Lewati ke konten

Perpres PSEL: Insinerator Jalan Pintas Menuju Bencana Fiskal dan Polusi Nasional

| 5 menit baca |Ekologis | 19 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Rilis Editor: Marga Bagus
Terverifikasi Bukti

PEMERINTAH baru saja meneken Peraturan Presiden (Perpres) No. 109 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL). Judulnya terdengar keren dan futuristik—“sampah jadi listrik”, seperti dongeng sains modern di negeri yang gemar cari solusi instan.

Tapi bagi Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), bunyi Perpres ini justru seperti alarm bahaya. Di balik narasi “modernisasi pengelolaan sampah”, tersembunyi skema proyek mahal berumur panjang yang bisa bikin PLN megap-megap dan APBN berdarah-darah.

Setiap insinerator PSEL berkapasitas 1.000 ton per hari bisa membebani PLN hingga Rp600 miliar per tahun. Kalau dikalikan 30 tahun kontrak, itu bukan listrik, tapi pembakaran uang publik. “Ini bukan solusi, tapi perpanjangan kegagalan Perpres 35/2018,” kata Atha Rasyadi dari Greenpeace Indonesia.

#Dari “Solusi Cepat” ke “Jebakan Fiskal”

Alih-alih belajar dari pengalaman, versi baru Perpres ini justru menaikkan tarif dan memperpanjang kontrak. Ibarat menambal ban bocor dengan sepuhan lakban emas, mahal tapi tetap jebol.

Menurut WALHI, proyek insinerator adalah opsi paling mahal dalam pengelolaan sampah jika mau mengikuti standar emisi rendah. Tapi toh, di atas kertas, biaya ini bisa “disulap” lewat skema subsidi dan pembiayaan panjang yang menggiurkan investor tapi menjerat rakyat.

“Mayoritas pemerintah daerah bahkan masih kesulitan mengurus sampah konvensional,” kata Dwi Sawung, Manajer Kampanye Infrastruktur WALHI. “Kalau ini jalan, anggaran daerah bisa terkunci bertahun-tahun. Jadi bukan sampah yang habis, tapi ruang fiskal.”

Sementara, studi dari Universitas Wiralodra menunjukkan biaya realistis pengelolaan sampah di Indonesia hanya sekitar Rp265 ribu–Rp308 ribu per ton. Tapi PSEL bisa sampai Rp1 juta per ton. Angka itu bukan sekadar beda nol, tapi beda logika.

#Pabrik Racun yang Disebut “Pembangkit”

Kalau urusan fiskal bikin dahi berkerut, urusan teknis bikin paru-paru ikut waspada. Mayoritas sampah Indonesia adalah organik lembab yang tidak layak bakar, seperti mencoba menyalakan api dengan nasi uduk. Tapi toh, PSEL tetap dijual sebagai teknologi modern.

Padahal, pengawasan emisi di Indonesia masih longgar dan simbolik. Uji dioksin dan furan—dua karsinogen yang bisa bikin kanker—cuma diwajibkan lima tahun sekali. “Dioksin bisa keluar kapan saja ketika suhu tungku turun. Tanpa pemantauan real-time, PSEL ini sama saja bikin pabrik racun,” kata Yuyun Ismawati dari Nexus3 Foundation.

Dan kalau polusinya lolos ke udara? Ya, selamat datang di pesta dioksin dan mikroplastik yang masuk ke tubuh kita lewat udara, air, dan makanan.

 

#Sampah Dibakar, Penghidupan Ikut Hangus

Masalah PSEL bukan cuma di angka dan asap, tapi juga di nasib orang kecil. PLTSa Putri Cempo di Solo jadi contoh, konflik sosial, masalah teknis, hingga nasib pemulung yang kehilangan mata pencaharian karena semua sampah diangkut ke tungku pembakaran. “Para pemulung yang selama ini jadi garda depan malah tersingkir,” kata Titik Sasanti dari Yayasan Gita Pertiwi.

Padahal, pemulung dan pelaku daur ulang informal inilah yang selama ini menyelamatkan kota dari tsunami sampah. Mereka memilah, memanfaatkan, dan menghidupi sistem yang pemerintah sendiri tak sanggup urus. Tapi dalam logika proyek besar, yang kecil sering dianggap sampah itu sendiri.

#Zero Waste: Solusi yang Tidak Menyala, tapi Menyelamatkan

Kalau bukan PSEL, lalu apa? Jawabannya bukan sulap, bukan pembakaran, tapi pemilahan dari sumber.

Sekitar 60% sampah Indonesia adalah organic, artinya bisa dikomposkan, dimaggotisasi, atau diubah jadi biogas komunitas. Program Zero Waste Cities di Bandung, Denpasar, dan Gresik sudah membuktikan, pengelolaan berbasis masyarakat bisa mengurangi sampah tanpa membakar satu gram pun plastik.

“Yang dibutuhkan bukan tungku pembakaran, tapi regulasi tegas dan infrastruktur pemilahan,” ujar Daru Setyorini dari Ecoton.

Dan benar kata Fictor Ferdinand dari YPBB: “Yang selama ini benar-benar menghabiskan sampah adalah masyarakat, bukan mesin.”

Jadi, kalau pemerintah masih ngotot membakar sampah, jangan heran kalau kelak yang terbakar bukan cuma plastik—tapi juga kepercayaan publik dan masa depan lingkungan.

#Desakan untuk Pemerintah

AZWI menegaskan bahwa masa depan pengelolaan sampah Indonesia harus dibangun di atas sistem yang adil, transparan, dan berorientasi pada pengurangan sampah di sumber, serta berlandaskan pada perlindungan kesehatan dan kelestarian lingkungan hidup.

Oleh karena itu, AZWI mendesak pemerintah untuk:

  1. Melakukan studi kelayakan komprehensif dengan perencanaan yang kuat di tingkat nasional, provinsi, dan daerah, guna memitigasi risiko implementasi proyek PSEL.
  2. Melaksanakan kajian berbasis data dan komprehensif untuk membandingkan berbagai alternatif pengelolaan sampah—termasuk pemilahan, pengomposan, dan pengelolaan organik—agar kebijakan yang diambil benar-benar berpihak pada efektivitas, keadilan, dan keberlanjutan.
  3. Mencabut Perpres No. 109 Tahun 2025 hingga dilakukan audit fiskal dan lingkungan yang independen serta transparan.
  4. Membuka seluruh kontrak dan skema pembiayaan PSEL secara transparan, termasuk perhitungan tipping fee, sumber dana, dan alokasi subsidi, serta memastikan proses konsultasi publik dilakukan secara bermakna untuk menghindari risiko fiskal dan potensi korupsi.
  5. Mengalihkan subsidi dan investasi publik ke solusi berbasis sumber, seperti pemilahan, pengomposan, maggotisasi, biogas komunitas, daur ulang, dan guna ulang, yang terbukti lebih efektif dan berkeadilan sosial.
  6. Memperketat sistem pemantauan dan pengawasan lingkungan, termasuk pengukuran emisi dioksin, furan, logam berat, dan abu beracun secara real-time dan transparan kepada publik, untuk mencegah kebocoran polusi dari fasilitas pembakaran.***

 

*) Tentang Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI)
Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) adalah jaringan organisasi yang mengkampanyekan implementasi konsep zero waste yang benar melalui berbagai program dan inisiatif. AZWI berkomitmen untuk mendorong kebijakan dan praktik pengelolaan sampah yang berkelanjutan berdasarkan prinsip hirarki pengelolaan sampah dan siklus hidup material. Website: aliansizerowaste.id

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *