Lewati ke konten

Mengenal Lebih Dekat Pelukis Ridwan SS: Dari Tukang Display Sampai Kuda Monokrom

| 6 menit baca |Ide | 5 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Supriyadi Editor: Supriyadi

SURABAYA – Ada pepatah klasik: “Hobi bisa jadi rejeki.” Tapi buat Ridwan SS, pepatah itu harus ditambah catatan kaki: “Kalau nggak setia, hobi bisa keseret jadi kerja kantoran drafter, lalu balik lagi jadi pelukis.”

Ridwan mulai akrab dengan pensil dan kertas sejak kelas 4 SD. Sementara anak-anak lain sibuk main kelereng atau gundu, dia sudah betah corat-coret. Padahal, ia sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan seni formal. Nggak ada gelar STS (Sarjana Tata Seni), apalagi S.Sn.

Kebetulan, kakaknya—Waluyo—adalah seorang pematung sekaligus pelukis. Namanya juga adik, melihat kakak sibuk bikin patung keren, ya otomatis ikut-ikutan. Dari situlah Ridwan seperti kejatuhan kutukan indah: sejak kecil tidak pernah bisa jauh dari dunia gambar.

#Dari Tukang Pasang Lukisan ke Panggung Pameran

Tapi tunggu dulu. Ridwan tidak langsung melesat jadi pelukis yang dipuji-puji. Awalnya, dia malah jadi tukang display. Bahasa halusnya: teknisi pasang lukisan di pameran pelukis senior. Bahasa kasarnya: tukang gantung pigura biar nggak miring.

Nama-nama besar macam Amdo Brada atau Setyoko pernah dipajang karyanya oleh tangan Ridwan. Iya, dulu Ridwan bukan artisnya, tapi crew panggungnya. Tapi justru dari situ dia belajar: melihat bagaimana lukisan disusun, bagaimana pelukis senior bicara, bagaimana aura pameran dibangun.

“Justru di situ aku bangga, Mas. Dari tukang gantung pigura itu aku bisa mencium aroma asli dunia seni. Nggak sekadar lihat lukisan di buku, tapi beneran jadi bagian dari panggungnya,” kata Ridwan, sambil ngakak, tapi jelas ada sisa kebanggaan di matanya.

Baru tahun 2008, Ridwan memberanikan diri ikut pameran bareng di GOR Kota Lumajang. Dari tukang gantung, naik kelas jadi peserta. Dari tukang pasang, jadi orang yang dipasangin karyanya. Level up!

#Lima Tahun Jadi Drafter, Lima Tahun Menahan Rindu Cat Minyak

Tahun 2011–2016, Ridwan sempat “hilang” dari dunia seni. Ya, hilang tapi nggak benar-benar lenyap. Jalurnya belok. Dia kerja kantoran di Gresik, di sebuah perusahaan konstruksi baja. Posisi: drafter. Alias tukang gambar struktur bangunan.

Masih gambar sih, tapi yang digambar bukan kuda monokrom penuh filosofi, melainkan balok baja, portal, sampai sambungan baut. Hidupnya penuh AutoCAD, bukan cat minyak. Dari background teknik sipil, pekerjaan itu masuk akal. Cuma ya, kalau dilihat dari kacamata seni, itu ibarat Superman yang sehari-hari cuma jadi satpam komplek—masih bisa terbang, tapi sayapnya disekap aturan kerja kantoran.

“Waktu itu aku mikirnya realistis, Mas. Hidup kan nggak bisa cuma idealisme. Tapi kalau jiwa seni sudah nempel di darah, nggak bisa dihapus begitu saja,” ujar Ridwan, yang matanya langsung nyala begitu nyebut kata seni.

Maka dari itu, meskipun keseharian dipenuhi gambar sambungan baut, Ridwan tetap sesekali nongol di pameran. Minimal setahun sekali, kadang dua kali. Biar nggak dianggap pensiun dini. Biar dunia tahu, Ridwan masih ada, masih berdiri di antara cat, kanvas, dan aroma thinner.

Bisa dibilang, lima tahun itu fase “Ridwan merantau ke dunia realitas, tapi diam-diam tetap berpacaran dengan dunia imajinasi.” Kerjaannya membangun baja, tapi hatinya masih menggambar kuda.

#Silaturahmi ke Jogja, Nyekar ke Affandi

Setelah resmi cabut dari kerja kantoran tahun 2016, Ridwan balik ke jalur semula, seni. Salah satu langkah awalnya, dia sempat ke Jogja. Tapi bukan buat nongkrong di angkringan Malioboro atau foto estetik di Titik Nol. Dia datang buat silaturahmi ke teman-teman pelukis, sekaligus “nyekar” ke makam pelukis legendaris macam Affandi.

