Lewati ke konten

Pesantren As-Sa’idiyyah 2 Tambakberas Jombang Luncurkan SOP Anti Kekerasan Seksual: Dari Hafalan Kitab Menuju Pelajaran Kemanusiaan

| 3 menit baca |Ide | 5 dibaca
Oleh: Titik Terang Penulis: Ulung Hananto, Denny Saputra Editor: Supriyadi

JOMBANG — Biasanya menjelang Hari Santri Nasional, suasana pesantren diwarnai lomba hadrah, kirab, dan gegap gempita salawat. Tapi di Pondok Pesantren (PP) As-Sa’idiyyah 2 Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, ada yang berbeda.

Jumat (10/10/2025), aula pesantren ini jadi tempat lahirnya satu dokumen yang barangkali lebih bersejarah dari sekadar lomba marawis, Standar Operasional Prosedur (SOP) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).

Launching yang dirangkai dengan acara Diseminasi PPKS ini dibuka langsung oleh Ketua Yayasan PP Bahrul Ulum, KH Wahfiyul Ahdi, dan diawali doa oleh KH Achmad Hasan.

“Ini langkah nyata pesantren dalam menciptakan lingkungan yang aman, sehat, dan ramah anak,” ujar KH Wahfiyul dalam sambutannya. Ia menyebut, As-Sa’idiyyah 2 ingin jadi model praktik baik bagi pesantren lain di Jombang—bahkan di luar Jombang.

Ya, pesantren ini tampak ingin membuktikan bahwa bicara soal kekerasan seksual tidak tabu, bahkan bisa menjadi bagian dari ikhtiar spiritual menjaga martabat manusia.

#Belajar dari Santri untuk Santri

Sesi paling menarik datang dari Maslahatul Hidayah, santri sekaligus ketua tim penyusun SOP. Ia tampil lugas menjelaskan proses panjang penyusunan SOP yang ternyata tak sesederhana mengetik di Word.

“Ini bukan sekadar menulis pedoman,” ujarnya. “Prosesnya jadi ruang belajar kolektif bagi santri memahami keadilan gender, perlindungan korban, dan bagaimana menciptakan ekosistem pesantren yang aman.”

Ada semangat baru di situ, santri tidak lagi sekadar objek kebijakan, tapi subjek yang berpikir dan berjuang untuk perubahan.

#Dari Keprihatinan Jadi Gerakan Nyata

Pengasuh pesantren, Nyai Umdatul Choirot, memotret konteks yang lebih dalam. Menurutnya, lahirnya SOP ini berangkat dari keprihatinan atas berbagai kasus kekerasan yang terjadi di masyarakat, termasuk di lingkungan pendidikan keagamaan.

“Banyak anak belum punya pemahaman utuh tentang relasi kuasa,” katanya. “Kami ingin kebijakan yang berpihak pada korban dan memperkuat kapasitas pengurus agar lebih responsif terhadap persoalan kekerasan.”

Dengan kata lain, As-Sa’idiyyah 2 tidak menunggu ada kasus baru untuk bertindak—mereka memilih mencegah sebelum luka itu ada. Sebuah langkah yang rasanya masih langka, terutama di lingkungan yang kerap lebih sibuk menjaga citra daripada membenahi sistem.

 #Dukungan dari Pemerintah: Bukan Sekadar Formalitas

Perwakilan Kemenag Jombang, Muhammad Agussalim, menegaskan, gerakan semacam ini sejalan dengan PMA No. 73 Tahun 2022 tentang PPKS di satuan pendidikan keagamaan.

“Pencegahan kekerasan seksual bukan hanya urusan administratif,” katanya, “tapi bagaimana pesantren bisa jadi ruang yang menumbuhkan rasa aman dan saling menghormati.”

Sementara dr Ma’murotus Sa’diyah, Kepala Dinas PPKBPPPA Jombang, mengapresiasi langkah progresif pesantren ini.

“Kami berharap semua pondok pesantren terbuka terhadap inovasi seperti ini. Kuncinya sinergi antara lembaga pemerintah dan masyarakat,” ujarnya.

Dalam konteks birokrasi yang sering gemar membuat seremoni tapi malas bergerak, kolaborasi semacam ini terasa seperti udara segar.

#Maqāshid al-Syarī‘ah dan Martabat Manusia

Sementara itu, Siti Rofiah, pengurus Forum Satgas PPKS di Satuan Perguruan Tinggi Jombang, memberi sentuhan teologis yang mendalam. Ia menautkan gerakan ini dengan lima prinsip maqāshid al-syarī‘ah, menjaga agama (Hifz ad-dīn), jiwa (Hifz an-nafs), akal (Hifz al-‘aql), keturunan atau martabat manusia (Hifz an-nasl), dan harta (Hifz al-māl).

“Ketika pesantren menyusun dan menerapkan SOP ini, mereka menjalankan misi syariah yang hakiki, menjaga martabat manusia dan melindungi yang lemah,” jelasnya.

Sebuah kalimat yang seolah mengembalikan pesantren ke akar misinya: mendidik manusia seutuhnya, bukan sekadar mencetak hafalan.

Di tengah maraknya kasus kekerasan di lembaga pendidikan, As-Sa’idiyyah 2 seolah menegaskan bahwa pesantren bisa jadi pionir perubahan. Bahwa “pesantren ramah anak” bukan jargon di spanduk, tapi nyata di kebijakan dan perilaku.

Dokumen SOP PPKS ini mungkin terlihat seperti tumpukan kertas biasa, tapi di dalamnya tersimpan upaya besar untuk menjadikan pesantren ruang aman, berkeadilan, dan penuh kasih.

Dan jika ada yang masih bertanya, “Perlu ya pesantren bikin SOP kekerasan seksual?” — jawabannya sederhana: karena menjaga martabat manusia adalah bagian dari ibadah.***

 

Tinggalkan Komentar

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *