SURABAYA – Di Jawa Timur, Sungai Brantas bukan cuma urat nadi kehidupan—tapi juga tempat menumpuk segala macam “kenakalan industri.” Bertahun-tahun warga hidup berdampingan dengan air yang tak lagi jernih, ikan-ikan yang kerap mati massal, dan janji-janji pemulihan yang lebih sering terdengar di seminar ketimbang di bantaran sungai.
Namun pada Kamis, 21 Agustus 2025, Mahkamah Agung (MA) memberi titik terang yang lama ditunggu, permohonan Peninjauan Kembali (PK) Gubernur Jawa Timur dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) resmi ditolak.
#Kalah Lagi, Bu Gubernur
Putusan bernomor 821 PK/Pdt/2025 ini sebenarnya bukan kabar mengejutkan. Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON), lembaga lingkungan yang sudah bertahun-tahun menjadi duri di sisi industri pencemar, memang konsisten menang di setiap tingkat pengadilan. Mulai dari Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 8/Pdt.G/2019/PN.Sby, dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Nomor 117/PDT/2023/PT.SBY, dan kini kembali dimenangkan di Mahkamah Agung.
Dalam surat relaas pemberitahuan yang ditandatangani Suriadi, Jurusita Pengganti PN Surabaya, disebutkan bahwa MA bukan hanya menolak PK, tetapi juga menghukum Gubernur Jawa Timur dan Menteri PUPR untuk membayar biaya perkara sebesar Rp2,5 juta.
Nilainya memang tak besar, namun cukup menjadi pengingat bahwa negara pun bisa “disuruh bayar” ketika lalai menjaga sungai yang menjadi urat nadi jutaan warga.
“Dengan Putusan MA ini, pihak tergugat yaitu Gubernur Jawa Timur dan Menteri PUPR wajib melaksanakan sepuluh perintah dalam Putusan Hakim Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 8/Pdt.G/2019/PN.Sby, yang telah dikuatkan oleh Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Timur Nomor 117/PDT/2023/PT.SBY,” ujar Alaika Rahmatullah, Koordinator Advokasi Kali Brantas ECOTON.
Alaika menegaskan, kondisi Sungai Brantas saat ini sudah dalam tahap kerusakan yang tak terkendali. Industri, katanya, bebas membuang limbah tanpa diolah, sementara menjamurnya permukiman di bantaran sungai—yang semestinya diawasi oleh Kementerian PUPR—justru memperparah keadaan dengan menambah volume sampah plastik yang terus mengalir ke Brantas.
#“CCTV di Setiap Outlet Limbah, Itu Hukumnya Wajib!”
Maka tuntutan ECOTON harus segera dikabulkan, salah satunya dengan memasang CCTV di seluruh outlet pembuangan limbah cair di sepanjang Kali Brantas.
“Setiap industri wajib hukumnya memasang CCTV yang mengarah langsung ke saluran buangan limbah,” tegas Alaika Rahmatullah, Koordinator Advokasi Kali Brantas ECOTON.
Menurut Alaika, setelah permohonan Peninjauan Kembali (PK) ditolak, tak ada lagi alasan bagi Gubernur Jawa Timur untuk berkelit. Pemasangan CCTV menjadi salah satu langkah konkret yang selama ini diperjuangkan ECOTON untuk memastikan transparansi dan pengawasan publik terhadap aktivitas industri di sekitar sungai.
“Industri di sepanjang Sungai Brantas akan kesulitan membuang limbah tanpa diolah setelah PK Gubernur ditolak,” ujarnya dengan nada tenang tapi pesan yang tajam. “Kalau negara serius, pasang saja kamera di saluran limbah. Biar publik tahu siapa yang mencemari sungai, dan siapa yang pura-pura tidak tahu.”
Dalam Relaas Pemberitahuan Isi Putusan Peninjauan Kembali Nomor 08/Pdt.G/2019/PN.Sby jo. 117/PDT/2023/PT.Sby jo. 1190 K/PDT/2024, yang ditandatangani Suriadi, Jurusita Pengganti Pengadilan Negeri Surabaya, pada 1 Oktober 2025, disebutkan bahwa pemberitahuan putusan disampaikan kepada Rulli Mustika Adya, S.H., M.H., advokat ECOTON.
Dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1190 K/PDT/2024 bertanggal 30 April 2024, Gubernur Jawa Timur dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) diwajibkan untuk melakukan langkah-langkah pemulihan terhadap pencemaran Sungai Brantas.