“Rasanya kayak diingatkan lagi, kalau seni itu bukan cuma perkara gaya atau pasar. Ada yang lebih besar: warisan, napas, bahkan doa,” kata Ridwan, pelan tapi tegas.

Gestur itu sederhana, tapi maknanya dalam. Nyekar ke makam Affandi Koesoema—maestro yang hidup 18 Mei 1907 – 23 Mei 1990—ibarat Ridwan sedang ngasih warning ke dirinya sendiri: “Jangan sampai kesenian jadi sekadar komoditas. Jangan sampai kuas cuma jadi mesin cari duit, tapi lupa rohnya.”

Oh ya, soal nama Ridwan SS, jangan salah kira. Itu bukan gelar keren atau trik biar kelihatan akademis. “SS” itu singkatan dari nama kedua orang tuanya. Jadi, setiap kali tanda tangan lukisan, Ridwan seolah lagi bilang: “Ini bukan cuma karyaku. Ini juga doa, jejak, dan titipan orang tuaku.”

Ada seniman yang tanda tangan di pojok kanvas sekadar formalitas. Bagi Ridwan, itu ritual. “Setiap guratan nama itu mengingatkan saya, melukis bukan cuma cari nafkah, tapi cara saya merawat doa orang tua,” ujarnya.

Dengan kata lain, Ridwan itu nggak cuma melukis dengan cat, tapi juga dengan kenangan, doa, dan sedikit bandel: tetap milih jalannya sendiri, meski sempat nyasar ke kantor baja.

#Ridwan Total di Dunia Seni

Sejak 2016 sampai sekarang, Ridwan bisa dibilang “balas dendam” atas lima tahun yang separuh absen. Dia total di dunia seni. Selain melukis untuk pameran atau pesanan, Ridwan juga nerima proyek relief, mural, patung, sampai dekorasi taman.

Jadi jangan heran kalau lihat tangannya bau thinner tapi rumah orang lain jadi cantik karena lukisan bikinannya. Mural atau taman kota jadi punya relief karena proyeknya dikerjakan Ridwan.

Ridwan ini tipe seniman yang nggak mau sekadar “nunggu ide turun.” Dia terjun ke lapangan, dari pameran serius sampai proyek pesanan. Bedanya, untuk pameran dia tuangkan keresahan dan ide-idenya. Untuk pesanan, ya disesuaikan dengan klien. Tapi tetap: tanda tangan SS di pojok lukisan adalah stempel kejujuran.

#Era Kuda Monokrom

Belakangan, Ridwan dikenal lewat lukisan kuda monokrom. Kuda—simbol tenaga, kebebasan, dan kegigihan—ia bungkus dalam hitam putih. Bukan karena cat warna habis, tapi karena ia ingin menegaskan pertarungan sederhana: terang lawan gelap.

“Semua yang hidup pasti ingin menuju terang,” kata Ridwan. Filosofis, tapi lahir dari pengamatan sehari-hari: manusia, seperti kuda, selalu berlari ke arah cahaya, meski jalannya belepotan lumpur.

Kuda monokrom Ridwan bukan sekadar binatang berlari. Itu metafora hidup. Garis tegas, bayangan pekat, arah cahaya yang dikejar—semua bisa dibaca sebagai refleksi spiritual atau kritik sosial.

Dan justru gaya monokrom itulah yang bikin Ridwan menonjol. Saat pasar seni sibuk jual warna cerah biar gampang masuk ruang tamu, Ridwan pilih bikin karya yang bikin penonton agak nggak nyaman. Kudanya kadang gagah, kadang muram.

“Kalau semua orang maunya indah-indah, saya justru pengin kasih ruang buat kejujuran. Hidup kan nggak selalu penuh warna. Ada kalanya cuma hitam dan putih,” ujarnya.

Dengan cara itu, Ridwan kayak lagi nyeletuk ke penonton: berani nggak lihat hidup apa adanya, tanpa filter pastel dan neon?

#Mau Jadi Kuda atau Penonton?

Jadi, kalau berdiri di depan kuda monokrom Ridwan, jangan cuma bilang, “Bagus ya.” Tanyain ke diri sendiri: kamu ini kuda yang lari ke terang, atau penonton yang bengong di gelap sambil nungguin live score bola?

Ridwan sudah kasih pesan: seni lahir dari hati, bukan sekadar orderan. Hidup pun sama: punya arah sendiri, bukan sekadar ikut terang yang dipasangin orang lain.

Dan ingat, kalau kuda aja bisa konsisten lari, masa kita masih muter-muter di gelap cuma gara-gara takut nyemplung got?***

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *