LAMONGAN – Kalau Anda kira berburu padi cuma dilakukan burung pipit atau tikus sawah, Anda keliru. Di Lamongan, manusia pun ikut-ikutan jadi “pemulung” padi. Dan bukan karena mereka hobi ekstrem atau ikut tren TikTok “Survival di Sawah”, melainkan karena perut yang minta diisi sementara harga beras terbang melampaui awan.
Desa yang jaraknya sekitar 2 jam dari pusat kota Lamongan, pemandangan ini jadi rutinitas. Setiap pagi, orang-orang—kebanyakan ibu-ibu—menyusuri pematang sawah, mencari butiran padi yang tercecer setelah panen. Yang tadinya dianggap remeh oleh pemilik lahan, jadi rebutan warga miskin untuk sekadar bertahan hidup. Ini bukan cerita fiksi pedesaan. Ini realitas yang bikin kita pengin marah sekaligus sedih.
# “Pemburu” Pagi Hari, Satu Timba untuk Satu Keluarga
Khotijah (60) sudah terbiasa bangun sebelum matahari nongol. Ia bukan sedang ikut program “Sunrise Yoga”, tapi berburu padi sisa. “Berangkat pukul 06.00 WIB, pulangnya pukul 12.00 WIB. Dapatnya 2 kilo, 4 kilo. Buat makan saja,” katanya lirih sambil mengusap peluh. Dua sampai empat kilo itu kalau dihitung-hitung mungkin cuma bertahan beberapa hari, apalagi kalau ada cucu datang.
Yang bikin ngilu, Khotijah rela berpanas-panasan dengan tubuh yang sudah renta. Sementara kita di kota kadang mengeluh AC kantor terlalu dingin atau kopi kekinian yang makin mahal. Kontras sekali.
Kondisi serupa dialami Nur (48). Ia membawa timba plastik seperti anak sekolah membawa ember untuk lomba 17 Agustusan. Bedanya, yang diambil Nur bukan bola plastik atau air, tapi butiran padi sisa yang tercecer. “Dapat satu timba, ini tidak dijual. Buat dimakan saja,” ujarnya. Nada bicaranya biasa saja, seperti menceritakan menu sarapan. Padahal, ini sebenarnya tragedi kecil yang berjalan pelan-pelan di desa.
Nur mengaku, kalau lagi beruntung, ia bisa mengumpulkan satu timba penuh. Kalau lagi apes, cuma separuh. Dan itu belum disosoh, belum jadi beras. Artinya, masih harus ditumbuk atau digiling sendiri. “Ya dikerjakan bareng keluarga. Yang penting bisa makan,” katanya.
#Petani Juga Serba Salah
Fenomena ini memantik reaksi macam-macam dari pemilik lahan. Sikan, salah satu petani yang sawahnya jadi lokasi “berburu”, memilih legowo. “Enggak masalah, orang-orang seperti itu kan enggak punya sawah,” katanya. Menurutnya, butir padi sisa panen toh cuma tercecer, dan daripada mubazir lebih baik dimanfaatkan.
Tapi enggak semua orang setuju. Ada beberapa pekerja panen yang merasa terganggu. “Kadang mereka datang pas kita belum selesai panen. Jadi kita kerja enggak enak,” kata salah satu buruh panen yang minta namanya disamarkan. Dilema ini menunjukkan kemiskinan bukan cuma masalah dompet, tapi juga relasi sosial di desa.
#Harga Beras Melangit, Pemerintah ke Mana?
Semua cerita ini punya akar masalah: harga beras yang melambung. Di saat berita ekonomi nasional bicara soal inflasi terkendali dan angka kemiskinan turun, di lapangan justru orang-orang harus mengais padi sisa panen. Ironi semacam ini sering kita temukan di laporan BPS, tapi jarang jadi headline besar.
Warga seperti Khotijah dan Nur cuma berharap pemerintah hadir menstabilkan harga. “Kalau beras murah, enggak usah begini lagi,” kata Nur. Sementara Khotijah bilang, “Semoga pemerintah bantu rakyat kecil, jangan cuma pejabatnya.”
#Potret “Kemakmuran” ala Jawa Timur
Fenomena berburu padi ini jadi cermin betapa timpangnya kebijakan pangan kita. Di satu sisi, pemerintah bangga impor beras turun, panen melimpah, dan program bantuan sosial jalan terus. Di sisi lain, rakyat miskin harus memungut butiran padi seperti burung pipit.
Lamongan dikenal sebagai lumbung padi Jawa Timur. Tapi ternyata, jadi lumbung tidak otomatis bikin rakyat kenyang. Seperti kata pepatah lama, “Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak.” Kita sibuk mengurus ketahanan pangan nasional, tapi lupa pada perut warga desa.
#Harapan yang Tercecer
Kisah Khotijah dan Nur bukan hanya soal perut kosong. Ini juga tentang martabat. Tentang bagaimana negara hadir atau absen di saat paling krusial. Kalau pemerintah serius, stabilisasi harga beras bukan sekadar jargon. Kalau pemerintah mau, bantuan pangan bisa tepat sasaran, bukan lewat birokrasi berlapis.
Untuk sekarang, yang bisa kita lakukan mungkin cuma menyebarkan cerita ini. Karena cerita punya kekuatan untuk bikin kita tidak lagi menganggap biasa kemiskinan yang “seperti sudah biasa” ini.
Atau seperti kata Khotijah di akhir wawancara, “Yang penting besok masih bisa makan.” Sebuah kalimat sederhana yang rasanya jauh lebih menghantam daripada pidato pejabat tentang “ketahanan pangan nasional.”***
Supriyadi, berkontribusi dengan artikel ini | Editor: Supriyadi