“Sungai Brantas bukan tong sampah raksasa milik industri,” tutup Alaika. “Kalau pemerintah masih diam, itu artinya mereka ikut mencemari — bukan dengan limbah, tapi dengan pembiaran.”
#10 PR Gubernur yang Tertunda
Putusan PN Surabaya tahun 2019 sebenarnya sudah jelas, ada 10 perintah konkret yang harus dilaksanakan Gubernur dan Menteri PUPR.
Beberapa di antaranya:
- Meminta maaf kepada masyarakat di 15 kabupaten/kota yang dilalui Brantas karena kelalaian pengelolaan yang menimbulkan ikan mati massal setiap tahun.
- Memasukkan program pemulihan air Brantas ke dalam APBN 2020.
- Memasang CCTV dan alat pemantau kualitas air real-time di semua outlet limbah.
- Melakukan audit independen terhadap seluruh Dinas Lingkungan Hidup di Jawa Timur.
- Menindak industri yang membuang limbah melebihi baku mutu.
Semua itu—sayangnya—belum terlihat di lapangan. Brantas masih keruh, ikan masih mati, dan industri masih leluasa mengalirkan “aroma khas kimia” ke sungai.

#Pengendalian Pencemaran yang Cuma Gimmick
Lebih lanjut kata Alaika, upaya pengendalian pencemaran Brantas selama ini “lebih mirip gimmick ketimbang kerja serius.”
Ia mengurai empat alasan kenapa Brantas tetap tercemar:
- Minim pengawasan. Industri sering membuang limbah di jam sepi, saat tak ada petugas.
- Tak ada penegakan hukum serius. Proses hukumnya tidak transparan.
- Pembiaran bangunan liar di bantaran sungai. Bahkan ada industri yang berdiri di atas tanah negara.
- Program pemulihan yang seremonial. Banyak kegiatan bersih-bersih yang lebih cocok disebut konten media sosial daripada kebijakan lingkungan.
“Sudah sepatutnya Gubernur dan Menteri PUPR meminta maaf kepada masyarakat DAS Brantas karena gagal memulihkan sungai,” ujarnya.
#Data Tak Bisa Bohong
Survei ECOTON terhadap 535 warga di Jawa Timur menunjukkan hal serupa:
- 62,1% responden menilai pengelolaan Sungai Brantas oleh Gubernur buruk.
- 88% warga percaya Brantas masih tercemar.
- 73,5% menuding sumber pencemaran berasal dari sampah plastik dan limbah cair rumah tangga, sementara 25% menuding industri.
- 67,7% menyebut bantaran sungai tidak terawat.
Data ini menggambarkan, kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah dalam menjaga Brantas sudah di titik nadir.
#“Ikan Mati, Pemerintah Diam”
Prigi Arisandi, Manajer Sains, Seni, dan Komunikasi ECOTON, menyoroti hal yang lebih dalam: kultur pembiaran.
“Selama ini, setiap kali ikan mati massal, penyebabnya tidak pernah diungkap ke publik. Kasusnya dipeti-eskan, lalu terulang lagi tahun berikutnya,” ujarnya.
Menurut Prigi, akar masalah pencemaran Brantas bukan sekadar soal teknis limbah, tetapi mentalitas pemerintah yang membiarkan polusi menjadi rutinitas. Karena itu, ECOTON mendesak Gubernur Jawa Timur, Menteri PUPR, dan Menteri LHK untuk segera membuat standar prosedur penanganan ekologis setiap kali terjadi kematian ikan massal, termasuk menjatuhkan sanksi tegas kepada industri pencemar.
Bertahun-tahun, Sungai Brantas menjadi saksi bisu: janji pemulihan yang tak ditepati, limbah yang terus mengalir, dan warga yang makin kehilangan harapan. Kini, setelah Mahkamah Agung menolak Peninjauan Kembali (PK), bola tanggung jawab itu ada di tangan Gubernur.
“Saatnya minta maaf, Bu Gubernur,” kata Prigi tegas. “Maaf karena terlalu lama membiarkan sungai ini sakit, dan maaf karena lebih banyak rapat daripada tindakan.”
Karena kalau pemerintah tidak segera bergerak, barangkali Brantas akan tetap menjadi sungai yang penuh kenangan—dan pencemaran.***