Kalau orang Minahasa punya pepatah tentang cap tikus, orang Jawa punya pepatah tentang wedang tape. Sama-sama memabukkan, sama-sama bikin langkah goyah kalau kebanyakan. Tapi ada satu hal yang lebih memabukkan ketimbang semua jenis minuman fermentasi di Nusantara: kekuasaan. Bedanya, kalau cap tikus bikin pusing semalam, kekuasaan bisa bikin lupa daratan bertahun-tahun.
#Mabuk Kekuasaan Itu Nikmatnya Pelan-Pelan
Mungkin mantan Wamenaker Imanuel Ebenezer, yang biasa disapa Noel—yang kena OTT KPK—paham betul rasanya. Awal masuk politik, Noel punya janji sederhana “hanya mau membantu rakyat”. Lama-lama, godaannya seperti tuak terenak yang disajikan gratis tiap malam: enak, hangat, pelan-pelan menguapkan kesadaran.
Begitulah kekuasaan bekerja. Nggak langsung jatuh cinta, tapi diam-diam mengikat. Orang yang tadinya idealis mendadak jadi tukang lobi. Yang tadinya marah sama pejabat, sekarang malah jadi pembela kebijakan yang dulu dikritiknya sendiri.
#Mabuk yang Bikin Lupa Asal-Usul
Di titik ini orang mulai lupa. Lupa asal-usulnya. Lupa janji yang dulu digembar-gemborkan. Lupa bahwa kursi kekuasaan itu bukan hak pribadi, melainkan titipan. Mabuk kekuasaan bekerja lebih licin daripada mabuk cap tikus.
Efeknya? Hilang sensitivitas, jadi kebal kritik, percaya diri berlebih seolah apa pun yang dilakukan pasti benar. Padahal di luar sana buruh masih mengeluh soal upah, pekerja migran masih menunggu perlindungan, rakyat kecil masih berharap kebijakan yang manusiawi. Tapi di kursi empuk, suara mereka jadi sekadar dengungan.
Sampingan Mabuk Kekuasaan: Ketagihan “Proyek”
Dan, Noel, mabuk kekuasaan ini punya efek samping yang lebih ngeri daripada migrain. Kalau cap tikus paling-paling cuma bikin pusing semalam, mabuk kekuasaan bisa bikin orang ketagihan pada praktik kotor—main proyek gelap, lobi-lobi basah, sampai dugaan pemerasan di urusan perizinan atau sertifikat K3 yang mestinya jadi hak buruh dan publik.
Ujung-ujungnya? OTT, panggilan lembaga antirasuah, sidang pengadilan, dan pawai rompi oranye. Sejarah kita sudah sering memberi contoh pejabat yang bernasib demikian, tapi entah kenapa selalu diulang lagi.
#Publik Bukan Penonton yang Buta
Yang sering dilupakan para pemegang jabatan adalah: rakyat sekarang lebih melek. Media sosial jadi semacam CCTV besar yang tak pernah mati. Semua jejak digital terekam: mulai dari foto gaya hidup mewah, percakapan “bisnis” yang bocor, sampai slip tanda terima titipan proyek.
Kalau dulu orang bisa sembunyi di balik jargon “demi rakyat”, sekarang publik bisa menyambung-nyambung titik. Dan kalau sudah begitu, nggak ada lagi benteng sakti: buzzer pun cuma bisa jadi plester luka sementara.
#Kekuasaan Adalah Ujian, Bukan Tuak Gratis
Poinnya, kekuasaan bukanlah tuak gratis yang bisa diteguk seenaknya. Dia adalah ujian yang bisa mengangkat derajat atau menjatuhkan harga diri seseorang. Karena itu, mereka yang merasa punya kuasa justru mesti lebih waspada, bukan lebih jemawa.
Kalau mau tetap “waras” di tengah pusaran kuasa, resepnya sederhana tapi sulit: ingat tujuan awal. Ingat rakyat yang butuh kebijakan, bukan basa-basi. Ingat kalau jabatan itu bisa habis kapan saja—bahkan sebelum masa jabatan selesai.
#Mabuk yang Bisa Disembuhkan
Kalau cap tikus bisa dinetralisir dengan minum air putih atau tidur panjang, mabuk kekuasaan cuma bisa dinetralisir dengan kesadaran dan integritas. Bukan sekadar jargon, tapi tindakan nyata.
Jadi, Noel, begitulah… kekuasaan memang lebih memabukkan ketimbang cap tikus. Tapi selalu ada pilihan untuk berhenti sebelum terlalu jauh. Kalau tidak, sejarah hanya akan menambah daftar nama baru di buku tebal “Pejabat yang Tergelincir karena Mabuk Kekuasaan”. ***
Maharani Caroline,SH., aktivis public interest lawyer tinggal di Malaku Utara dan mantan Direktur Eksekutif YLBH Manado, Sulawesi Utara, berkontribusi dalam penulisan opini ini. | Editor: Supriyadi