga seorang pemijat. “Karena kalau generasi yang bisa baca Quran Braille meninggal, pengetahuan itu ikut hilang. Padahal, buta mata bukan berarti buta hati pada Tuhan.”
#Urunan Kebaikan: Dari Komunitas ke Gerakan Besar
GTM sendiri lahir dari rahim Yayasan Urunan Kebaikan, lembaga sosial yang berdiri sejak 2015. Kini mereka punya tiga unit kegiatan: Homesantren Kebaikan, Kawan Netra, dan Yatim Design Academy.
Dari sinilah berbagai gerakan inspiratif bermunculan: Gerakan Mengaji, Mushola Rescue, Buta Digital, Blackscreen Community, hingga Ngaji Karakter.
Urunan Kebaikan percaya, belajar dan berbagi itu nggak punya kata selesai. “Bagi kami, istirahat yang sesungguhnya adalah kematian,” kata Hamdan dengan nada setengah bercanda tapi penuh makna.
#Mengaji, Melawan Gelap, dan Mengundang Terang
Festival Mengaji bukan cuma acara tahunan. Ia adalah bentuk perlawanan terhadap gelap, dalam arti sesungguhnya maupun simbolik. Ketika masyarakat bisa melihat tapi tidak peduli, para disabilitas netra justru mengajarkan bagaimana caranya melihat dengan hati.
Dari Monkasel, mereka mengarungi lautan ilmu Allah. Dari Braille, mereka belajar membaca cahaya. Dan dari perjuangan kecil ini, mungkin kita yang “bisa melihat” justru belajar apa arti sebenarnya dari penglihatan.***