BAGI masyarakat adat, hutan bukan cuma hamparan pohon atau sumber kayu—itu rumah, dapur, dan lembar sejarah keluarga. Tapi selama bertahun-tahun, negara memperlakukan mereka seolah pendatang gelap di tanah sendiri.
Undang-undang menyebut siapa pun dilarang membuka lahan perkebunan di kawasan hutan tanpa izin dari pemerintah pusat. Masalahnya, bagaimana mungkin orang yang hidup turun-temurun di dalam hutan harus “izin” untuk menanam singkong di tanah leluhurnya sendiri?
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 181/PUU-XXII/2024 akhirnya memberi napas baru. MK memutuskan bahwa masyarakat adat boleh membuka lahan perkebunan di kawasan hutan tanpa izin berusaha dari pemerintah pusat, selama kegiatan itu tidak ditujukan untuk tujuan komersial.
“Sepanjang tidak dimaknai, ‘dikecualikan untuk masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial’,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Jakarta, Kamis, 16 Oktober 2025.
Jelas, kalau masyarakat adat menanam untuk makan—bukan membangun bisnis sawit—negara tak bisa lagi menjerat mereka sebagai pelanggar hukum.
#Negara yang Telat Ingat: Mereka Juga Rakyat
Putusan ini lahir setelah MK mengabulkan sebagian uji materi atas UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja. Dalam putusan itu, MK menafsir ulang Pasal 17 ayat (2) huruf b, bahwa larangan membuka lahan di kawasan hutan tidak berlaku bagi masyarakat adat yang hidup turun-temurun di dalam hutan.
Hakim Konstitusi Enny Nuraningsih menjelaskan, larangan itu harus dikecualikan karena tidak semua kegiatan perkebunan di hutan bermotif bisnis.
“Ada masyarakat yang hanya ingin menanam untuk makan, bukan menjual hasilnya di pasar modern,” ujarnya.
Ketua MK Suhartoyo menegaskan, negara tidak boleh memaksa masyarakat adat mengurus izin berusaha untuk kegiatan non-komersial, sebab izin berusaha hanya berlaku bagi pelaku usaha. Lebih jelasnya, kalau tidak sedang berbisnis, kenapa harus izin berusaha?

#Sawit, Denda, dan Pemutihan yang Disamarkan
Dari laman resmi MK terungkap, pemohon perkara ini adalah Perkumpulan Pemantau Sawit, lembaga yang berdiri sejak 1998 dan fokus mengkaji kebijakan serta hukum terkait pengelolaan sumber daya alam, khususnya sawit, beserta dampaknya terhadap ekologi, sosial, dan ekonomi.
Koordinator Badan Pengurus lembaga itu, sebagaimana dikutip CNN, Nurhanudin Achmad, menilai bahwa sanksi administratif dan denda di bidang kehutanan yang diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2013 bukanlah solusi yang benar.
Menurutnya, aturan tersebut justru berpotensi menjadi upaya pemutihan terselubung bagi perusahaan besar yang sudah terlanjur membuka perkebunan sawit di kawasan hutan.
“Yang kecil disuruh izin, yang besar malah dapat dispensasi,” begitu kira-kira semangat dari kritik mereka.
Pemohon juga menegaskan, pemerintah seharusnya bersikap persuasif terhadap masyarakat kecil yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan, bukan menyamakan mereka dengan korporasi pelanggar izin.
Solusinya, kata mereka, bukan menambah sanksi, tapi menata ulang kawasan hutan dan mendaftarkan warga lokal sebagai bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.
#PR Besar Setelah Putusan
Putusan MK ini memang membawa harapan, tapi di lapangan belum tentu semudah itu. Sejarah membuktikan, keputusan hukum bisa sekuat apapun di atas kertas, tapi rapuh di lapangan.
Kriminalisasi terhadap warga adat masih sering terjadi, bahkan setelah putusan MK tahun 2014 yang juga menegaskan hutan adat bukan hutan negara.
Yang paling dikhawatirkan, keputusan ini hanya jadi “dokumen cantik” di situs MK—ramai dibicarakan seminggu, lalu hilang ditelan berita politik dan drama nasional.
Sebab, sekuat apa pun hukum, ia tak akan hidup kalau aparat masih menganggap masyarakat adat sebagai pengganggu kawasan hutan.
Kalau negara benar-benar ingin menegakkan keadilan ekologis, mungkin sudah saatnya belajar rendah hati kepada mereka yang menjaga hutan tanpa menebang isinya—bukan malah terus menguji kesabaran mereka dengan izin dan pasal.***